***
“Aku pikir.. kamu
bukan tipe cewek yang bersedia naik angkot.., ternyata aku salah.” Ucap Laksa
pelan sambil sedikit memiringkan wajahnya. Rambut hitamnya beradu dengan rambut
panjang Nada yang dibiarkan terurai begitu saja. Wajah dan matanya tak menatap sosok
wanita di sampingnya, hanya saja kepalanya yang sedikit ia miringkan agar Nada
bisa mendengar suara pelannya. Laksa tak memiliki keberanian untuk bersuara
lantang di dalam lingkungan angkot.
Nada menoleh.
“Kalau ngobrol itu enaknya langsung bertatap muka.” sembur Nada.
Beberapa detik
kemudian, mata elok Laksa yang tadinya tertuju pada kaca angkot di depannya,
kini menjurus ke arah Nada. Menatap kulit wajah Nada yang minim riasan. “Aku
takut kamu mabuk kepayang…” ungkapnya dengan nada ‘begitu percaya diri’.
Nada berdehem,
“Apa-apaan sih.., Enak saja. Aku bukan tipe cewek yang mudah terpikat pada
seseorang, apalagi pada pria macam kamu..” tuturnya diakhiri dengan tawa
singkat. Mereka masih bertatapan.
“Waktu yang akan
membuatmu terpikat pada pesonaku.. jadi, kamu sering naik angkot ?.” Laksa
mengedipkan kedua matanya serempak.
Nada menelan ludah.
Kalimat pertama yang Laksa tuturkan berhasil membuat kerongkonganya seakan
kering. Ia bukan tipe wanita yang mudah mengumbar rasa pada seseorang yang ia
suka–tepatnya seseorang yang baru ia kenal. “Kalau dibilang sering sih nggak
juga.. sekali-kali kalau sedang bosan diboncengin Lila dengan motor metiknya.”
Jelas Nada. “Tadi kamu sempat ngomong sama aku.., kamu belum juga mendapatkan
pekerjaan. Apa aku di-izinkan untuk memberi solusi ? Itu juga kalau kamu nggak
keberatan sih..” tanyanya. Nada terdengar begitu bersungguh-sungguh. Dereran
gigi putihnya nampak ketika bibirnya tersenyum simpul.
Laksa merespon
ucapan Nada hanya dengan anggukan pelan.
Nada bungkam
sejenak. “Kamu cukup tampan.” Ucapnya lalu berdehem.
“Kamu harus
membuang kata ‘cukup’ dan menggantinya dengan ‘sangat’. Itu terdengar lebih
nyata..” ungkap Laksa.
“Kamu sangat
tampan..” Nada menurut. Mata mereka masih betah untuk saling bertatap.
“Badan kamu
bagus..”
“Tentu.”
“Rambut hitammu
cukup menawan..” singkat, Nada melirik rambut Laksa.
“Tentu saja.”
“Kamu cocok..”
“COCOK!” Laksa
sengaja mengcopy nada bicara mamahnya si Boy di sinetron kenamaan RCTI.
Lalu, mereka
sama-sama tertawa. “Omong-omong, cocok apanya ya ?.”
“Langsung saja..,
kamu cocok jadi seorang Model..”
Laksa menganga.
“Aku
bersungguh-sungguh.”
Laksa masih
menganga. Mulutnya sedikit terbuka.
“Aku serius, Laksa. Kamu sangat cocok menjadi seorang
Model. Siapa tahu kamu bisa menjadi seorang Model Internasional. Kebetulan aku
ada kenalan sama seorang yang menaungi agensi modelling… gimana ?” tanya Nada.
Ia belum tahu kalau
profesi yang ia tawarkan pada Laksa adalah profesi yang tak begitu Laksa sukai.
Dulu, kawan Laksa pernah mengatakan hal serupa padanya, ‘Kamu tampan, Bro..
kamu cocok jadi model..’ begitu katanya. Laksa nyaris menjitak kepala plontos
kawannya itu dengan tangannya yang mulai memanas. Dilain era, Ibunya juga
sempat menuturkan bahwa anaknya itu teramat tampan, dan harus mendalami profesi
di bidang modelling. Lagi, Laksa menolak habis-habisan tawaran Ibunya itu
dengan cara yang lebih lembut. ‘Aku tak menaruh ketertarikan setengah persen pun
pada dunia modelling. Kek cewek saja!’ begitulah cakapnya yang sukses membuat
mata Bu Enti nyaris melonjat dari sarangnya.
Laksa membuang
muka. “Aku tidak tertarik!” katanya.
Tangan kiri Nada
menyentuh pundak Laksa yang dibalut kaos oblong polos warna hitam dan jaket
denim. Untuk bawahan, Laksa mengenakan celana pendek kargo hiam selutut. Cukup
modis untuk ukuran pria pengangguran yang belum juga menemukan pekerjaan.
Dengan lekat Nada
menatap binar mata Laksa dari samping. Tatapannya nyaris membuat Ibu-ibu di
depannya menganga. “Apa ada alasan yang jelas sehingga membuatmu enggan untuk
terjun di bidang modelling ? Jangan terlalu gengsi-an. Aku ngomong begini bukan
karena aku merasa ingin mengatakannya. Tapi lebih ke merasa PERLU untuk
menyampaikannya padamu.” Kata ‘perlu’ yang Nada ucapkan terdengar begitu jelas.
Laksa menoleh, mata
mereka kembali bertubukan. “Bisakah kita bicarakan ini di lain waktu ? Kita
sedang di angkot..”
“Iya aku tahu..,
kita memang sedang di dalam angkot.. kamu nggak sadar ya sedari tadi mulutmu
sibuk cuap-cuap. Kenapa aku nggak boleh ?.” sanggah Nada. Ia menyayangkan sikap
Laksa yang sedikit berbeda. Tepat setelah ia membahas tentang profesi
modelling.
“Jangan terlalu
ikut campur akan urusanku, Nada.. itu
sedikit membuatku terganggu. Mengertilah!”
Deg!
Perlahan, tangannya
yang sedari tadi menempel di pundak Laksa, kini ia regangkan.
Kalimat Laksa
sukses membuat binar mata Nada berubah menjadi binar kekecewaan. Seolah ia
teramat membenci apa yang barusan Laksa tuturkan padanya. ‘Apa aku terlalu ikut
campur akan kehidupannya ? Aku hanya memberi saran padanya.., kenapa dia harus
bereaksi berlebihan ? Apa ucapanku membuatnya terganggu ? Apa aku baru saja
merusak moodnya yang sedari tadi bersemangat ?’ Nada membatin. Ia membuang
muka. Menatap kaca belakang yang menampilkan wajah cantiknya yang tengah
murung.
Dalam diam sembari
matanya menatap lurus ke depan, menjurus ke kaca di depannya, Laksa sedikit
menyesali kalimat yang ia ucapkan pada Nada. Ia berfikir untuk berucap maaf
pada Nada. Namun gengsinya terlalu melangit. ‘Apa ucapanku terlalu berlebihan
sampai-sampai membuatnya mendiamkan diri ?’ kini, giliran Laksa yang membatin.
Lebih dari lima
menit lamanya mereka mendiamkan diri. Tak ada sapaan, tak ada obrolan, tak ada
candaan, tak ada celotehan, bahkan mereka berdua sama-sama bungkam dengan
pemikiran masing-masing.
Nada yang masih
saja menatap kaca belakang angkot, mulai berfikir untuk menghentikan laju
angkot dan lantas menyebrangi jalan untuk mencegat angkot yang menuju ke arah
perempatan Cisumur agar segera pulang ke kontrakannya. Keadaan dimana ia dan
Laksa tak saling bertatap muka dan mengobrol sungguh membuat bayang-bayang
indah tentang kedekatannya dengan seseorang yang mulai ia taksir pudar
seketika. Sebelum ia diantar oleh Lila menuju perempatan Cisumur untuk bertemu
dengan Laksa –disana mereka menunggu angkot bersama, Nada terus saja
membayangkan hal-hal baik dan menggembirakan yang mungkin akan ia alami di
dalam angkot. Seperti mengobrol, tertawa ria, saling menatap satu sama lain,
dilanjut dengan acara suap-suap-an di tenda Kang Dula. Setengah dari
bayangannya mungkin sudah terealisasikan, namun setengahnya lagi belum
terlaksanakan. Bagaimana bisa ? Sekarang pun mereka tengah beradu bungkam satu
sama lain. Diam dalam bimbang.
“Berhenti, Pak..,
saya turun disini saja!” itu suara Nada, tatapannya menuju supir angkot yang
tengah berusaha menyisikan angkot yang ia kendarai.
Laksa menoleh,
“Kamu mau kemana ? Bahkan, sebentar lagi kita akan sampai.. tenda Kang Dula
sudah ada di depan mata…ada apa denganmu ?” cakapnya.
Bola mata Nada bertubrukan
dengan mata pria yang berusaha menahannya. “Aku hanya ingin pulang…” jawabnya.
“Aku–“
“Aku pergi
sekarang!” Nada mulai melangkah keluar dari angkot.
“Ini, Pak uangnya…
terimakasih.” Seru Nada sembari mengulurkan tangannya pada Pak Sopir.
“Sama-sama, Neng..”
Pak Sopir tersenyum ramah.
Angkot pun melaju
begitu saja. Mata elok Nada tak sedetik pun menatap kaca angkot yang mungkin
bisa mempertemukan matanya dengan punggung Laksa.
Beberapa detik
kemudian, Nada menyebrangi jalan, lalu naik angkot yang mengarah pulang.
Keputusannya sudah bulat, ia akan bergegas pulang ke kontrakan. Bahkan, Nada
tak memperdulikan sosok pria bernama Laksa yang beberapa menit yang lalu
berhasil membuatnya dirundung kecewa.
***
Masih di dalam
angkot, Laksa gusar nan’ bimbang perihal keadaannya sekarang. Keadaan dimana ia
tergeletak sendiri di dalam angkot tanpa seseorang yang berniat membalas
kebaikannya dengan santapan nasi goreng. Bukan karena nasi goreng yang
membuatnya bimbang nan’ gusar, tapi sosok Nada lah.
Laksa tak pernah
berfikir sedetikpun kalau Nada akan bertindak sejauh ini. Ya, keluar dari
angkot dan bergegas pulang. Kini, niat awalnya untuk menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut
Nada tinggal angan semata. Sang wanita telah pergi meninggalkannya sendiri di
lingkungan angkot.
“Nak, apa saya
boleh bicara ?.” tiba-tiba seorang Ibu paruh baya di depannya buka mulut.
Ibu-ibu yang sedari tadi menatap gelagat Nada dan Laksa ketika beradu cakap dan
saling melempar senyum. Ibu itu pun melihat bagaimana cara Nada meletakkan
tangannya ke pundak Laksa dan menatap sayu binar mata Laksa dari samping. Juga,
kedua mata si ibu tak lepas dari gelagat Laksa yang terlihat gusar setelah Nada
keluar dari angkot, meninggalkannya dalam rasa bimbang mendalam.
Setelah beberapa
detik menatap heran wajah si ibu tak dikenal, Laksa mengangguk.
“Wanita itu
mencintaimu…” kalimat pertama si ibu nyaris membuat Laksa menganga. “Cara dia
menatap binar matamu, cara dia meletakkan tangannya di pundakmu, caranya
tersenyum manis tat kala ucapanmu mulai ngelantur, begitu menggambarkan
sosoknya yang begitu mencintaimu… satu lagi, caranya membuang muka tepat
setelah dirimu mengucapkan kalimat yang membuatnya TAK GEMBIRA, sungguh
menggambarkan kekecewaan yang mendalam. Ibu tahu itu!” pangkas si ibu panjang
lebar.
Beruntung penghuni
angkot hanya berjumlah tiga manusia saja. Laksa, si ibu tak dikenal, juga
seorang pria paruh baya yang duduk di kursi sebelah Pak Supir. Jadi, tak ada tatapan geli dari banyak penghuni
saat si ibu mengeluarkan kalimat tadi. Kalimat pencerahan yang membuat mata dan
hati Laksa lebih terbuka perihal sosok Nada.
“Seyakin itu ?,”
“Ibu sangat yakin.
Jangan sia-siakan seseorang yang begitu mencintaimu, Nak..”
“Tapi, Bu–“
“Berhenti, Pak
Supir.., ada yang mau turun..” cakap si ibu berkerudung putih sembari menatap
Laksa.
“Saya ?.” tanya
Laksa dengan ekspresi lawak.
“Iya, kamu, Nak.
Kamu mau ke tenda Kang Dula ‘kan ?
Nasi goreng Kang Dula memang begitu lezat… ibu juga sering kesana.” Si ibu
tersenyum simpul.
Laksa tertawa canggung.
“Oh.. Oh iya, Bu.. mari..”
Si Ibu mengangguk,
diakhiri dengan senyum ke-ibuan.
Laksa pun berjalan gontai dan bergegas keluar dari angkot yang membawanya ke tenda Kang Dula.
“Kang, nasi goreng
pedas satu..” seru Laksa sembari berjalan menuju kursi panjang yang terbuat
dari kayu.
“Oh Tuhan.., aku
tidak sempat berkata terimakasih pada si ibu..” pekiknya. Ia sudah duduk santai
dan menunggu pesanannya datang. Laksa duduk paling ujung.
“Terimakasih, Bu
atas pencerahannya..” bisik Laksa pada dirinya sendiri.
-Bersambung-
Jalan ceritanya bagus dan alurnya mudah di cerna. Tp kalo bisa di tiap per-adeganya harus lebih dramatis dan lebih dalam agar pembaca bisa terkuras emosinya dan nggak gampang lupa. Itu cuman saran, goodluck buat ceritanya jangan lupa kunjung balik blog saya.
BalasHapus