***
Baca dulu Part yang sebelumnya di [ KALUNG TAKDIR Part 3 ]
***
“Harusnya kamu jujur….,”
“Jujur perihal apa ?,”
“Perihal suara menjijikan yang berasal dari dalam
perutmu, Nona.”
“Jadi, obrolan menjengkelkan perihal suara
menjijikan tadi masih berlanjut ?.”
“Sebenarnya, aku tidak ingin membahas topik itu.
Tapi, rasa penasaranku terlalu menggunung, Nona..”
“Berhenti memanggilku Nona. Aku tak suka..”
“Lantas, aku harus memanggilku apa ? Hemm ?,”
“Terserah. Bisakah kamu berhenti bicara ? Aku
sedang makan.”
“Bukan aku,
tapi kita. Aku juga sedang
makan.., tapi masih bisa buka mulut. Jadi, aku harus memanggilmu apa ?.”
“Terserah apa katamu!.”
“Orang
asing ? Nona cantik ? Miss stranger ?
Itu terdengar manis.., tapi terlalu ribet untuk diucapkan. Ayolah…, aku
harus memanggilmu apa, Nona ?”
“Pandai mengganti topik pembicaraan… tadi,
membicarakan tofik perihal suara menjijikan dari dalam perutku. Dan seka–“
“Akhirnya kamu mengaku juga, Nona…”
“Eh ?,”
“Eh apa ? Jelas-jelas.., tadi kamu ngomong kalau
suara menjijikan itu berasal dari dalam perutmu. Sudah jelas ‘kan ?.”
“Heyyyyy!!!”
“Topik tentang suara benih kelaparan kita tutup
sampai disini!”
“Dasar orang aneh..”
“Orang aneh yang kebetulan menolongmu dari
genggaman pria bau tanah!”
“Terserah apa katamu,”
“Jadi, aku harus memanggilmu apa, Nona ?”
“Berhenti memanggilku Nona!!!”
“Jadi ?,”
“Terimakasih atas makan malam gratisnya. Kebetulan,
aku sudah kenyang…, aku pergi sekarang ya. Sampai jumpa, Tuan Bawel.”
“Kita belum berkenalan… belum juga mengetahui
nama masing-masing. Hey, Nonaaa..”
“Sampai jumpa. Terimakasih sudah menolongku dari
si pria bau tanah. Sekali lagi, terimakasih, Tuan Bawel!”
***
Dan disinilah Laksa sekarang. Terbaring di kasur
empuknya sembari mengingat-ingat kejadian kemarin malam. Padahal ia baru bangun
tidur, namun organ kewarasannya sudah berkelana kesana-kemari. Ya, kejadian
kemarin malam benar-benar membuatnya candu. Kejadian yang membuat malam
minggunya menjadi teramat istimewa dan tentu saja membuatnya bahagia. Bahagia ?
Bagaimana bisa Laksa sebahagia itu, sementara wanita yang kemarin ia tolong
sama sekali tidak ia kenal ? Entahlah, Laksa sendiri merasa aneh dan menganggap
sosoknya sudah tak waras. Yang ia ingat adalah, bilik jantungnya berdebar
kencang senada dengan mulut si wanita yang sibuk mengeluarkan bingkai-bingkai
kalimat indahnya saat kemarin malam. Setidaknya, itulah yang sekarang ada dalam
memori Laksa, sang pengangguran yang diambang gejolak tak bernama.
Laksa mengingat...
‘Jujur perihal apa ?,’
Cara si wanita bertanya, sungguh membuat jantung
Laksa dag-dig-dug tak karuan. Cara si wanita bertanya sembari tangannya sibuk
dengan sendok serta mulutnya kepayahan menyantap nasi goreng, berhasil membuat
Laksa terpesona. Laksa sangat suka cara si wanita bersikap seadanya tanpa so’ cantik dan so’ jaim ketika menyantap sajian nasi goreng Kang Dula. Laksa mulai
berfikir, ada banyak wanita cantik yang lalu lalang dan duduk di bangku yang
sama dengannya sembari menyantap nasi goreng Kang Dula, tapi kebanyakan dari
mereka, selalu bertingkah jaim dan so’ cantik. Dan satu lagi, menjaga imej ketika
menyantap nasi goreng. Itu sedikit memuakkan bagi Laksa. Tapi si wanita tak
dikenal kemarin, benar-benar berbeda. Sebut saja apa adanya!
‘Jadi, obrolan
menjengkelkan perihal suara menjijikan tadi masih berlanjut ?.’
Ketika mulut si wanita mengucapkan kalimat itu.
Saat itu pula, si wanita menatap wajah tampan Laksa cukup dekat. Ya, mereka
memang duduk bersampingan di kursi panjang milik Kang Dula. Menjijikan, kata
itu keluar senada dengan keadaan si wanita yang mulai berhenti dari aktifitas
makannya. Laksa ? Ia malah sibuk menatap secuil nasi goreng yang
melanglang-buana di bibir bawah si wanita. Laksa terkekeh karenanya.
‘Berhenti
memanggilku Nona. Aku tak suka..’
Nona ? Apa ada yang
salah dengan panggilan Nona ? Itu
panggilan yang cukup indah untuk seorang wanita. Namun, Laksa yakin, alasan si
wanita tak ingin ia panggil Nona, bukan lain adalah karena si wanita ingin agar
Laksa memanggilnya dengan nama asli pemberian kedua orang tuanya. Baik nama
depan ataupun nama belakang. Herannya adalah, si wanita keukeuh tidak mau
menyebutkan nama aslinya. Dalam sunyi, Laksa berharap agar mereka bisa
dipertemukan kembali.
Sekedar berharap, tak apa kan ?.
‘Terserah apa
katamu,’
Tiga kata itu, si wanita ucapkan dua kali. Laksa
bertanya-tanya, apa itu salah satu kebiasaan si wanita ketika sedang kesal dan
jengkel pada sesuatu ? Waktu yang akan menjawab rasa penasarannya.
‘Dasar orang
aneh..’
Mungkin ada yang tidak beres dengan cara pikir
serta kewarasan pria bernama Laksa. Ia begitu terkekeh –bahkan lebih kearah girang, saat si wanita meledeknya dengan
panggilan aneh. Mungkin juga karena
alasan lain. Yup, ketika si wanita mengeluarkan tiga kata tersebut, bibir si
wanita terlihat begitu mengembang. Sontak saja, senyum manis langsung merekah
dari bibir Laksa, si pria pengangguran.
‘Sampai jumpa.
Terimakasih sudah menolongku dari si pria bau tanah. Sekali lagi, terimakasih,
Tuan Bawel!’
Tak ada kata-kata, kalimat, bait ataupun puisi
khusus untuk menggambarkan rasa campur aduk Laksa ketika seseorang yang baru ia
kenal, memanggilnya Tuan Bawel.
Sekali lagi, Laksa hanya berharap, semoga sang waktu mau untuk bekerja sama
dengan takdir, agar bisa mempertemukannya dengan si wanita dilain kesempatan.
“Laksa. . . cepat keluar dari kamarmu. Ibu sudah
masak nasi goreng…, ayo makan!” Lagi, teriakkan Bu Enti berhasil membuyarkan ingatan
indahnya tentang si wanita tak dikenal.
Laksa beranjak bangun, “Iya, Bu. . . sebentar,
Laksa hendak pake baju dulu.” Sautnya sembari bergegas menuju lemari butut
pemberian sang Ayah.
Sembari berjalan menuju lemari, Laksa sibuk
membenarkan letak boxer yang ia pakai. Ya, dengan hanya mengenakan boxer saat
terlelap di malam hari adalah salah satu kebiasaan Laksa yang selalu ia
terapkan sejak masih di bangku Sekolah Dasar. Mungkin menurut sebagian orang,
kebiasaan tersebut tidak cukup baik karena membuat tubuh menggigil alias masuk
angin. Namun, itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi Laksa. Dengan hanya
bertelanjang dada dan menutupi bagian bawah perutnya dengan boxer, setidaknya
bisa membuat tidur Laksa menjadi lebih nyaman dan rileks.
***
“Ya Tuhan, Nada. . . bisakah kamu bersikap
sewajarnya saja ?,” tanya Lila sembari menarik pergelangan tangan sohibnya yang
sedari tadi duduk menyila di pangkal tempat tidur. Ia merasa heran pada
sohibnya itu. Sepagi ini, namun tingkahnya sungguh aneh dan membuatnya nyaris
kehilangan kata-kata. Tingkah aneh sohibnya itu adalah senyum-senyum sendiri ba’ manusia tak waras. “Ayo mandi…” pekiknya.
Untuk kedua kalinya ia menarik pergelangan tangan sang sohib. Dan berhasil.
Sohib yang satu kontrakan dengannya itu mau menurut untuk bergegas turun dari
tempat tidur.
“Ada apa sih, La
?” tanya Nada sembari memasang wajah tanpa dosa. Sontak saja, itu membuat
Lila jengkel. Kakinya berjalan dua langkah. Sekarang, Nada berdiri membelakangi
sohibnya. Sementara Lila ? Ia begitu jengkel sembari menatap kosong punggung
Nada yang terbalut baju tidur warna biru muda.
Lila berjalan kearah Nada. Ia mencoba untuk
mensejajarkan tubuhnya. “Sepagi ini, tapi tingkahmu udah kek orang yang hilang
kewarasan. Senyum-senyum sendiri…, ba’
orang gila. Nggak nyadar, Non ?”
Lagi, Nada malah senyum-senyum sendiri sembari
menundukan kepala. Kata Non yang
diucapkan sohibnya itu sungguh membuat memorinya langsung mengingat si pria tak
dikenal. Ya, si pria yang kemarin malam menolongnya. Si pria yang ia panggil
Tuan Bawel. Pria itu sungguh nyaris hinggap di memorinya sedari dari. Nada
ingat, saat itu ia sungguh kesal karena si pria tak dikenal memanggilnya Nona.
Entah mengapa, ia begitu merasa kesal. Namun saat perjalanan pulang menuju
kontrakan, tak ia sadari, bibirnya tengah mengulum senyum sembari mengingat
tampang si pria saat memanggilnya Nona.
Merasa diacuhkan, Lila mulai buka mulut, “Nada ?
Kamu disini nggak sendirian lho, ada aku juga!” Sewot Lila. Mereka berdua masih
berdiri bersampingan. Mereka berdiri lima langkah dari pembaringan.
Nada berdehem. Ia berusaha untuk tak tersenyum
—tepatnya meminimalisir kadar senyum di bibirnya. “Maksudmu apa, La ?”
“Kamu senyum-senyum sendiri, seolah-olah disini,
diruangan ini hanya ada kamu seorang. Padahal ada aku, Lila Pertiwi…” Jelas
Lila sembari dengan bangga menyebutkan nama lengkapnya. Cukup indah, bukan ?,
“Sohib yang satu kontrakan denganmu.” Lanjutnya.
Lagi, Nada berdehem. “Maaf, La.”
Nada mencondongkan wajahnya kearah Lila. Lalu,
mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Lila. “Ingin tahu sesuatu ?,” Bisiknya.
“Apaan, Nad
?” Tanya Lila dengan penasaran.
“Aku–“
“Jangan bilang tentang mimpi buruk lagi. Aku
sudah cukup bosan..” Potong Lila.
“Bukan, tapi–“
“Aroma wangi kentutmu ?,” Lagi.
“Nggak lucu…”
“Lalu ?,” Tanya Lila. Ia berniat membalas dendam
dengan bertingkah menyebalkan.
“Aku–“
“Ingin keluar dari dunia malam ?,” Lagi.
“Bukan. Kemarin malam, aku–“
“Cipokkan sama Om Bram ?,” Lagi.
Nada menatap wanita disamping dengan raut kesal.
“Buk…” Nada bungkam sejenak. Sebelum akhirnya berniat buka suara, “Ada
hubungannya sama Om Bram sih.”
“Seriusan, Nad
?” Kini, Lila tampak serius menanggapi obrolan Nada.
“Kamu doyan Om-Om ya, La ?’
“Eh ?,” Itu suara Lila.
“Habisnya, kalo ada pembahasan tentang Om-Om,
kamu pasti langsung konek!” Cibir Nada. Ia berhasil membuat bola mata Lila
nyaris menerobos keluar dari sarangnya.
“HEY–“
“Kalo ngobrol itu, enaknya sambil duduk. Yuk
mari..” Omong Nada sembari cengengesan. Ia berjalan kearah sisi tempat tidur.
Lila mengikuti Nada dari belakang. Kemudian, mereka duduk bersampingan sembari
kaki mereka bertumbu pada lantai.
Nada berdehem, “Aku harus mulai dari mana ya, La ?” Ungkap Nada. Cukup bingung, karena
sebelumnya, ia tidak pernah membicarakan tentang pria manapun pada sohibnya
itu—pasalnya, Nada begitu enggan untuk menaruh hati pada pria yang setiap hari
lalau lalang di kehidupannya . Ia sadar, begitu langka, bahkan hampir punah
sosok pria yang mungkin dapat menerima keadannya sebagai sosok wanita
malam—pendamping pria hidung belang yang berkedok haus kasih sayang.
Lila melingkarkan tangan kanannya ke sekitar
tengkuk sohibnya. “Nggak usah bingung gitu, Nad..,
aku nggak maksa kamu untuk bercerita dari A sampe Z kok. Terserah nyamanmu
saja.”
Nada masih bungkam sembari menundukan kepala,
menatap kedua kakinya yang menyentuh lantai. Beberapa detik kemudian, senyum
simpul terlihat di bibirnya.
“Tentang pria ‘kah
?.” Tanya wanita bernama belakang Pertiwi itu. Lila tak yakin tentang apa
yang ia tanyakan pada Nada.
Nada mengangguk pelan. “Entah mengapa, La. Dari semalam, aku kepikiran pria
asing itu… Si Tuan Bawel.” lagi, Nada tersenyum.
Mendengar pengakuan dari sohibnya, Lila begitu
antusias. Dari lubuk hati terdalamnya, ia sungguh berharap agar Nada bisa
menemukan sosok yang begitu mencintainya dengan amat apa adanya. Ia tahu, Nada
adalah sosok sendiri nan kesepian. Lila sangat tahu itu. “Tuan Bawel ?
Eciyeeee.. Ciyeee. . .” Godanya sembari menggelitik perut Nada.
“Aw. . Aw. . Aw. . Hentikan, La. Geli!”
Lila menghentikan aktifitas menyebalkannya itu.
“Terus bagaimana kalian bisa ketemu ? Eh. . eh. . bentar…” Lila berfikir
sejenak, “Kalau tidak salah. . . semalam kan kamu udah diboking sama Om Bram.
Iyakan ?,” Lila semakin bingung.
Nada mengangguk. “Kamu juga tahu kan, La. Kemarin malam, aku benar-benar nggak
fit. Aku belum makan dari siang.”
“Terus ?,”
“Seperti biasa. Magku kambuh. Aku juga udah
ngomong baik-baik sama Om Bram kalo aku lagi nggak fit. Aku juga sempat keluar
dari dalam mobil elitnya itu..”
Lila terlihat terkejut. Ya, sebelum Nada dijemput
dan bergegas pergi bersama Om Bram, Nada sempat mengeluhkan sakit di area
perut. “Seriusan kamu, Nad ? Kamu
nekad keluar dari mobil Om Bram si pengusaha batu bara itu ? Terus ?,”
Nada mengangguk. “He eh. Kami beradu mulut
sebentar. Sebelum akhirnya, pria itu datang menghampiri aku dan si pria hidung
belang. Om Bram sempat mendorongnya–“
“Eh ? Pria itu nggak apa-apa ‘kan, Nad ?” Potong Lila.
“Hampir keserempet mobil sih. Setelah itu, ia
mencengkram kerah baju Om Bram. Ngakak deh, La.
Pas si pria mencengkram kerah baju Om Bram dari belakang, Om bau tanah itu
langsung terlihat kik’kuk…”
“Mungkin doi takut.” Sambung Lila sembari
cengengesan.
“He eh.”
“Terus ?,”
“Bentar, La.
. . aku nggak tahan pengen senyum.” jawab Nada. Kini pipinya merona. Sangat
jelas terlihat.
“Kumat deh penyakitmu, Nad. Terus gimana kelanjutannya ? Aku penasaran nih!” sahut Lila.
Ia mencengkram lengan Nada.
Nada menarik nafas, lalu mengeluarkannya
perlahan. Ia berusaha mengontrol dirinya agar tidak terlalu terlihat girang.
“Aku kan sempat didorong sama Om Bram sampe masuk lagi ke dalam mobil. Nah, si
pria tak dikenal langsung menarik pergelangan tanganku dan berjalan cukup
cepat. Otomatis, aku pun mengikuti langkahnya senada dengan tarikan tangannya.
Entah mengapa, La.., saat itu, aku
benar-benar merasa dilindungi oleh seseorang.”
“Nad ?,”
“Aku..” pipi Nada semakin merona.
“Nad ?,” panggil Lila. Dari sorot matanya, ia
terlihat menyimpan perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
“Aku…” senyum merekah terlihat dari bibir Nada
yang disebut-sebut mirip bibir milik Angelina Jolie.
“Nad ?,” panggil Lila lagi. Ia menyamping, menatap
wajah sohibnya dari samping. Sementara Nada ? Ia menatap lurus kedepan.
Menjurus kearah dinding bercat putih.
“Entah mengapa, aku…,”
“Nada Syahran ?.” kini, secercah air bening
keluar dari mata indah Lila. Entah mengapa, saat menatap sohibnya yang terlihat
begitu bahagia dan antusias, hatinya begitu tersentuh. Menyidik raut wajah
Nada, cara Nada mengisahkan sosok pria tak dikenal semalam, cara Nada
mengedipkan mata saat hendak mengambil jeda disela omongannya, cara Nada
tersenyum rona, sungguh membuat hati Lila tertegun beberapa detik. Hanya satu
harapannya, ‘Nada, semoga kamu bisa mendapatkan kebahagiaan dari seseorang yang
tulus. Semoga ada sosok pria yang mencintaimu, mengindahkanmu dengan ikhlas
tanpa mendelik masa gelapmu. Aku sohibmu, dan aku bangga akan itu.’ batinnya.
Merasa aneh karena sohib disampingnya tidak
berucap lagi, Nada menoleh kesamping . Dan benar saja, mendapati sohibnya
menangis, Nada terlihat gusar. “Kamu kenapa, La ? Apa perkataanku membuat hatimu terluka, La ? Maaf!” Ungkapnya sembari mengusap pipi Lila yang dipenuhi
bendungan air mata.
Lila tersenyum, lalu ia menjangkau kedua tangan
Nada yang masih mendarat di area pipinya. Mereka saling berhadapan, bahkan
lutut mereka sampai bersentuhan. “Aku baik-baik saja, Nad. Aku begitu bahagia saat mendengar kisahmu tadi. Aku harap,
kamu bisa sebahagia ini setiap harinya. Aku berharap, agar kamu bisa menemukan
seseorang yang mencintaimu dengan hati yang tulus. Sungguh, Nad. Kamu adalah karib terbaikku. Aku
ingin, agar kamu selalu bahagia. Janji ?.”
Dan sekarang, air mata tumpah ruah di pipi tirus
Nada. “Ak. . . aku. . . jan. . janji.”
Kemudian, mereka berpelukan dalam tangis.
Persahabatan mereka begitu tulus. Nada Syahran dan Lila Pertiwi adalah dua
sosok wanita penuh luka serta kesakitan. Mereka dipertemukan dalam jurang
kemaksiatan. Namun, satu hal yang begitu menyentuh. Mereka adalah dua wanita
malam dengan satu harapan indah. Yaitu, bisa mendapatkan secuil rasa
kebahagiaan sesungguhnya. Sederhana, namun cukup sukar untuk mereka dapatkan.
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar