Sabtu, 19 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 2


***

Apa ada yang belum membaca Part 1 ? Bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 1 ]

***




Wanita itu tampak ketakutan. Sedari tadi, ia terus saja menggigit bibir bawahnya dengan hawa gelisah. Pancaran ketakutan terpangpang jelas di sekujur lekuk tubuhnya. Yang paling dominan adalah wajah wanita tersebut. Kulit putih bersih membuatnya semakin terlihat ketakutan nan penuh kegelisahan. Matanya mendelik kesana kemari. Menjangkau ke seluruh ruangan yang sedang ia tapaki. Ia melangkah maju.

Gurat keputus-asaan terpampang di wajanya, “Ruangan macam apa ini, Tuhan ? Aku takut. Aku gelisah…” Pernyataan tadi keluar langsung dari mulut wanita jangkung tersebut. Sembari menyidik ruangan yang sekarang ia tapaki, ia baru menyadari, bahwa ruangan ini bentuknya seperti rumah sederhana dengan empat kamar sekaligus. Ia menatap ke sisi kanan tubuhnya. Terdapat dua kamar yang tak terlalu besar —lebih tepatnya kecil. Di sudut atas pintu dua kamar itu ada tulisan singkat. ‘Matilah kau, Jahanam’.

“Gleeeek…” Itu suara berasal dari rongga mulutnya —bahwa beberapa detik yang lalu ia baru saja menelan air liurnya menuju kerongkongan.
Wajahnya tampak semakin pucat.

Ia mendelik kearah sisi kiri tubuhnya. Ada kamar yang ukurannya hampir sama dengan dua kamar yang beberapa detik yang lalu ia jangkau. Lagi-lagi terdapat tulisan singkat pada sudut atas pintu dua kamar itu. ‘Siapkah kau, Jahanam ?’

Semakin mencekam, pertahanannya mulai ambruk. Ia tak dapat menahan bobot tubuhnya lebih lama lagi. “Aku menyerah.” Pekik wanita berambut panjang itu tepat saat tubuhnya mulai ambruk di lantai rumah yang semua ruangannya dibanjiri warna putih pekat. Ya rumah kecil nan mencekam ini berwarna putih pekat. Sewarna dengan pakaian yang wanita jangkung itu kenakan.

Beberapa detik ia menunduk sembari menahan gejolak panas di mata indahnya. Ia tahu, kalau air matanya sampai tumpah ruang di pipi bersihnya, rasa takutnya akan semakin menjadi-jadi, bertubi-tubi, bermilyar-milyar bahkan tak terhingga. Sampai saatnya, ia mulai mengangkat wajah ovalnya dengan sangat pelan. Wanita cantik itu menatap lurus kedepan. Keadaannya masih terdampar di lantai ruangan mencekam ini. Kedua telapak tangannya bertumbu pada lantai. Bagian atas tubuhnya lebih condong ke depan.

Matanya dengan jelas menyidik pada satu lemari antik berwarna putih pekat. Senada dengan rumah dan pakaian yang ia kenakan. Pintu lemari itu terbuka begitu saja. Kosong tanpa benda, pakaian, ataupun sosok manusia. Wanita itu mengedipkan mata satu kali. Tepat saat itu, lemari yang memungkinkan memasukan dua sosok manusia itu melaju dengan cepat kearah wanita malang itu. “Tuhan, Aku belum siap menuju alam akhirat. Aku belum cukup siap. Sungguh!.” Pekiknya sembari berusaha bangun. Namun sia –sia, tubuhnya tak juga merespon. Seakan telapak tangan, kaki dan sekujur tubuhnya menempel pada lantai jahanam tersebut.

“Jahanam ? Siapkah kamu kembali ?...”

“Jahanam ? Siapkah kamu dimaki ?...”

“Jahanam ? Siapkah kamu dideritai ?...”

“Jahanam ?..”

Suara mengerikan itu berhasil membuat air bening yang sedari tadi wanita itu tahan akhirnya tumpah ruah. Gejolak derita seakan mendekat, mengarah, dan memeluknya. Suara tadi, seakan memanggilnya. Seakan memakinya. Seakan ingin mendustainya. Ia takut. Ya, takut bukan kepalang.

Lemari antik itu semakin mendekat.. Semakin mendekat.. Semakin jelas terpampang.. Semakin…


***


“JAHANAM…!!!”

“Astaga.. Ada apa, Nad ?.” Suaru itu keluar dari mulut wanita yang satu kontrakan dengan Nada. Berjalan dengan langkah tergesa. Setelah sampai, ia mendelik kearah sohibnya yang baru bangun tidur. Teriakan tadi berhasil membuatnya nyaris jantungan. Beberapa detik yang lalu, ia berniat memasuki kamar mandi. Namun teriakan Nada berhasil membuat wanita berkulit sawo matang itu mengurungkan niatnya di awal pagi. Ia mengkhawatirkan Nada. Sohibnya yang sudah cukup lama ia kenal dan kawani. Ya, sekitar satu tahun lebih.

Nada tampak bimbang. “La, barusan aku.. Bar..”

Lali menghampiri Nada. “Tutup mulutmu. Sekarang kamu tenangin diri kamu dulu. Tarik napas dalam-dalam cem orang lahiran.” Bahkan dalam keadaan was-was pun, wanita yang Nada panggil La itu masih bisa bercanda seenak jidat. “Bahkan tadi kamu berteriak Jahanam sangat keras . Serem!” Lanjutnya.

“Kamu ya…!!!” Nada tak melanjutkan ucapannya. Percuma saja meladeni canda garing dari sohibnya itu. Nada meraba-raba lengan, telapak tangan dan juga kakinya yang dibungkus selimut warna coklat serta bercorak bunga melati. Ia menatap sohibnya yang sekarang duduk di pangkal kasur sembari mengelus rambut Nada yang tampak berantakan.“Aku barusan mimpi buruk, La. Buruk sejadi-jadinya. Aku serius!”

Lila hanya tersenyum simpul. “Aku tahu. Belakangan ini, kamu sering mimpi buruk dan terbangun di pagi hari cem orang kesurupan. Udah nggak aneh ah!”

Merasa ucapannya tidak di respon serius, Nada memolototi Lila. “Aku sedang serius!”

“Aku tahu. Terus ?.”

“Aneh aja. Ada apa ya, La ? Aku jadi ngeri sendiri..” Tangan kanannya menjangkau hape yang terletak di balik bantal pinknya. Ternyata baru pukul enam lebih tiga puluh menit.

“Bisa saja itu sebuah tanda.”

“Tanda apa, La ? Seriusan ?.”

“Bisa saja ‘kan ?  Mungkin tanda kalau kamu har..”

“Harus berhenti dari dunia malam ? Aku juga sempat kepikiran. Tapi, kamu juga tahu sendiri ‘kan, La ? Tante Meta nggak bakalan begitu aja ngebiarin aku kabur.” Potong Nada panjang lebar. Nada sendiri sadar. Ia adalah salah satu pekerja yang sangat Tante Meta indahi dan dijaga baik-baik. Tak lain, Nada merupakan salah satu Anak Emas di klub tersebut.

“Nyindir aku nih ? Mentang-mentang wanita cantik di sebelahmu ini bukan Anak Emasnya Tante Meta. Songong ah..” Lila bergaya seperti seorang yang sedang ngambek. Dengan kedua tangan dilipatkan ke dada, ekspresi muka yang tampak murung, ditambah lagi ia memanyunkan bibir cerinya. ‘Menggemaskan sekaligus menyebalkan’. Itulah yang ada pada benak Nada.

“Kamu sendiri tahu kalau itu bukan maksudku..”

Lila kembali ke posisi semua —dengan ekspresi datar. Sekarang ia malah sibuk menggesek-gesek-an telapak tangan kanannya ke selimut yang masih menempel di bagian bawah tubuh Nada.

“Kamu gila, La ?.”

“I’m still waras. Ngomong-ngomong, kemarin kamu jadi nggak dijemput sama Om Gilang ?.” Lila masih duduk di sebelah Nada. Dengan kaki yang bertumpu pada lantai. Sekarang, raut wajahnya terlihat nakal.

Nada memolototi sohibnya. “Jadi.. Om Gilang jemput aku pas aku lagi di konter hape. Kebetulan juga aku lagi adu mulut sama sang empu konter. Kenapa emang ?”Jawabnya sembari mengingat-ngingat kejadian kemarin malam. Mengingat ekspresi menyebalkan Bapak konter.

“Bentar.. Bentar. Kamu adu mulut sama pemilik konter ?.”

“Hemmm..”

DDDDDDDDUT!!!!

“ANJIIIIIIR.. MINGGIR KAMU, LA. BUSUK TAU!!!” Teriakan keluar dari mulut Nada tepat saat ia mendengar suara menjijikan yang keluar dari pantat bahenol Lila. Kentut dengan bau ba’ sampah busuk memang salah satu ritual pagi yang rutin Lila lakukan. Menjijikan memang, tapi itu fakta.

“Minggir ah.. Perpaduan sampah sama semur jengkol.. Jijik!” Lanjutnya sembari mendorong Lila—sampai sohibnya itu ambruk di lantai yang belum dipel. Biasanya, mereka selalu bergiliran. Dan untuk hari ini, kebetulan giliran Lila. Sang wanita malam yang doyan kentut.

Lila berusaha berdiri, “Ngomong-ngomong, hari ini kamu mau kemana, Nad  ?”

Nada tersenyum simpul. “Nggak kemana-mana sih. Nungguin panggilan dari Tante Meta aja. Kamu sendiri, La ?” Nada masih sibuk menutupi lubang hidungnya dengan jemari tangannya.

Lila sedang mengepuk-epuk bagian belakang Hot Pant minimnya. “Aku mau kentut. Udah itu aja..”

HA HA HA HA HA HA

Dua wanita cantik itu tertawa bebarengan. Sangat lepas!


***


Nada dan sohibnya, Lila sudah berkawan cukup lama. Sejak pertama kali mereka dipertemukan di klub malam miliki Tante Meta. Kala itu, sosok polos Nada masih 20 tahun. Ia memutuskan untuk menerima tawaran dua tahun yang lalu dari Tante Meta karena satu hal. Bukan lain adalah uang. Memang betul, uang bisa membutakan iman dan kewarasan manusia di jagad alam ini. Begitupun Nada. Sebelum memutuskan untuk menerima tawaran dari Tante Meta, ia adalah seorang pelayan di salah satu rumah makan di sudut Tasikmalaya. Gaji yang terlalu kecil, yaitu 700 Ribu perbulan membuatnya angkat tangan sekaligus angkat kaki dari rumah makan tersebut. Nada ingat pula, saat dirinya mendapat gaji pertamanya, ia begitu antusias, bahkan saat itu, ia ba’ orang tak waras yang baru mendapatkan uang. Mengingatnya, Nada selalu tersenyum geli.

Untuk pertama kalinya Nada datang langsung ke klub malam milik Tante Meta. Saat kakinya menapaki lantai klub, bulu kuduknya berdiri. Bukan karena takut, ia hanya merasa takjub sekaligus merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia berani melangkah masuk menuju pintu masuk klub malam itu dengan wajah penuh dosa. Ia baru saja menggunting tali perjanjian dengan Almarhumah Ibu tercinta. Ibu angkatnya pernah bertutur bahwa klub malam adalah salah satu sarana limbah dosa dan kemaksiatan. Entahlah, Nada sendiri sedikit bingung dengan apa yang Ibunya tuturkan dulu. Yang jelas, Ibu angkatnya tidak mengijinkan Nada berkunjung ke tempat seperti klub malam. Namun sekarang, ia sangat tahu maksud dari pesan Ibunya dulu. Nada mengakui, omelan beliau memang benar adanya.

Nada pun akhirnya diperkenalkan oleh Bu Meta kepada anak asuhnya yang lain. Tak dapat disangkal, kehadiran Nada memang cukup mengejutkan banyak pihak, terutama para senior Nada yang lebih dulu menggeluti pekerjaan menyesatkan itu. Dengan wajah cantik, polos sekaligus berkarakter —membuatnya digilai banyak pengunjung pria. Banyak pula anak asuh Tante Meta yang menganggap mereka telah dianak-tiri-an oleh sang empu klub.

Namun tidak demikian dengan Lila. Ia tahu bahwa Nada bukan seseorang yang pantas ia benci. Ia tak pantas menyimpan rasa iri nan dengki pada Nada. Beberapa kali, Nada sempat menolongnya. Nada pernah berbohong dan bercakap pada Tante Meta kalau Lila sedang sakit dan tidak bisa melayani para tamu. Padahal kala itu, Lila sedang asyik makan malam dengan kekasih sungguhannya. Nada juga kerap kali meminjamkan uang pada Lila untuk keperluan kontrakan. Hatinya tertegun. Ia yakin Nada bukan seorang yang ambisius dalam mendapatkan uang ataupun kekuasaan. Dengan tampang memukau, Nada selalu merendah.

Alasan lain yang melatar-belakingi ia ingin berteman dengan Nada adalah karena dua hal. Pertama, Nada adalah sosok wanita yang pandai menyimpan, menyembunyikan bahkan memusnahkan rasa sedihnya lewat senyuman, tawa dan sikap dewasanya. Lila kerap kali mendapati Nada sedang menangis di toilet. Saat itu, Nada baru selesai memanjakan salah seorang tamu. Entah mengapa, jantungnya berdetak tak karuan. Ia merasa bahwa Nada butuh dikawani. Nada butuh seorang kakak sekaligus sohib.

Kedua, karena sosok Nada mengingatkannya pada Adiknya yang kebetulan seumuran dengan Nada. Adiknya yang sudah lama meninggal dengan cara gantung diri karena defresi mendapati Ayah dan juga Ibu tercinta akan bercerai. Selain itu, Ayahnya pun sering bertindak kasar pada Nada dan juga sang adik.

Mulai menjalin pertemanan. Lila menawarkan Nada untuk tinggal satu kontrakan dengannya. Bagi yang tidak tahu. Peraturan dari Tante Meta memang begitu adanya. Anak asuhnya bebas memilih tempat tinggal. Pilihannya ada dua. Tinggal dan menetap di klub miliknya. Pilihan kedua, tinggal dan menyewa kontrakan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari klub. Kebetulan, Lila menunjuk pilihan yang kedua. Dengan semangat, Nadapun meng’iyakan tawaran dari sohib barunya tersebut.

“Kamu kenapa, La ? Saran aja ya. . Jangan jadikan ngelamun sebagai hobi..” Cakap Nada sembari merias wajah cantiknya. “Aku harus membeli Lipstik lagi nanti. Persediaan Lipstik mulai punah..” Lanjutnya sembari mengambil tisu. Setelah itu, ia mengelap Lipstik yang belepotan di sekitar bibir tebalnya.

Lila yang sedari tadi tengkurap di kasur empuknya bergegas bangun dan duduk menyila. Tentu saja masih di tempat bobonya.  “Aku ingat masa lalu kita, Nad..” Lila terlihat berpikir, “Kala itu kamu masih anak baru di klub yang sekarang menjadi tempat kita bekerja. Kamu masih polos dan oon.”

“Hey..” Nada berbalik menatap sohibnya. Ia yang sedari tadi duduk menghadap cermin baru sadar, saat ini, ekspresi wajah Lila tampak serius. Nada menggeser kursi yang sedari tadi ia duduki agar lebih depan. Lututnya bersentuhan dengan lemari tempatnya merias diri. Nada kembali berfokus pada cermin di depannya.

“Aku juga sempat melihat. . . Eh tidak, lebih tepatnya mendengar. Yah, aku mendengar suara tangisanmu. DI TOILET..”

“Hemm..” Nada hanya bergumam kecil.

“Aku rindu masa itu, Nad. Mendengar kamu nangis membuatku ikut sedih juga. Dan karena itulah, aku ingin menjadikanmu kawan.”

Masih merias diri, “Jadi kalau aku tidak menangis, kamu tak akan menjadikanku kawan ? Mengecewakan!” Sekarang Nada sedang mengucir rambut panjangnya ke belakang.

“Bukan begitu. Tapi mendengar kamu nangis adalah salah satu alasannya. Nggak salah ‘kan ?.” Lila bertanya dengan suara yang terdengar serius.

Nada menyudahi aktifitas cantiknya. Ia berjalan kearah kasur. Lalu menepuk bahu Lila pelan. “Nggak salah kok. Kebetulan, masa itu adalah salah satu sejarah bagiku.”

“Sejarah ?.”

Nada masih berdiri. “Iya. Untuk pertama kalinya, aku mendengar seorang wanita cantik nan seksi kentut dengan tak tahu malunya. Aku masih ingat. Saat itu, aroma kentutmu. . Emm. .Nada terlihat memikirkan sesuatu. “Cem sampah!”

HA HA HA HA HA

Tawa membludak dari mulut Nada.

“Hey…!!!” Lila memolototi Nada.

Beberapa detik kemudian, mereka saling menatap dan tersenyum bebarengan.

‘Aku berharap, semoga kita bisa berkawan selamanya, La. Sampai urat nadi kita tak berdenyut lagi..’ Cakap Nada dalam hati.


-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar