Sabtu, 26 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 6





Cinta ?
Apa definisi cinta sebenarnya ?
Seberapa penting kah asmara antar dua manusia ?
Seberapa luas kah cara pandang kita  perihal cinta ?

Wahai sosok mencinta nan’ dicinta
Tat’ kala bercakap perihal cinta
Ada yang matang bertutur langsung lewat mulut
Ada pula yang bertutur lewat sabunari.

Tak ada perbedaan yang begitu signifikan
Via mulut ? Sama-sama berkoar kata-kata indah perihal cinta
Via sanubari ? Sama-sama bertutur lincah perihal cinta
Iya kah tak ada perbedaan setengah persen pun ?
Sebenarnya ada seiprit perbedaan.

Andai via mulut, si dia akan tahu semua gejolak indahmu
Si dia pun bisa langsung berkeluh kesah perihal rasa terdalammu itu.
Beda lagi andai via sanubari
Hanya sang pemilik sanubarilah yang dapat leluasa mengobral rasa
Sang pemilik sanubarilah yang bebas bertutur tanpa keluh manusia lain.

Namun rasa bernama Cinta itu tidak bekerja sendiri
Cinta tidak berjalan, memeluk nan’ berpulang dengan sendirinya.
Harus ada kait-mengait antar mulut dan sanubari
Dengan sanubari, rasa itu dapat kita rengkuh dengan hati
Dengan mulut, gejolak cinta itu bisa kita lisankan
Rasa dan gejolak bernama cinta itu bisa kita suratkan padanya sang dambaan

Jadi ?
Cinta hanya butuh sanubari dan lisan untuk saling mengokohkan.


***
                                                            

Nada mengingatnya lagi. Sosok pria bernama lengkap Laksa Alghair itu nyaris membuat ulu hatinya bergetar tak karuan. Nada harus mengakui bahwa mengingat manusia bernama Laksa merupakan sebuah kenikmatan bagi dirinya. Bagi raga dan segenap jiwanya, bagi hati dan dentuman jantungnya, bagi lisan beserta organ kewarasannya. Ada apa dengan wanita bernama Nada ? Entahlah, ia hanya menurut akan perintah dan tutur sanubarinya, ia menurut akan gelagat hatinya. Sanubarinya seakan bertutur bahwa ia memiliki secuil ketertarikan pada Laksa. Perlahan, tutur sanubarinya itu menjalar secara liar ke organ kewarasannya. Disusul, otaknya seakan memberi perintah pada mulutnya agar melisankan kalimat, ‘Aku mengagumi sosoknya. Tidak.., tidak.., bukan hanya mengagumi.., aku memiliki ketertarikan luar biasa padanya. Tunggu, tunggu.. apa aku mulai memiliki hasrat cinta pada sosoknya ?’

“Kamu kenapa, Nad ? Dari kemarin ngelamun mulu…, kalo ada masalah ya cerita sama aku.” Lila bertanya sembari berjalan kearah Nada yang tengah duduk menyila di ambang pintu. Daun pintu dibiarkan terbuka begitu saja. Lila terkekeh ketika mendapati rambut Nada yang terlihat sedikit basah dan terurai begitu saja diantara leher dan tengkuknya. Terlihat seperti seorang bocah SD sehabis hujan-hujan-an lalu terkapar kedinginan.

Nada menoleh ke belakang. Terlihat Lila tengah berjalan menujunya. “Aku baik-baik saja, La. Lagipula, aku sedang tidak memiliki cerita yang harus kukisahkan padamu. Aku hanya sedikit lelah..” Nada beromong-kosong. Ia sama sekali tak merasa lelah. Hanya saja, otaknya sedang sibuk-sibuknya memikirkan sosok pria yang kemarin bercakap Rambutku bergaya Angular Fringe… kamu sedang menatap rambutku kan ?’ padanya. Laksa begitu spontan dan apa adanya, batinnya.

“Aneh saja sih. Kamu kan baru kelar mandi.., bahkan rambut panjangmu ini masih basah..” Lila mengelus pelan pangkal rambut Nada. Seakan, jemarinya tengah mengelus rambut adik perempuannya yang sudah lama meninggal. “Jangan duduk menyila.., aku juga ingin duduk.” Lanjutnya.

Nada meng-keataskan wajahnya. Terpampang senyum manis Lila disana. “Kalau tidak salah.., lebar pintu ini sekitar tujuh jengkal tangan orang dewasa.. ayo duduk!” cakapnya sembari menggusur pantatnya ke sebelah kiri.

Lila berdehem, lalu duduk terlentang di ruang kosong di sebelah Nada. “Aku tahu.., kamu benar-benar tidak lelah.. kamu sedang memikirkan seseorang ‘kan ?” tanya Lila tanpa menoleh pada Nada.

“Bisa iya bisa tidak…” kalimat Nada lebih kearah bisikan.

“Tentang pria ?.” itu suara Lila.

“Bisa iya bisa tidak..”

“Si Tuan Bawel kah ?.”

“Bisa iya bisa tidak..” jawab Nada.

“Apa dia membuatmu terluka ?,”

“Sama sekali tidak!”

“Dia berhasil membuatmu bahagia sekaligus menggila ?.”

“Bisa iya bisa tidak…” Lagi.

Percakapan antar Nada dan Lila mengalir begitu saja. Tanpa suara lantang seperti biasanya. Pula, tanpa menatap kedua bola mata satu sama lain. Di ambang pintu, di rumah kontrakan yang tidak terlalu luas itu mereka seakan mengadu keluh pada diri masing-masing. Seolah, percakapan yang mulut mereka lontarkan ditunjukan untuk sosok mereka sendiri. Mata elok Nada memandang lurus kedepan, menatap kebun di seberang kontrakan tempat ia dan sohibnya bertahan hidup. Begitupun Lila, ia menatap kebun di seberang jalan sana. Kebun milik empu kontrakan yang saat ini mereka tempati. Tatapan kosong menjurus kedepan. Udara dingin di pagi hari sukses membuat sekujur tubuh Lila meratap. Ia mengikuti Nada. Menekuk kedua kaki dan memeluknya begitu erat. Dua wanita kosong itu terlihat begitu kompak. Selain itu, Nada dan Lila pun sama-sama mengenakan tank top warna putih, dilengkapi dengan hotpant warna hitam pekat. Mereka begitu kompak, seakan jalur hidup yang mereka arungi benar-benar searah.

Setelah pertanyaan terakhir yang mulut Lila lontarkan pada Nada, mereka senyap, tak ada celotehan, pertanyaan dari mulut Lila, maupun jawaban lirih Nada. Mereka benar-benar bungkam. Sampai saatnya, “Aku merasa aneh pada diriku sendiri, La..” lirih Nada. Masih menatap lurus ke depan.

Lila memandang ke sisi kanan tubuhnya. Menatap empat untaian kontrakan di sebelah kontrakannya. Ada lima kontrakan, kebetulan Nada dan Lila berjodoh dengan kontrakan nomor lima, dekat balong milik Bu Neno, sang pemilik kontrakan yang memiliki sifat keibu-an.

Di halaman kontrakan nomor satu terlihat seorang pria sekitaran 30 tahun-an tengah menimbang-nimbang bayi mungil dalam dekapannya. Senyum Lila terlihat perih, lalu ungkapnya, “Aku ingin memiliki keluarga yang utuh, Nad.., aku ingin membangun sebuah bingkai keluarga.., dengan suami dan juga anakku. Aku ingin hidup normal…,” matanya berkaca. Jarang sekali Nada mendengar obrolan bersifat serius dari mulut sohibnya itu. “Jujur, aku sudah cukup bosan melakoni tokoh wanita malam di alam dunia ini. Aku ingin bebas…” jelasnya. Sama sekali tak ada kaitannya dengan lirihhan Nada.

Secercah air bening melanglang-buana di pipi sebelah kiri Lila. “Kamu menangis, La ?” tanya Nada, tepat saat ia menolehkan wajahnya pada wanita disampingnya.

Dan sekarang, tetesan air bening dari mata sebelah kananya menyusul. “Entahlah, Nad.., kenapa aku jadi mellow begini ? Padahal masih pagi…” ungkapnya sembari menoleh jam yang melingkar di tangan kanannya. “Jam tujuh lebih dua puluh menit..” ia terkekeh. Lila kembali berfokus pada kebun di seberang sana. Ia cukup malu untuk menatap wajah Nada.

“Malah nyengir…,” Mata elok Nada masih asyik menyidik sosok wanita di sampingnya. “Sebelumnya, aku nggak pernah liat kamu nangis seperih ini. Beberapa hari yang lalu, kamu sempat nangis ketika mengenang awal persahabatan kita terjalin, tepat saat diriku masih anak ingusan di dunia malam. Ha ha.. tapi saat ini, detik ini juga.., aku merasa–”

“Entahlah.., aku hanya berfikir.. takdir telah mempermainkan kita!” jelasnya. Tangan kanannya sibuk mengelap air bening yang mulai mengering di pipinya, lalu menatap Nada. Mata mereka bertemu. “Takdir telah–“

“Kamu salah. Sangat salah! Tak ada yang mempermainkan kita, La… ini semua adalah nasib.., bukan takdir. Dan nasib bisa kita ubah.., ya…, walaupun teramat sulit.” jelas Nada, lalu melingkarkan tangan kanannya ke sekitar punggung Lila. Sembari berbisik di telinga sohibnya, “Kita akan bahagia, bebas dan merdeka. Percaya padaku!” tegas Nada. Lila hanya tersenyum kik’kuk.

“Omong-omong, kemarin ada cowok yang minta nomor hapemu, Nad…”

“Eh ?,”

“He eh.., ya aku berikan saja. Kalau tidak salah ya, dia sempat ngomong kalau dia adalah salah satu klien terbaikmu. Dia juga ngomong kal–“

“Klien terbaikku ? Jangan beromong-kosong…, mendengarnya saja benar-benar membuatku mual.” Nada memotong kalimat Lila. Merasa tak percaya atas omongan sohibnya –tepatnya pada pria yang mengaku sebagai seorang klien terbaiknya.

“Aku sedang tidak dalam keadaan begitu baik untuk sekedar beromong-kosong. Aku serius tauk!”

“Tadi galau.., sekarang malah sumringah.. jangan bergurau!”

“Ya Tuhan, Nada.., aku sama sekali tidak bergurau.. aku serius!” Lila terlihat antusias.

“Apa dia menyebutkan nama–“

“Laksa Alghair!” potong Lila sembari mencondongkan kepalanya kearah Nada dan membisikkan nama seseorang yang sungguh tak asing di telinga Nada.

“HAH ?” bola mata Nada nyaris melonjat keluar dari sarangnya, deretan gigi putihnya terpangpang jelas, teriakkannya terdengar begitu keras, dan satu lagi, ekspresi wajahnya sangat jelas menggambarkan sosoknya yang sedang kaget naudzubillah.

‘Ada apa dengan wanita di sampingku. Sedari tadi, kalimat yang ia ucapkan terdengar begitu pelan. Dan barusan ? Apa dia kesurupan ?’ Lila membatin.

“Jangan bercanda denganku, La..” tutur Nada. Mengisi paru-parunya dengan oksigen, lalu perlahan ia buang lewat mulut. Nada mencoba untuk mengontrol mimik wajahnya. “Kamu serius atau sekedar beromong-kosong ?.” tanyanya.

“Aku berani bersumpah!” dua jemari Lila membentuk hurup V.

“Tapi–“

“Oh My God, Nada. Dia adalah cowok terseksi yang pernah aku lihat selama sejarah hidupku. Sungguh, keringatnya berhasil membuatnya terlihat begitu jantan… yaaa, walaupun tubuhnya tidak terlalu berisi.. tapi, masih mending.. otot bisepnya nyaris membuatku ingin menggigitnya. Kamu beruntung berkencan dengan pria seperti dia. Laksa Alghair…” Lila terlihat membayangkan sesuatu sembari sedikit memanyunkan bibir tipisnya, seolah tengah bertatap muka secara langsung dengan sosok Laksa. “Namanya begitu indah dan enak untuk didengar…” lanjutnya.

Nada menganga. Nyaris seperti seorang bocah ingusan yang takjub perihal benda yang menurutnya WAW. Sekarang, otaknya berkelana kesana-kemari, membayangkan kalau sosok yang Lila gambarkan adalah sosok Laksa, pria yang membuatnya nyaris mabuk kepayang dalam diam. Sebenarnya, Nada cukup senang mendapati Laksa yang sudah mengetahui nomor hapenya. Dengan begitu, ia bisa mendengar suara nge-bassnya lewat corong hape. Hanya saja, fakta bahwa pria itu sudah mengetahui profesi menjijikkan-nya sungguh membuat sanubarinya sedikit terusik.

‘Apa sejak awal dia sudah tahu profesiku ? Ya Tuhan.., dia kan pernah menolongku ketika aku sedang beradu mulut dengan si om bau tanah.., saat itu, si om juga sempat nyablak perihal upah yang aku terima. Oh Tuhan.., bagaimana ini ?’ batinnya serasa bergejolak. Gejolak yang ia sendiri tak tahu apa.

Nada bangun dari posisi duduknya, ia siap melangkah. “Aku ingin ke toilet…”

~ Hello from the other side
I must've called a thousand times
To tell you I'm sorry for everything that I've done
But when I call you never seem to be home ~

Dari arah kamar, terdengar hape Nada mendendangkan lagu fenomenal Adele. Beberapa detik kemudian, Nada segera meluncur ke kamarnya.

Dan disinilah Nada sekarang, menatap layar hape enam incinya dengan hawa bimbang. Tertera rangkaian nomor yang tak ia kenal. Ia meraba jantungnya, “Ada apa denganku ? Kenapa gugup begini ?”

Nada menarik nafas, lalu ia buang perlahan. Setelah itu, ia menekan tombol Home untuk menerima panggilan itu. “Halo ?” Nada memulai.

“Halo, selamat pagi ?” suara si penelepon terdengar begitu ngebass.

Nada berdehem, “Iya, selamat pagi. Saya bicara dengan siapa ya?.” tanya Nada langsung ke inti. Ia yang sedari tadi berdiri di dekat lemari mungilnya, kini berjalan menuju tempat tidur. “Halo ? Anda siapa ya ?.” ulangnya sembari duduk di tepi kasur yang dibalut seprei warna biru muda dengan corak beragam bintang.

“Aku pria yang kemarin mengenakan T – Shirt tanpa lengan warna putih dengan tulisan HOT di area dada. Ingat kah ? Atau sudah lupa ?.” Nada mendengar si pria berdehem.

Nada menggigit bibir bawahnya, dan “AW!”

“Kamu baik-baik saja, Nada ? Nyaris melukai bibir bawahmu ?.” samar-samar, Nada mendengar suara seorang wanita memanggil nama pria yang sekarang tengah beradu cakap dengannya lewat corong hape.

“Bibir bawah ? Bagaimana bisa–“

“Aku sempat berfikir…, kalau menggigit biwir bawah merupakan kebiasaan anehmu saat sedang kesal pada seseorang.. iyakah ?,”

Nada terkekeh, “Aku sedang tidak kesal pada seseorang.”

“Tapi merindukan seseorang ?.”

Sekali lagi, Nada dibuat terkekeh atas kalimat Laksa. Ia tak menyadari kalau kepalanya mengangguk pelan. Seolah meng’iyakan pertanyaan yang Laksa lisankan padanya. “Aku sedang tidak kesal ataupun merindukan seseorang.. aku tidak memiliki seseorang yang bisa aku jadikan objek kerinduanku. Kamu sotahu, Tuan Bawel..” Nada tersenyum geli setelah menyadari apa yang ia ucapkan barusan terdengar begitu konyol.

“Omong-omong, aku suka panggilan itu. Tuan Bawel…,” Laksa mengambil jeda, “Terdengar begitu manis dan genit.. ha ha ha..” tawa renyahnya sukses membuat Nada tersipu. Panggilan yang menurutnya konyol ternyata memiliki arti tersendiri bagi Laksa.

“Aku bukan wanita genit..”

“Aku tahu.. kamu adalah wanita baik-baik.. aku tahu itu.”

Gleeeeek ~

Kalimat yang Laksa tuturkan padanya sukses membuat Nada terpaksa menelan air liurnya sendiri. Mukanya sedikit memucat, “Lila sudah ngomong sama aku. Katanya, kamu meminta nomer hapeku tepat saat di taman..”

“Lebih tepatnya di luar taman… di dekat parkiran..”

“Aku kira kamu beneran pulang…, eh malah nyamperin kawanku…”

“Ada yang salah ?,” tanya Laksa.

“Nggak ada sih…”

Beberapa detik mereka saling bungkam. Sampai suara ngebass Laksa terdengar begitu jelas di telinga kiri Nada. “Apa kawanmu mengisahkan sesuatu tentangku ? Dia terlihat seperti seorang wanita yang agresif.”

Nada tertawa cukup keras. “Lila mengisahkanmu begitu rinci. Sampai ke keringat-keringat segala.. dasar..”

“Aku mendengarnya, Nada..” dibalik daun pintu, terpampang jelas wajah Lila yang mengintip.

Tanpa suara, Nada menggerak-an mulutnya. “JANGAN NGUPING.”

Lalu ia bergerak menuju pintu, menjangkau gagang pintu, dan ‘DLEG’. Pintu pun tertutup. Nada cengengesan sembari berjalan kearah tempat tidur. Seperti semula, Nada duduk di tepi tempat tidur sembari kedua kakinya bertumpu pada lantai.

“Maaf, tadi Lila mengintip sekaligus menguping… sekarang pintunya sudah aku tutup.” Ungkap Nada.

“Aku bisa mendengar suaranya…, yaaa, saat kamu menutup pintu.”

“Kamu sedang apa sih ? Dari tadi, aku denger suara-suara nggak jelas..” tanya Nada. Keningnya mengerut.

“Aku baru bangun bobo.. ha ha..”

“Ih, alay.. bobo.., kek anak bocak saja.”

“Aku kang.., eh, eh, maksudku.. aku tiba-tiba pengen menelponmu saja.”

“Iyakah ?.”

“He eh!” jawab Laksa. Ia berbohong!

“Terus, ada keperluan apa kamu menelponku pagi-pagi begini ?” Nada merasa sedikit geli saat melisankan kalimat itu. Terdengar seperti seorang wanita karir yang tengah beradu cakap dengan rekan kerjanya.

“Aku tak pandai basa-basi… aku berniat menagih janjimu..”

“Janji ?.”

“Nasi goreng..”

Dua kata itu sukses membuat Nada tertawa teramat keras. “Kebetulan aku kangen nasi goreng Kang Dula..”

“Aku pikir kamu merindukanku..” kalimat itu sukses meluncur dari mulut Laksa.

“Eh ?”

Tuut tuuut tuuuut


-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar