Senin, 28 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 7




***



“Aku pikir.. kamu bukan tipe cewek yang bersedia naik angkot.., ternyata aku salah.” Ucap Laksa pelan sambil sedikit memiringkan wajahnya. Rambut hitamnya beradu dengan rambut panjang Nada yang dibiarkan terurai begitu saja. Wajah dan matanya tak menatap sosok wanita di sampingnya, hanya saja kepalanya yang sedikit ia miringkan agar Nada bisa mendengar suara pelannya. Laksa tak memiliki keberanian untuk bersuara lantang di dalam lingkungan angkot.

Nada menoleh. “Kalau ngobrol itu enaknya langsung bertatap muka.” sembur Nada.

Beberapa detik kemudian, mata elok Laksa yang tadinya tertuju pada kaca angkot di depannya, kini menjurus ke arah Nada. Menatap kulit wajah Nada yang minim riasan. “Aku takut kamu mabuk kepayang…” ungkapnya dengan nada ‘begitu percaya diri’.

Nada berdehem, “Apa-apaan sih.., Enak saja. Aku bukan tipe cewek yang mudah terpikat pada seseorang, apalagi pada pria macam kamu..” tuturnya diakhiri dengan tawa singkat. Mereka masih bertatapan.

“Waktu yang akan membuatmu terpikat pada pesonaku.. jadi, kamu sering naik angkot ?.” Laksa mengedipkan kedua matanya serempak.

Nada menelan ludah. Kalimat pertama yang Laksa tuturkan berhasil membuat kerongkonganya seakan kering. Ia bukan tipe wanita yang mudah mengumbar rasa pada seseorang yang ia suka–tepatnya seseorang yang baru ia kenal. “Kalau dibilang sering sih nggak juga.. sekali-kali kalau sedang bosan diboncengin Lila dengan motor metiknya.” Jelas Nada. “Tadi kamu sempat ngomong sama aku.., kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Apa aku di-izinkan untuk memberi solusi ? Itu juga kalau kamu nggak keberatan sih..” tanyanya. Nada terdengar begitu bersungguh-sungguh. Dereran gigi putihnya nampak ketika bibirnya tersenyum simpul.

Laksa merespon ucapan Nada hanya dengan anggukan pelan.

Nada bungkam sejenak. “Kamu cukup tampan.” Ucapnya lalu berdehem.

“Kamu harus membuang kata ‘cukup’ dan menggantinya dengan ‘sangat’. Itu terdengar lebih nyata..” ungkap Laksa.

“Kamu sangat tampan..” Nada menurut. Mata mereka masih betah untuk saling bertatap.

“Badan kamu bagus..”

“Tentu.”

“Rambut hitammu cukup menawan..” singkat, Nada melirik rambut Laksa.

“Tentu saja.”

“Kamu cocok..”

“COCOK!” Laksa sengaja mengcopy nada bicara mamahnya si Boy di sinetron kenamaan RCTI.

Lalu, mereka sama-sama tertawa. “Omong-omong, cocok apanya ya ?.”

“Langsung saja.., kamu cocok jadi seorang Model..”

Laksa menganga.

“Aku bersungguh-sungguh.”

Laksa masih menganga. Mulutnya sedikit terbuka.

“Aku serius, Laksa. Kamu sangat cocok menjadi seorang Model. Siapa tahu kamu bisa menjadi seorang Model Internasional. Kebetulan aku ada kenalan sama seorang yang menaungi agensi modelling… gimana ?” tanya Nada.

Ia belum tahu kalau profesi yang ia tawarkan pada Laksa adalah profesi yang tak begitu Laksa sukai. Dulu, kawan Laksa pernah mengatakan hal serupa padanya, ‘Kamu tampan, Bro.. kamu cocok jadi model..’ begitu katanya. Laksa nyaris menjitak kepala plontos kawannya itu dengan tangannya yang mulai memanas. Dilain era, Ibunya juga sempat menuturkan bahwa anaknya itu teramat tampan, dan harus mendalami profesi di bidang modelling. Lagi, Laksa menolak habis-habisan tawaran Ibunya itu dengan cara yang lebih lembut. ‘Aku tak menaruh ketertarikan setengah persen pun pada dunia modelling. Kek cewek saja!’ begitulah cakapnya yang sukses membuat mata Bu Enti nyaris melonjat dari sarangnya.

Laksa membuang muka. “Aku tidak tertarik!” katanya.

Tangan kiri Nada menyentuh pundak Laksa yang dibalut kaos oblong polos warna hitam dan jaket denim. Untuk bawahan, Laksa mengenakan celana pendek kargo hiam selutut. Cukup modis untuk ukuran pria pengangguran yang belum juga menemukan pekerjaan.

Dengan lekat Nada menatap binar mata Laksa dari samping. Tatapannya nyaris membuat Ibu-ibu di depannya menganga. “Apa ada alasan yang jelas sehingga membuatmu enggan untuk terjun di bidang modelling ? Jangan terlalu gengsi-an. Aku ngomong begini bukan karena aku merasa ingin mengatakannya. Tapi lebih ke merasa PERLU untuk menyampaikannya padamu.” Kata ‘perlu’ yang Nada ucapkan terdengar begitu jelas.

Laksa menoleh, mata mereka kembali bertubukan. “Bisakah kita bicarakan ini di lain waktu ? Kita sedang di angkot..”

“Iya aku tahu.., kita memang sedang di dalam angkot.. kamu nggak sadar ya sedari tadi mulutmu sibuk cuap-cuap. Kenapa aku nggak boleh ?.” sanggah Nada. Ia menyayangkan sikap Laksa yang sedikit berbeda. Tepat setelah ia membahas tentang profesi modelling.

“Jangan terlalu ikut campur akan urusanku, Nada.. itu sedikit membuatku terganggu. Mengertilah!”

Deg!

Perlahan, tangannya yang sedari tadi menempel di pundak Laksa, kini ia regangkan.

Kalimat Laksa sukses membuat binar mata Nada berubah menjadi binar kekecewaan. Seolah ia teramat membenci apa yang barusan Laksa tuturkan padanya. ‘Apa aku terlalu ikut campur akan kehidupannya ? Aku hanya memberi saran padanya.., kenapa dia harus bereaksi berlebihan ? Apa ucapanku membuatnya terganggu ? Apa aku baru saja merusak moodnya yang sedari tadi bersemangat ?’ Nada membatin. Ia membuang muka. Menatap kaca belakang yang menampilkan wajah cantiknya yang tengah murung.

Dalam diam sembari matanya menatap lurus ke depan, menjurus ke kaca di depannya, Laksa sedikit menyesali kalimat yang ia ucapkan pada Nada. Ia berfikir untuk berucap maaf pada Nada. Namun gengsinya terlalu melangit. ‘Apa ucapanku terlalu berlebihan sampai-sampai membuatnya mendiamkan diri ?’ kini, giliran Laksa yang membatin.

Lebih dari lima menit lamanya mereka mendiamkan diri. Tak ada sapaan, tak ada obrolan, tak ada candaan, tak ada celotehan, bahkan mereka berdua sama-sama bungkam dengan pemikiran masing-masing.

Nada yang masih saja menatap kaca belakang angkot, mulai berfikir untuk menghentikan laju angkot dan lantas menyebrangi jalan untuk mencegat angkot yang menuju ke arah perempatan Cisumur agar segera pulang ke kontrakannya. Keadaan dimana ia dan Laksa tak saling bertatap muka dan mengobrol sungguh membuat bayang-bayang indah tentang kedekatannya dengan seseorang yang mulai ia taksir pudar seketika. Sebelum ia diantar oleh Lila menuju perempatan Cisumur untuk bertemu dengan Laksa –disana mereka menunggu angkot bersama, Nada terus saja membayangkan hal-hal baik dan menggembirakan yang mungkin akan ia alami di dalam angkot. Seperti mengobrol, tertawa ria, saling menatap satu sama lain, dilanjut dengan acara suap-suap-an di tenda Kang Dula. Setengah dari bayangannya mungkin sudah terealisasikan, namun setengahnya lagi belum terlaksanakan. Bagaimana bisa ? Sekarang pun mereka tengah beradu bungkam satu sama lain. Diam dalam bimbang.

“Berhenti, Pak.., saya turun disini saja!” itu suara Nada, tatapannya menuju supir angkot yang tengah berusaha menyisikan angkot yang ia kendarai.

Laksa menoleh, “Kamu mau kemana ? Bahkan, sebentar lagi kita akan sampai.. tenda Kang Dula sudah ada di depan mata…ada apa denganmu ?” cakapnya.

Bola mata Nada bertubrukan dengan mata pria yang berusaha menahannya. “Aku hanya ingin pulang…” jawabnya.

“Aku–“

“Aku pergi sekarang!” Nada mulai melangkah keluar dari angkot.

“Ini, Pak uangnya… terimakasih.” Seru Nada sembari mengulurkan tangannya pada Pak Sopir.

“Sama-sama, Neng..” Pak Sopir tersenyum ramah.

Angkot pun melaju begitu saja. Mata elok Nada tak sedetik pun menatap kaca angkot yang mungkin bisa mempertemukan matanya dengan punggung Laksa.

Beberapa detik kemudian, Nada menyebrangi jalan, lalu naik angkot yang mengarah pulang. Keputusannya sudah bulat, ia akan bergegas pulang ke kontrakan. Bahkan, Nada tak memperdulikan sosok pria bernama Laksa yang beberapa menit yang lalu berhasil membuatnya dirundung kecewa.


***


Masih di dalam angkot, Laksa gusar nan’ bimbang perihal keadaannya sekarang. Keadaan dimana ia tergeletak sendiri di dalam angkot tanpa seseorang yang berniat membalas kebaikannya dengan santapan nasi goreng. Bukan karena nasi goreng yang membuatnya bimbang nan’ gusar, tapi sosok Nada lah.

Laksa tak pernah berfikir sedetikpun kalau Nada akan bertindak sejauh ini. Ya, keluar dari angkot dan bergegas pulang. Kini, niat awalnya untuk menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut Nada tinggal angan semata. Sang wanita telah pergi meninggalkannya sendiri di lingkungan angkot.

“Nak, apa saya boleh bicara ?.” tiba-tiba seorang Ibu paruh baya di depannya buka mulut. Ibu-ibu yang sedari tadi menatap gelagat Nada dan Laksa ketika beradu cakap dan saling melempar senyum. Ibu itu pun melihat bagaimana cara Nada meletakkan tangannya ke pundak Laksa dan menatap sayu binar mata Laksa dari samping. Juga, kedua mata si ibu tak lepas dari gelagat Laksa yang terlihat gusar setelah Nada keluar dari angkot, meninggalkannya dalam rasa bimbang mendalam.

Setelah beberapa detik menatap heran wajah si ibu tak dikenal, Laksa mengangguk.

“Wanita itu mencintaimu…” kalimat pertama si ibu nyaris membuat Laksa menganga. “Cara dia menatap binar matamu, cara dia meletakkan tangannya di pundakmu, caranya tersenyum manis tat kala ucapanmu mulai ngelantur, begitu menggambarkan sosoknya yang begitu mencintaimu… satu lagi, caranya membuang muka tepat setelah dirimu mengucapkan kalimat yang membuatnya TAK GEMBIRA, sungguh menggambarkan kekecewaan yang mendalam. Ibu tahu itu!” pangkas si ibu panjang lebar.

Beruntung penghuni angkot hanya berjumlah tiga manusia saja. Laksa, si ibu tak dikenal, juga seorang pria paruh baya yang duduk di kursi sebelah Pak Supir. Jadi,  tak ada tatapan geli dari banyak penghuni saat si ibu mengeluarkan kalimat tadi. Kalimat pencerahan yang membuat mata dan hati Laksa lebih terbuka perihal sosok Nada.

“Seyakin itu ?,”

“Ibu sangat yakin. Jangan sia-siakan seseorang yang begitu mencintaimu, Nak..”

“Tapi, Bu–“

“Berhenti, Pak Supir.., ada yang mau turun..” cakap si ibu berkerudung putih sembari menatap Laksa.

“Saya ?.” tanya Laksa dengan ekspresi lawak.

“Iya, kamu, Nak. Kamu mau ke tenda Kang Dula ‘kan ? Nasi goreng Kang Dula memang begitu lezat… ibu juga sering kesana.” Si ibu tersenyum simpul.

Laksa tertawa canggung. “Oh.. Oh iya, Bu.. mari..”

Si Ibu mengangguk, diakhiri dengan senyum ke-ibuan.

Laksa pun berjalan gontai dan bergegas keluar dari angkot yang membawanya ke tenda Kang Dula.

“Kang, nasi goreng pedas satu..” seru Laksa sembari berjalan menuju kursi panjang yang terbuat dari kayu.

“Oh Tuhan.., aku tidak sempat berkata terimakasih pada si ibu..” pekiknya. Ia sudah duduk santai dan menunggu pesanannya datang. Laksa duduk paling ujung.

“Terimakasih, Bu atas pencerahannya..” bisik Laksa pada dirinya sendiri.

-Bersambung-

1 komentar:

  1. Jalan ceritanya bagus dan alurnya mudah di cerna. Tp kalo bisa di tiap per-adeganya harus lebih dramatis dan lebih dalam agar pembaca bisa terkuras emosinya dan nggak gampang lupa. Itu cuman saran, goodluck buat ceritanya jangan lupa kunjung balik blog saya.

    BalasHapus