Minggu, 20 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 4



***

Baca dulu Part yang sebelumnya di [ KALUNG TAKDIR Part 3 ]

***


“Harusnya kamu jujur….,”

“Jujur perihal apa ?,”

“Perihal suara menjijikan yang berasal dari dalam perutmu, Nona.”

“Jadi, obrolan menjengkelkan perihal suara menjijikan tadi masih berlanjut ?.”

“Sebenarnya, aku tidak ingin membahas topik itu. Tapi, rasa penasaranku terlalu menggunung, Nona..”

“Berhenti memanggilku Nona. Aku tak suka..”

“Lantas, aku harus memanggilku apa ? Hemm ?,”

“Terserah. Bisakah kamu berhenti bicara ? Aku sedang makan.”

“Bukan aku, tapi kita. Aku juga sedang makan.., tapi masih bisa buka mulut. Jadi, aku harus memanggilmu apa ?.”

“Terserah apa katamu!.”

Orang asing ? Nona cantik ? Miss stranger ? Itu terdengar manis.., tapi terlalu ribet untuk diucapkan. Ayolah…, aku harus memanggilmu apa, Nona ?”

“Pandai mengganti topik pembicaraan… tadi, membicarakan tofik perihal suara menjijikan dari dalam perutku. Dan seka–“

“Akhirnya kamu mengaku juga, Nona…”

“Eh ?,”

“Eh apa ? Jelas-jelas.., tadi kamu ngomong kalau suara menjijikan itu berasal dari dalam perutmu. Sudah jelas ‘kan ?.”

“Heyyyyy!!!”

“Topik tentang suara benih kelaparan kita tutup sampai disini!”

“Dasar orang aneh..”

“Orang aneh yang kebetulan menolongmu dari genggaman pria bau tanah!”

“Terserah apa katamu,”

“Jadi, aku harus memanggilmu apa, Nona ?”

“Berhenti memanggilku Nona!!!”

“Jadi ?,”

“Terimakasih atas makan malam gratisnya. Kebetulan, aku sudah kenyang…, aku pergi sekarang ya. Sampai jumpa, Tuan Bawel.”

“Kita belum berkenalan… belum juga mengetahui nama masing-masing. Hey, Nonaaa..”

“Sampai jumpa. Terimakasih sudah menolongku dari si pria bau tanah. Sekali lagi, terimakasih, Tuan Bawel!”


***


Dan disinilah Laksa sekarang. Terbaring di kasur empuknya sembari mengingat-ingat kejadian kemarin malam. Padahal ia baru bangun tidur, namun organ kewarasannya sudah berkelana kesana-kemari. Ya, kejadian kemarin malam benar-benar membuatnya candu. Kejadian yang membuat malam minggunya menjadi teramat istimewa dan tentu saja membuatnya bahagia. Bahagia ?
Bagaimana bisa Laksa sebahagia itu, sementara wanita yang kemarin ia tolong sama sekali tidak ia kenal ? Entahlah, Laksa sendiri merasa aneh dan menganggap sosoknya sudah tak waras. Yang ia ingat adalah, bilik jantungnya berdebar kencang senada dengan mulut si wanita yang sibuk mengeluarkan bingkai-bingkai kalimat indahnya saat kemarin malam. Setidaknya, itulah yang sekarang ada dalam memori Laksa, sang pengangguran yang diambang gejolak tak bernama.

Laksa mengingat...

 ‘Jujur perihal apa ?,’

Cara si wanita bertanya, sungguh membuat jantung Laksa dag-dig-dug tak karuan. Cara si wanita bertanya sembari tangannya sibuk dengan sendok serta mulutnya kepayahan menyantap nasi goreng, berhasil membuat Laksa terpesona. Laksa sangat suka cara si wanita bersikap seadanya tanpa so cantik dan sojaim ketika menyantap sajian nasi goreng Kang Dula. Laksa mulai berfikir, ada banyak wanita cantik yang lalu lalang dan duduk di bangku yang sama dengannya sembari menyantap nasi goreng Kang Dula, tapi kebanyakan dari mereka, selalu bertingkah jaim dan socantik. Dan satu lagi, menjaga imej ketika menyantap nasi goreng. Itu sedikit memuakkan bagi Laksa. Tapi si wanita tak dikenal kemarin, benar-benar berbeda. Sebut saja apa adanya!

‘Jadi, obrolan menjengkelkan perihal suara menjijikan tadi masih berlanjut ?.’

Ketika mulut si wanita mengucapkan kalimat itu. Saat itu pula, si wanita menatap wajah tampan Laksa cukup dekat. Ya, mereka memang duduk bersampingan di kursi panjang milik Kang Dula. Menjijikan, kata itu keluar senada dengan keadaan si wanita yang mulai berhenti dari aktifitas makannya. Laksa ? Ia malah sibuk menatap secuil nasi goreng yang melanglang-buana di bibir bawah si wanita. Laksa terkekeh karenanya.


‘Berhenti memanggilku Nona. Aku tak suka..’

Nona ? Apa ada yang salah dengan panggilan Nona ? Itu panggilan yang cukup indah untuk seorang wanita. Namun, Laksa yakin, alasan si wanita tak ingin ia panggil Nona, bukan lain adalah karena si wanita ingin agar Laksa memanggilnya dengan nama asli pemberian kedua orang tuanya. Baik nama depan ataupun nama belakang. Herannya adalah, si wanita keukeuh tidak mau menyebutkan nama aslinya. Dalam sunyi, Laksa berharap agar mereka bisa dipertemukan kembali.

Sekedar berharap, tak apa kan ?.

‘Terserah apa katamu,’

Tiga kata itu, si wanita ucapkan dua kali. Laksa bertanya-tanya, apa itu salah satu kebiasaan si wanita ketika sedang kesal dan jengkel pada sesuatu ? Waktu yang akan menjawab rasa penasarannya.

‘Dasar orang aneh..’

Mungkin ada yang tidak beres dengan cara pikir serta kewarasan pria bernama Laksa. Ia begitu terkekeh bahkan lebih kearah girang, saat si wanita meledeknya dengan panggilan aneh. Mungkin juga karena alasan lain. Yup, ketika si wanita mengeluarkan tiga kata tersebut, bibir si wanita terlihat begitu mengembang. Sontak saja, senyum manis langsung merekah dari bibir Laksa, si pria pengangguran.

‘Sampai jumpa. Terimakasih sudah menolongku dari si pria bau tanah. Sekali lagi, terimakasih, Tuan Bawel!’

Tak ada kata-kata, kalimat, bait ataupun puisi khusus untuk menggambarkan rasa campur aduk Laksa ketika seseorang yang baru ia kenal, memanggilnya Tuan Bawel. Sekali lagi, Laksa hanya berharap, semoga sang waktu mau untuk bekerja sama dengan takdir, agar bisa mempertemukannya dengan si wanita dilain kesempatan.

“Laksa. . . cepat keluar dari kamarmu. Ibu sudah masak nasi goreng…, ayo makan!” Lagi, teriakkan Bu Enti berhasil membuyarkan ingatan indahnya tentang si wanita tak dikenal.

Laksa beranjak bangun, “Iya, Bu. . . sebentar, Laksa hendak pake baju dulu.” Sautnya sembari bergegas menuju lemari butut pemberian sang Ayah.

Sembari berjalan menuju lemari, Laksa sibuk membenarkan letak boxer yang ia pakai. Ya, dengan hanya mengenakan boxer saat terlelap di malam hari adalah salah satu kebiasaan Laksa yang selalu ia terapkan sejak masih di bangku Sekolah Dasar. Mungkin menurut sebagian orang, kebiasaan tersebut tidak cukup baik karena membuat tubuh menggigil alias masuk angin. Namun, itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi Laksa. Dengan hanya bertelanjang dada dan menutupi bagian bawah perutnya dengan boxer, setidaknya bisa membuat tidur Laksa menjadi lebih nyaman dan rileks.


***


“Ya Tuhan, Nada. . . bisakah kamu bersikap sewajarnya saja ?,” tanya Lila sembari menarik pergelangan tangan sohibnya yang sedari tadi duduk menyila di pangkal tempat tidur. Ia merasa heran pada sohibnya itu. Sepagi ini, namun tingkahnya sungguh aneh dan membuatnya nyaris kehilangan kata-kata. Tingkah aneh sohibnya itu adalah senyum-senyum sendiri bamanusia tak waras. “Ayo mandi…” pekiknya. Untuk kedua kalinya ia menarik pergelangan tangan sang sohib. Dan berhasil. Sohib yang satu kontrakan dengannya itu mau menurut untuk bergegas turun dari tempat tidur.

“Ada apa sih, La ?” tanya Nada sembari memasang wajah tanpa dosa. Sontak saja, itu membuat Lila jengkel. Kakinya berjalan dua langkah. Sekarang, Nada berdiri membelakangi sohibnya. Sementara Lila ? Ia begitu jengkel sembari menatap kosong punggung Nada yang terbalut baju tidur warna biru muda.

Lila berjalan kearah Nada. Ia mencoba untuk mensejajarkan tubuhnya. “Sepagi ini, tapi tingkahmu udah kek orang yang hilang kewarasan. Senyum-senyum sendiri…, ba orang gila. Nggak nyadar, Non ?”

Lagi, Nada malah senyum-senyum sendiri sembari menundukan kepala. Kata Non yang diucapkan sohibnya itu sungguh membuat memorinya langsung mengingat si pria tak dikenal. Ya, si pria yang kemarin malam menolongnya. Si pria yang ia panggil Tuan Bawel. Pria itu sungguh nyaris hinggap di memorinya sedari dari. Nada ingat, saat itu ia sungguh kesal karena si pria tak dikenal memanggilnya Nona. Entah mengapa, ia begitu merasa kesal. Namun saat perjalanan pulang menuju kontrakan, tak ia sadari, bibirnya tengah mengulum senyum sembari mengingat tampang si pria saat memanggilnya Nona.

Merasa diacuhkan, Lila mulai buka mulut, “Nada ? Kamu disini nggak sendirian lho, ada aku juga!” Sewot Lila. Mereka berdua masih berdiri bersampingan. Mereka berdiri lima langkah dari pembaringan.

Nada berdehem. Ia berusaha untuk tak tersenyum —tepatnya meminimalisir kadar senyum di bibirnya. “Maksudmu apa, La ?”

“Kamu senyum-senyum sendiri, seolah-olah disini, diruangan ini hanya ada kamu seorang. Padahal ada aku, Lila Pertiwi…” Jelas Lila sembari dengan bangga menyebutkan nama lengkapnya. Cukup indah, bukan ?, “Sohib yang satu kontrakan denganmu.” Lanjutnya.

Lagi, Nada berdehem. “Maaf, La.

Nada mencondongkan wajahnya kearah Lila. Lalu, mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Lila. “Ingin tahu sesuatu ?,” Bisiknya.

“Apaan, Nad ?” Tanya Lila dengan penasaran.

“Aku–“

“Jangan bilang tentang mimpi buruk lagi. Aku sudah cukup bosan..” Potong Lila.

“Bukan, tapi–“

“Aroma wangi kentutmu ?,” Lagi.

“Nggak lucu…”

“Lalu ?,” Tanya Lila. Ia berniat membalas dendam dengan bertingkah menyebalkan.

“Aku–“

“Ingin keluar dari dunia malam ?,” Lagi.

“Bukan. Kemarin malam, aku–“

“Cipokkan sama Om Bram ?,” Lagi.

Nada menatap wanita disamping dengan raut kesal. “Buk…” Nada bungkam sejenak. Sebelum akhirnya berniat buka suara, “Ada hubungannya sama Om Bram sih.”

“Seriusan, Nad ?” Kini, Lila tampak serius menanggapi obrolan Nada.

“Kamu doyan Om-Om ya, La ?’

“Eh ?,” Itu suara Lila.

“Habisnya, kalo ada pembahasan tentang Om-Om, kamu pasti langsung konek!” Cibir Nada. Ia berhasil membuat bola mata Lila nyaris menerobos keluar dari sarangnya.

“HEY–“

“Kalo ngobrol itu, enaknya sambil duduk. Yuk mari..” Omong Nada sembari cengengesan. Ia berjalan kearah sisi tempat tidur. Lila mengikuti Nada dari belakang. Kemudian, mereka duduk bersampingan sembari kaki mereka bertumbu pada lantai.

Nada berdehem, “Aku harus mulai dari mana ya, La ?” Ungkap Nada. Cukup bingung, karena sebelumnya, ia tidak pernah membicarakan tentang pria manapun pada sohibnya itu—pasalnya, Nada begitu enggan untuk menaruh hati pada pria yang setiap hari lalau lalang di kehidupannya . Ia sadar, begitu langka, bahkan hampir punah sosok pria yang mungkin dapat menerima keadannya sebagai sosok wanita malam—pendamping pria hidung belang yang berkedok haus kasih sayang.

Lila melingkarkan tangan kanannya ke sekitar tengkuk sohibnya. “Nggak usah bingung gitu, Nad.., aku nggak maksa kamu untuk bercerita dari A sampe Z kok. Terserah nyamanmu saja.”

Nada masih bungkam sembari menundukan kepala, menatap kedua kakinya yang menyentuh lantai. Beberapa detik kemudian, senyum simpul terlihat di bibirnya.

“Tentang pria ‘kah ?.” Tanya wanita bernama belakang Pertiwi itu. Lila tak yakin tentang apa yang ia tanyakan pada Nada.

Nada mengangguk pelan. “Entah mengapa, La. Dari semalam, aku kepikiran pria asing itu… Si Tuan Bawel.” lagi, Nada tersenyum.

Mendengar pengakuan dari sohibnya, Lila begitu antusias. Dari lubuk hati terdalamnya, ia sungguh berharap agar Nada bisa menemukan sosok yang begitu mencintainya dengan amat apa adanya. Ia tahu, Nada adalah sosok sendiri nan kesepian. Lila sangat tahu itu. “Tuan Bawel ? Eciyeeee.. Ciyeee. . .” Godanya sembari menggelitik perut Nada.

“Aw. . Aw. . Aw. . Hentikan, La. Geli!”

Lila menghentikan aktifitas menyebalkannya itu. “Terus bagaimana kalian bisa ketemu ? Eh. . eh. . bentar…” Lila berfikir sejenak, “Kalau tidak salah. . . semalam kan kamu udah diboking sama Om Bram. Iyakan ?,” Lila semakin bingung.

Nada mengangguk. “Kamu juga tahu kan, La. Kemarin malam, aku benar-benar nggak fit. Aku belum makan dari siang.”

“Terus ?,”

“Seperti biasa. Magku kambuh. Aku juga udah ngomong baik-baik sama Om Bram kalo aku lagi nggak fit. Aku juga sempat keluar dari dalam mobil elitnya itu..”

Lila terlihat terkejut. Ya, sebelum Nada dijemput dan bergegas pergi bersama Om Bram, Nada sempat mengeluhkan sakit di area perut. “Seriusan kamu, Nad ? Kamu nekad keluar dari mobil Om Bram si pengusaha batu bara itu ? Terus ?,”

Nada mengangguk. “He eh. Kami beradu mulut sebentar. Sebelum akhirnya, pria itu datang menghampiri aku dan si pria hidung belang. Om Bram sempat mendorongnya–“

“Eh ? Pria itu nggak apa-apa ‘kan, Nad ?” Potong Lila.

“Hampir keserempet mobil sih. Setelah itu, ia mencengkram kerah baju Om Bram. Ngakak deh, La. Pas si pria mencengkram kerah baju Om Bram dari belakang, Om bau tanah itu langsung terlihat kikkuk…”

“Mungkin doi takut.” Sambung Lila sembari cengengesan.

“He eh.”

“Terus ?,”

“Bentar, La. . . aku nggak tahan pengen senyum.” jawab Nada. Kini pipinya merona. Sangat jelas terlihat.

“Kumat deh penyakitmu, Nad. Terus gimana kelanjutannya ? Aku penasaran nih!” sahut Lila. Ia mencengkram lengan Nada.

Nada menarik nafas, lalu mengeluarkannya perlahan. Ia berusaha mengontrol dirinya agar tidak terlalu terlihat girang. “Aku kan sempat didorong sama Om Bram sampe masuk lagi ke dalam mobil. Nah, si pria tak dikenal langsung menarik pergelangan tanganku dan berjalan cukup cepat. Otomatis, aku pun mengikuti langkahnya senada dengan tarikan tangannya. Entah mengapa, La.., saat itu, aku benar-benar merasa dilindungi oleh seseorang.”

“Nad ?,”

“Aku..” pipi Nada semakin merona.

“Nad ?,” panggil Lila. Dari sorot matanya, ia terlihat menyimpan perasaan yang sulit untuk diungkapkan.

“Aku…” senyum merekah terlihat dari bibir Nada yang disebut-sebut mirip bibir milik Angelina Jolie.

“Nad ?,” panggil Lila lagi. Ia menyamping, menatap wajah sohibnya dari samping. Sementara Nada ? Ia menatap lurus kedepan. Menjurus kearah dinding bercat putih.

“Entah mengapa, aku…,”

“Nada Syahran ?.” kini, secercah air bening keluar dari mata indah Lila. Entah mengapa, saat menatap sohibnya yang terlihat begitu bahagia dan antusias, hatinya begitu tersentuh. Menyidik raut wajah Nada, cara Nada mengisahkan sosok pria tak dikenal semalam, cara Nada mengedipkan mata saat hendak mengambil jeda disela omongannya, cara Nada tersenyum rona, sungguh membuat hati Lila tertegun beberapa detik. Hanya satu harapannya, ‘Nada, semoga kamu bisa mendapatkan kebahagiaan dari seseorang yang tulus. Semoga ada sosok pria yang mencintaimu, mengindahkanmu dengan ikhlas tanpa mendelik masa gelapmu. Aku sohibmu, dan aku bangga akan itu.’ batinnya.

Merasa aneh karena sohib disampingnya tidak berucap lagi, Nada menoleh kesamping . Dan benar saja, mendapati sohibnya menangis, Nada terlihat gusar. “Kamu kenapa, La ? Apa perkataanku membuat hatimu terluka, La ? Maaf!” Ungkapnya sembari mengusap pipi Lila yang dipenuhi bendungan air mata.

Lila tersenyum, lalu ia menjangkau kedua tangan Nada yang masih mendarat di area pipinya. Mereka saling berhadapan, bahkan lutut mereka sampai bersentuhan. “Aku baik-baik saja, Nad. Aku begitu bahagia saat mendengar kisahmu tadi. Aku harap, kamu bisa sebahagia ini setiap harinya. Aku berharap, agar kamu bisa menemukan seseorang yang mencintaimu dengan hati yang tulus. Sungguh, Nad. Kamu adalah karib terbaikku. Aku ingin, agar kamu selalu bahagia. Janji ?.”

Dan sekarang, air mata tumpah ruah di pipi tirus Nada. “Ak. . . aku. . . jan. . janji.”

Kemudian, mereka berpelukan dalam tangis. Persahabatan mereka begitu tulus. Nada Syahran dan Lila Pertiwi adalah dua sosok wanita penuh luka serta kesakitan. Mereka dipertemukan dalam jurang kemaksiatan. Namun, satu hal yang begitu menyentuh. Mereka adalah dua wanita malam dengan satu harapan indah. Yaitu, bisa mendapatkan secuil rasa kebahagiaan sesungguhnya. Sederhana, namun cukup sukar untuk mereka dapatkan.

-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar