***
Apa ada yang belum membaca Part 1 ? Bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 1 ]
***
Wanita itu tampak
ketakutan. Sedari tadi, ia terus saja menggigit bibir bawahnya dengan hawa
gelisah. Pancaran ketakutan terpangpang jelas di sekujur lekuk tubuhnya. Yang
paling dominan adalah wajah wanita tersebut. Kulit putih bersih membuatnya
semakin terlihat ketakutan nan penuh kegelisahan. Matanya mendelik kesana
kemari. Menjangkau ke seluruh ruangan yang sedang ia tapaki. Ia melangkah maju.
Gurat keputus-asaan
terpampang di wajanya, “Ruangan macam apa ini, Tuhan ? Aku takut. Aku gelisah…”
Pernyataan tadi keluar langsung dari mulut wanita jangkung tersebut. Sembari
menyidik ruangan yang sekarang ia tapaki, ia baru menyadari, bahwa ruangan ini
bentuknya seperti rumah sederhana dengan empat kamar sekaligus. Ia menatap ke
sisi kanan tubuhnya. Terdapat dua kamar yang tak terlalu besar —lebih tepatnya
kecil. Di sudut atas pintu dua kamar itu ada tulisan singkat. ‘Matilah kau,
Jahanam’.
“Gleeeek…” Itu
suara berasal dari rongga mulutnya —bahwa beberapa detik yang lalu ia baru saja
menelan air liurnya menuju kerongkongan.
Wajahnya tampak semakin pucat.
Wajahnya tampak semakin pucat.
Ia mendelik kearah
sisi kiri tubuhnya. Ada kamar yang ukurannya hampir sama dengan dua kamar yang
beberapa detik yang lalu ia jangkau. Lagi-lagi terdapat tulisan singkat pada
sudut atas pintu dua kamar itu. ‘Siapkah kau, Jahanam ?’
Semakin mencekam,
pertahanannya mulai ambruk. Ia tak dapat menahan bobot tubuhnya lebih lama
lagi. “Aku menyerah.” Pekik wanita berambut panjang itu tepat saat tubuhnya
mulai ambruk di lantai rumah yang semua ruangannya dibanjiri warna putih pekat.
Ya rumah kecil nan mencekam ini berwarna putih pekat. Sewarna dengan pakaian
yang wanita jangkung itu kenakan.
Beberapa detik ia
menunduk sembari menahan gejolak panas di mata indahnya. Ia tahu, kalau air
matanya sampai tumpah ruang di pipi bersihnya, rasa takutnya akan semakin
menjadi-jadi, bertubi-tubi, bermilyar-milyar bahkan tak terhingga. Sampai
saatnya, ia mulai mengangkat wajah ovalnya dengan sangat pelan. Wanita cantik
itu menatap lurus kedepan. Keadaannya masih terdampar di lantai ruangan
mencekam ini. Kedua telapak tangannya bertumbu pada lantai. Bagian atas
tubuhnya lebih condong ke depan.
Matanya dengan
jelas menyidik pada satu lemari antik berwarna putih pekat. Senada dengan rumah
dan pakaian yang ia kenakan. Pintu lemari itu terbuka begitu saja. Kosong tanpa
benda, pakaian, ataupun sosok manusia. Wanita itu mengedipkan mata satu kali.
Tepat saat itu, lemari yang memungkinkan memasukan dua sosok manusia itu melaju
dengan cepat kearah wanita malang itu. “Tuhan, Aku belum siap menuju alam
akhirat. Aku belum cukup siap. Sungguh!.” Pekiknya sembari berusaha bangun.
Namun sia –sia, tubuhnya tak juga merespon. Seakan telapak tangan, kaki dan
sekujur tubuhnya menempel pada lantai jahanam tersebut.
“Jahanam ? Siapkah
kamu kembali ?...”
“Jahanam ? Siapkah
kamu dimaki ?...”
“Jahanam ? Siapkah
kamu dideritai ?...”
“Jahanam ?..”
Suara mengerikan
itu berhasil membuat air bening yang sedari tadi wanita itu tahan akhirnya
tumpah ruah. Gejolak derita seakan mendekat, mengarah, dan memeluknya. Suara tadi,
seakan memanggilnya. Seakan memakinya. Seakan ingin mendustainya. Ia takut. Ya,
takut bukan kepalang.
Lemari antik itu
semakin mendekat.. Semakin mendekat.. Semakin jelas terpampang.. Semakin…
***
“JAHANAM…!!!”
“Astaga..
Ada apa, Nad ?.” Suaru itu keluar
dari mulut wanita yang satu kontrakan dengan Nada. Berjalan dengan langkah
tergesa. Setelah sampai, ia mendelik kearah sohibnya yang baru bangun tidur.
Teriakan tadi berhasil membuatnya nyaris jantungan. Beberapa detik yang lalu,
ia berniat memasuki kamar mandi. Namun teriakan Nada berhasil membuat wanita
berkulit sawo matang itu mengurungkan niatnya di awal pagi. Ia mengkhawatirkan
Nada. Sohibnya yang sudah cukup lama ia kenal dan kawani. Ya, sekitar satu
tahun lebih.
Nada tampak
bimbang. “La, barusan aku.. Bar..”
Lali
menghampiri Nada. “Tutup mulutmu. Sekarang kamu tenangin diri kamu dulu. Tarik
napas dalam-dalam cem orang lahiran.” Bahkan dalam keadaan was-was pun, wanita
yang Nada panggil La itu masih bisa
bercanda seenak jidat. “Bahkan tadi kamu berteriak Jahanam sangat keras .
Serem!” Lanjutnya.
“Kamu
ya…!!!” Nada tak melanjutkan ucapannya. Percuma saja meladeni canda garing dari
sohibnya itu. Nada meraba-raba lengan, telapak tangan dan juga kakinya yang
dibungkus selimut warna coklat serta bercorak bunga melati. Ia menatap sohibnya
yang sekarang duduk di pangkal kasur sembari mengelus rambut Nada yang tampak
berantakan.“Aku barusan mimpi buruk, La. Buruk
sejadi-jadinya. Aku serius!”
Lila hanya
tersenyum simpul. “Aku tahu. Belakangan ini, kamu sering mimpi buruk dan
terbangun di pagi hari cem orang kesurupan. Udah nggak aneh ah!”
Merasa
ucapannya tidak di respon serius, Nada memolototi Lila. “Aku sedang serius!”
“Aku tahu.
Terus ?.”
“Aneh aja.
Ada apa ya, La ? Aku jadi ngeri sendiri..”
Tangan kanannya menjangkau hape yang terletak di balik bantal pinknya. Ternyata baru pukul enam lebih
tiga puluh menit.
“Bisa saja
itu sebuah tanda.”
“Tanda apa,
La ? Seriusan ?.”
“Bisa saja ‘kan ?
Mungkin tanda kalau kamu har..”
“Harus
berhenti dari dunia malam ? Aku juga sempat kepikiran. Tapi, kamu juga tahu
sendiri ‘kan, La ? Tante Meta nggak
bakalan begitu aja ngebiarin aku kabur.” Potong Nada panjang lebar. Nada
sendiri sadar. Ia adalah salah satu pekerja
yang sangat Tante Meta indahi dan dijaga baik-baik. Tak lain, Nada merupakan
salah satu Anak Emas di klub tersebut.
“Nyindir
aku nih ? Mentang-mentang wanita cantik di sebelahmu ini bukan Anak Emasnya
Tante Meta. Songong ah..” Lila bergaya seperti seorang yang sedang ngambek.
Dengan kedua tangan dilipatkan ke dada, ekspresi muka yang tampak murung,
ditambah lagi ia memanyunkan bibir cerinya. ‘Menggemaskan sekaligus
menyebalkan’. Itulah yang ada pada benak Nada.
“Kamu
sendiri tahu kalau itu bukan maksudku..”
Lila
kembali ke posisi semua —dengan ekspresi datar. Sekarang ia malah sibuk
menggesek-gesek-an telapak tangan kanannya ke selimut yang masih menempel di
bagian bawah tubuh Nada.
“Kamu gila,
La ?.”
“I’m still waras. Ngomong-ngomong, kemarin
kamu jadi nggak dijemput sama Om Gilang ?.” Lila masih duduk di sebelah Nada.
Dengan kaki yang bertumpu pada lantai. Sekarang, raut wajahnya terlihat nakal.
Nada
memolototi sohibnya. “Jadi.. Om Gilang jemput aku pas aku lagi di konter hape.
Kebetulan juga aku lagi adu mulut sama sang empu konter. Kenapa emang
?”Jawabnya sembari mengingat-ngingat kejadian kemarin malam. Mengingat ekspresi
menyebalkan Bapak konter.
“Bentar..
Bentar. Kamu adu mulut sama pemilik konter ?.”
“Hemmm..”
DDDDDDDDUT!!!!
“ANJIIIIIIR..
MINGGIR KAMU, LA. BUSUK TAU!!!”
Teriakan keluar dari mulut Nada tepat saat ia mendengar suara menjijikan yang keluar dari pantat
bahenol Lila. Kentut dengan bau ba’ sampah busuk memang salah satu ritual pagi
yang rutin Lila lakukan. Menjijikan memang, tapi itu fakta.
“Minggir
ah.. Perpaduan sampah sama semur jengkol.. Jijik!” Lanjutnya sembari mendorong
Lila—sampai sohibnya itu ambruk di lantai yang belum dipel. Biasanya, mereka
selalu bergiliran. Dan untuk hari ini, kebetulan giliran Lila. Sang wanita
malam yang doyan kentut.
Lila
berusaha berdiri, “Ngomong-ngomong, hari ini kamu mau kemana, Nad ?”
Nada
tersenyum simpul. “Nggak kemana-mana sih. Nungguin panggilan dari Tante Meta
aja. Kamu sendiri, La ?” Nada masih
sibuk menutupi lubang hidungnya dengan jemari tangannya.
Lila sedang
mengepuk-epuk bagian belakang Hot Pant minimnya. “Aku mau kentut. Udah itu
aja..”
HA HA HA HA
HA HA
Dua wanita
cantik itu tertawa bebarengan. Sangat lepas!
***
Nada dan
sohibnya, Lila sudah berkawan cukup lama. Sejak pertama kali mereka
dipertemukan di klub malam miliki Tante Meta. Kala itu, sosok polos Nada masih
20 tahun. Ia memutuskan untuk menerima tawaran dua tahun yang lalu dari Tante
Meta karena satu hal. Bukan lain adalah uang. Memang betul, uang bisa
membutakan iman dan kewarasan manusia di jagad alam ini. Begitupun Nada.
Sebelum memutuskan untuk menerima tawaran dari Tante Meta, ia adalah seorang
pelayan di salah satu rumah makan di sudut Tasikmalaya. Gaji yang terlalu
kecil, yaitu 700 Ribu perbulan membuatnya angkat tangan sekaligus angkat kaki
dari rumah makan tersebut. Nada ingat pula, saat dirinya mendapat gaji
pertamanya, ia begitu antusias, bahkan saat itu, ia ba’ orang tak waras yang
baru mendapatkan uang. Mengingatnya, Nada selalu tersenyum geli.
Untuk
pertama kalinya Nada datang langsung ke klub malam milik Tante Meta. Saat
kakinya menapaki lantai klub, bulu kuduknya berdiri. Bukan karena takut, ia
hanya merasa takjub sekaligus merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia berani
melangkah masuk menuju pintu masuk klub malam itu dengan wajah penuh dosa. Ia
baru saja menggunting tali perjanjian dengan Almarhumah Ibu tercinta. Ibu
angkatnya pernah bertutur bahwa klub malam adalah salah satu sarana limbah dosa
dan kemaksiatan. Entahlah, Nada sendiri sedikit bingung dengan apa yang Ibunya
tuturkan dulu. Yang jelas, Ibu angkatnya tidak mengijinkan Nada berkunjung ke
tempat seperti klub malam. Namun sekarang, ia sangat tahu maksud dari pesan
Ibunya dulu. Nada mengakui, omelan beliau memang benar adanya.
Nada pun
akhirnya diperkenalkan oleh Bu Meta kepada anak asuhnya yang lain. Tak dapat
disangkal, kehadiran Nada memang cukup mengejutkan banyak pihak, terutama para
senior Nada yang lebih dulu menggeluti pekerjaan menyesatkan itu. Dengan wajah
cantik, polos sekaligus berkarakter —membuatnya digilai banyak pengunjung pria.
Banyak pula anak asuh Tante Meta yang menganggap mereka telah dianak-tiri-an
oleh sang empu klub.
Namun tidak
demikian dengan Lila. Ia tahu bahwa Nada bukan seseorang yang pantas ia benci.
Ia tak pantas menyimpan rasa iri nan dengki pada Nada. Beberapa kali, Nada
sempat menolongnya. Nada pernah berbohong dan bercakap pada Tante Meta kalau
Lila sedang sakit dan tidak bisa melayani para tamu. Padahal kala itu, Lila
sedang asyik makan malam dengan kekasih sungguhannya.
Nada juga kerap kali meminjamkan uang pada Lila untuk keperluan kontrakan.
Hatinya tertegun. Ia yakin Nada bukan seorang yang ambisius dalam mendapatkan
uang ataupun kekuasaan. Dengan tampang memukau, Nada selalu merendah.
Alasan lain
yang melatar-belakingi ia ingin berteman dengan Nada adalah karena dua hal.
Pertama, Nada adalah sosok wanita yang pandai menyimpan, menyembunyikan bahkan
memusnahkan rasa sedihnya lewat senyuman, tawa dan sikap dewasanya. Lila kerap
kali mendapati Nada sedang menangis di toilet. Saat itu, Nada baru selesai
memanjakan salah seorang tamu. Entah mengapa, jantungnya berdetak tak karuan.
Ia merasa bahwa Nada butuh dikawani. Nada butuh seorang kakak sekaligus sohib.
Kedua,
karena sosok Nada mengingatkannya pada Adiknya yang kebetulan seumuran dengan
Nada. Adiknya yang sudah lama meninggal dengan cara gantung diri karena defresi
mendapati Ayah dan juga Ibu tercinta akan bercerai. Selain itu, Ayahnya pun
sering bertindak kasar pada Nada dan juga sang adik.
Mulai
menjalin pertemanan. Lila menawarkan Nada untuk tinggal satu kontrakan
dengannya. Bagi yang tidak tahu. Peraturan dari Tante Meta memang begitu
adanya. Anak asuhnya bebas memilih tempat tinggal. Pilihannya ada dua. Tinggal
dan menetap di klub miliknya. Pilihan kedua, tinggal dan menyewa kontrakan yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari klub. Kebetulan, Lila menunjuk pilihan yang
kedua. Dengan semangat, Nadapun meng’iyakan tawaran dari sohib barunya
tersebut.
“Kamu
kenapa, La ? Saran aja ya. . Jangan
jadikan ngelamun sebagai hobi..” Cakap Nada sembari merias wajah cantiknya.
“Aku harus membeli Lipstik lagi nanti. Persediaan Lipstik mulai punah..”
Lanjutnya sembari mengambil tisu. Setelah itu, ia mengelap Lipstik yang
belepotan di sekitar bibir tebalnya.
Lila yang
sedari tadi tengkurap di kasur empuknya bergegas bangun dan duduk menyila.
Tentu saja masih di tempat bobonya. “Aku
ingat masa lalu kita, Nad..” Lila
terlihat berpikir, “Kala itu kamu masih anak baru di klub yang sekarang menjadi
tempat kita bekerja. Kamu masih polos
dan oon.”
“Hey..”
Nada berbalik menatap sohibnya. Ia yang sedari tadi duduk menghadap cermin baru
sadar, saat ini, ekspresi wajah Lila tampak serius. Nada menggeser kursi yang
sedari tadi ia duduki agar lebih depan. Lututnya bersentuhan dengan lemari
tempatnya merias diri. Nada kembali berfokus pada cermin di depannya.
“Aku juga
sempat melihat. . . Eh tidak, lebih tepatnya mendengar. Yah, aku mendengar
suara tangisanmu. DI TOILET..”
“Hemm..”
Nada hanya bergumam kecil.
“Aku rindu
masa itu, Nad. Mendengar kamu nangis
membuatku ikut sedih juga. Dan karena itulah, aku ingin menjadikanmu kawan.”
Masih
merias diri, “Jadi kalau aku tidak menangis, kamu tak akan menjadikanku kawan ?
Mengecewakan!” Sekarang Nada sedang mengucir rambut panjangnya ke belakang.
“Bukan
begitu. Tapi mendengar kamu nangis adalah salah satu alasannya. Nggak salah ‘kan ?.” Lila bertanya dengan suara yang
terdengar serius.
Nada
menyudahi aktifitas cantiknya. Ia berjalan kearah kasur. Lalu menepuk bahu Lila
pelan. “Nggak salah kok. Kebetulan, masa itu adalah salah satu sejarah bagiku.”
“Sejarah
?.”
Nada masih
berdiri. “Iya. Untuk pertama kalinya, aku mendengar seorang wanita cantik nan
seksi kentut dengan tak tahu malunya. Aku masih ingat. Saat itu, aroma
kentutmu. . Emm. .Nada terlihat memikirkan sesuatu. “Cem sampah!”
HA HA HA HA
HA
Tawa
membludak dari mulut Nada.
“Hey…!!!”
Lila memolototi Nada.
Beberapa
detik kemudian, mereka saling menatap dan tersenyum bebarengan.
‘Aku
berharap, semoga kita bisa berkawan selamanya, La. Sampai urat nadi kita tak berdenyut lagi..’ Cakap Nada dalam
hati.
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar