Cinta ?
Apa definisi cinta sebenarnya ?
Seberapa penting kah asmara antar dua manusia ?
Seberapa luas kah cara pandang kita perihal cinta ?
Wahai sosok mencinta nan’ dicinta
Tat’ kala bercakap perihal cinta
Ada yang matang bertutur langsung lewat mulut
Ada pula yang bertutur lewat sabunari.
Tak ada perbedaan yang begitu signifikan
Via mulut ? Sama-sama berkoar kata-kata indah
perihal cinta
Via sanubari ? Sama-sama bertutur lincah perihal
cinta
Iya kah tak ada perbedaan setengah persen pun ?
Sebenarnya ada seiprit perbedaan.
Andai via mulut, si dia akan tahu semua gejolak
indahmu
Si dia pun bisa langsung berkeluh kesah perihal
rasa terdalammu itu.
Beda lagi andai via sanubari
Hanya sang pemilik sanubarilah yang dapat leluasa
mengobral rasa
Sang pemilik sanubarilah yang bebas bertutur
tanpa keluh manusia lain.
Namun rasa bernama Cinta itu tidak bekerja
sendiri
Cinta tidak berjalan, memeluk nan’ berpulang
dengan sendirinya.
Harus ada kait-mengait antar mulut dan sanubari
Dengan sanubari, rasa itu dapat kita rengkuh
dengan hati
Dengan mulut, gejolak cinta itu bisa kita
lisankan
Rasa dan gejolak bernama cinta itu bisa kita
suratkan padanya sang dambaan
Cinta hanya butuh sanubari dan lisan untuk saling
mengokohkan.
***
Nada mengingatnya lagi. Sosok pria
bernama lengkap Laksa Alghair itu nyaris membuat ulu hatinya bergetar tak
karuan. Nada harus mengakui bahwa mengingat manusia bernama Laksa merupakan
sebuah kenikmatan bagi dirinya. Bagi raga dan segenap jiwanya, bagi hati dan
dentuman jantungnya, bagi lisan beserta organ kewarasannya. Ada apa dengan
wanita bernama Nada ? Entahlah, ia hanya menurut akan perintah dan tutur
sanubarinya, ia menurut akan gelagat hatinya. Sanubarinya seakan bertutur bahwa
ia memiliki secuil ketertarikan pada Laksa. Perlahan, tutur sanubarinya itu
menjalar secara liar ke organ kewarasannya. Disusul, otaknya seakan memberi
perintah pada mulutnya agar melisankan kalimat, ‘Aku mengagumi sosoknya.
Tidak.., tidak.., bukan hanya mengagumi.., aku memiliki ketertarikan luar biasa
padanya. Tunggu, tunggu.. apa aku mulai memiliki hasrat cinta pada sosoknya ?’
“Kamu kenapa, Nad ? Dari kemarin ngelamun
mulu…, kalo ada masalah ya cerita sama aku.” Lila bertanya sembari berjalan
kearah Nada yang tengah duduk menyila di ambang pintu. Daun pintu dibiarkan
terbuka begitu saja. Lila terkekeh ketika mendapati rambut Nada yang terlihat
sedikit basah dan terurai begitu saja diantara leher dan tengkuknya. Terlihat
seperti seorang bocah SD sehabis hujan-hujan-an lalu terkapar kedinginan.
Nada menoleh ke belakang. Terlihat Lila
tengah berjalan menujunya. “Aku baik-baik saja, La. Lagipula, aku sedang tidak memiliki cerita yang harus
kukisahkan padamu. Aku hanya sedikit lelah..” Nada beromong-kosong. Ia sama
sekali tak merasa lelah. Hanya saja, otaknya sedang sibuk-sibuknya memikirkan
sosok pria yang kemarin bercakap ‘Rambutku
bergaya Angular Fringe… kamu sedang menatap rambutku kan ?’ padanya. Laksa
begitu spontan dan apa adanya, batinnya.
“Aneh saja sih. Kamu kan baru kelar
mandi.., bahkan rambut panjangmu ini masih basah..” Lila mengelus pelan pangkal
rambut Nada. Seakan, jemarinya tengah mengelus rambut adik perempuannya yang
sudah lama meninggal. “Jangan duduk menyila.., aku juga ingin duduk.”
Lanjutnya.
Nada meng-keataskan wajahnya. Terpampang
senyum manis Lila disana. “Kalau tidak salah.., lebar pintu ini sekitar tujuh
jengkal tangan orang dewasa.. ayo duduk!” cakapnya sembari menggusur pantatnya
ke sebelah kiri.
Lila berdehem, lalu duduk terlentang di
ruang kosong di sebelah Nada. “Aku tahu.., kamu benar-benar tidak lelah.. kamu
sedang memikirkan seseorang ‘kan ?”
tanya Lila tanpa menoleh pada Nada.
“Bisa iya bisa tidak…” kalimat Nada lebih
kearah bisikan.
“Tentang pria ?.” itu suara Lila.
“Bisa iya bisa tidak..”
“Si Tuan Bawel kah ?.”
“Bisa iya bisa tidak..” jawab Nada.
“Apa dia membuatmu terluka ?,”
“Sama sekali tidak!”
“Dia berhasil membuatmu bahagia sekaligus
menggila ?.”
“Bisa iya bisa tidak…” Lagi.
Percakapan antar Nada dan Lila mengalir
begitu saja. Tanpa suara lantang seperti biasanya. Pula, tanpa menatap kedua
bola mata satu sama lain. Di ambang pintu, di rumah kontrakan yang tidak
terlalu luas itu mereka seakan mengadu keluh pada diri masing-masing. Seolah,
percakapan yang mulut mereka lontarkan ditunjukan untuk sosok mereka sendiri.
Mata elok Nada memandang lurus kedepan, menatap kebun di seberang kontrakan
tempat ia dan sohibnya bertahan hidup. Begitupun Lila, ia menatap kebun di
seberang jalan sana. Kebun milik empu kontrakan yang saat ini mereka tempati.
Tatapan kosong menjurus kedepan. Udara dingin di pagi hari sukses membuat
sekujur tubuh Lila meratap. Ia mengikuti Nada. Menekuk kedua kaki dan
memeluknya begitu erat. Dua wanita kosong itu terlihat begitu kompak. Selain
itu, Nada dan Lila pun sama-sama mengenakan tank top warna putih, dilengkapi
dengan hotpant warna hitam pekat. Mereka begitu kompak, seakan jalur hidup yang
mereka arungi benar-benar searah.
Setelah pertanyaan terakhir yang mulut
Lila lontarkan pada Nada, mereka senyap, tak ada celotehan, pertanyaan dari
mulut Lila, maupun jawaban lirih Nada. Mereka benar-benar bungkam. Sampai
saatnya, “Aku merasa aneh pada diriku sendiri, La..” lirih Nada. Masih menatap lurus ke depan.
Lila memandang ke sisi kanan tubuhnya.
Menatap empat untaian kontrakan di sebelah kontrakannya. Ada lima kontrakan,
kebetulan Nada dan Lila berjodoh dengan kontrakan nomor lima, dekat balong
milik Bu Neno, sang pemilik kontrakan yang memiliki sifat keibu-an.
Di halaman kontrakan nomor satu terlihat
seorang pria sekitaran 30 tahun-an tengah menimbang-nimbang bayi mungil dalam
dekapannya. Senyum Lila terlihat perih, lalu ungkapnya, “Aku ingin memiliki
keluarga yang utuh, Nad.., aku ingin
membangun sebuah bingkai keluarga.., dengan suami dan juga anakku. Aku ingin
hidup normal…,” matanya berkaca. Jarang sekali Nada mendengar obrolan bersifat
serius dari mulut sohibnya itu. “Jujur, aku sudah cukup bosan melakoni tokoh
wanita malam di alam dunia ini. Aku ingin bebas…” jelasnya. Sama sekali tak ada
kaitannya dengan lirihhan Nada.
Secercah air bening melanglang-buana di
pipi sebelah kiri Lila. “Kamu menangis, La
?” tanya Nada, tepat saat ia menolehkan wajahnya pada wanita disampingnya.
Dan sekarang, tetesan air bening dari
mata sebelah kananya menyusul. “Entahlah, Nad..,
kenapa aku jadi mellow begini ? Padahal masih pagi…” ungkapnya sembari
menoleh jam yang melingkar di tangan kanannya. “Jam tujuh lebih dua puluh
menit..” ia terkekeh. Lila kembali berfokus pada kebun di seberang sana. Ia
cukup malu untuk menatap wajah Nada.
“Malah nyengir…,” Mata elok Nada masih
asyik menyidik sosok wanita di sampingnya. “Sebelumnya, aku nggak pernah liat
kamu nangis seperih ini. Beberapa hari yang lalu, kamu sempat nangis ketika
mengenang awal persahabatan kita terjalin, tepat saat diriku masih anak ingusan
di dunia malam. Ha ha.. tapi saat ini, detik ini juga.., aku merasa–”
“Entahlah.., aku hanya berfikir.. takdir
telah mempermainkan kita!” jelasnya. Tangan kanannya sibuk mengelap air bening
yang mulai mengering di pipinya, lalu menatap Nada. Mata mereka bertemu.
“Takdir telah–“
“Kamu salah. Sangat salah! Tak ada yang
mempermainkan kita, La… ini semua
adalah nasib.., bukan takdir. Dan nasib bisa kita ubah.., ya…, walaupun teramat
sulit.” jelas Nada, lalu melingkarkan tangan kanannya ke sekitar punggung Lila.
Sembari berbisik di telinga sohibnya, “Kita akan bahagia, bebas dan merdeka.
Percaya padaku!” tegas Nada. Lila hanya tersenyum kik’kuk.
“Omong-omong, kemarin ada cowok yang
minta nomor hapemu, Nad…”
“Eh ?,”
“He eh.., ya aku berikan saja. Kalau
tidak salah ya, dia sempat ngomong kalau dia adalah salah satu klien terbaikmu.
Dia juga ngomong kal–“
“Klien terbaikku ? Jangan
beromong-kosong…, mendengarnya saja benar-benar membuatku mual.” Nada memotong
kalimat Lila. Merasa tak percaya atas omongan sohibnya –tepatnya pada pria yang
mengaku sebagai seorang klien terbaiknya.
“Aku sedang tidak dalam keadaan begitu
baik untuk sekedar beromong-kosong. Aku serius tauk!”
“Tadi galau.., sekarang malah sumringah..
jangan bergurau!”
“Ya Tuhan, Nada.., aku sama sekali tidak bergurau.. aku serius!” Lila terlihat
antusias.
“Apa dia menyebutkan nama–“
“Laksa Alghair!” potong Lila sembari
mencondongkan kepalanya kearah Nada dan membisikkan nama seseorang yang sungguh
tak asing di telinga Nada.
“HAH ?” bola mata Nada nyaris melonjat
keluar dari sarangnya, deretan gigi putihnya terpangpang jelas, teriakkannya
terdengar begitu keras, dan satu lagi, ekspresi wajahnya sangat jelas
menggambarkan sosoknya yang sedang kaget naudzubillah.
‘Ada apa dengan wanita di sampingku.
Sedari tadi, kalimat yang ia ucapkan terdengar begitu pelan. Dan barusan ? Apa
dia kesurupan ?’ Lila membatin.
“Jangan bercanda denganku, La..” tutur Nada. Mengisi paru-parunya
dengan oksigen, lalu perlahan ia buang lewat mulut. Nada mencoba untuk
mengontrol mimik wajahnya. “Kamu serius atau sekedar beromong-kosong ?.”
tanyanya.
“Aku berani bersumpah!” dua jemari Lila
membentuk hurup V.
“Tapi–“
“Oh My God, Nada. Dia adalah cowok terseksi yang pernah aku lihat selama
sejarah hidupku. Sungguh, keringatnya berhasil membuatnya terlihat begitu
jantan… yaaa, walaupun tubuhnya tidak terlalu berisi.. tapi, masih mending..
otot bisepnya nyaris membuatku ingin menggigitnya. Kamu beruntung berkencan
dengan pria seperti dia. Laksa Alghair…” Lila terlihat membayangkan sesuatu
sembari sedikit memanyunkan bibir tipisnya, seolah tengah bertatap muka secara
langsung dengan sosok Laksa. “Namanya begitu indah dan enak untuk didengar…”
lanjutnya.
Nada menganga. Nyaris seperti seorang
bocah ingusan yang takjub perihal benda yang menurutnya WAW. Sekarang, otaknya
berkelana kesana-kemari, membayangkan kalau sosok yang Lila gambarkan adalah
sosok Laksa, pria yang membuatnya nyaris mabuk kepayang dalam diam. Sebenarnya,
Nada cukup senang mendapati Laksa yang sudah mengetahui nomor hapenya. Dengan
begitu, ia bisa mendengar suara nge-bassnya lewat corong hape. Hanya saja,
fakta bahwa pria itu sudah mengetahui profesi menjijikkan-nya sungguh membuat
sanubarinya sedikit terusik.
‘Apa sejak awal dia sudah tahu profesiku
? Ya Tuhan.., dia kan pernah menolongku ketika aku sedang beradu mulut dengan
si om bau tanah.., saat itu, si om juga sempat nyablak perihal upah yang aku
terima. Oh Tuhan.., bagaimana ini ?’ batinnya serasa bergejolak. Gejolak yang
ia sendiri tak tahu apa.
Nada bangun dari posisi duduknya, ia siap
melangkah. “Aku ingin ke toilet…”
~ Hello from the other side
I must've called a thousand times
To tell you I'm sorry for everything that I've
done
But when I call you never seem to be home ~
Dari arah kamar, terdengar hape Nada
mendendangkan lagu fenomenal Adele. Beberapa detik kemudian, Nada segera
meluncur ke kamarnya.
Dan disinilah Nada sekarang, menatap
layar hape enam incinya dengan hawa bimbang. Tertera rangkaian nomor yang tak
ia kenal. Ia meraba jantungnya, “Ada apa denganku ? Kenapa gugup begini ?”
Nada menarik nafas, lalu ia buang
perlahan. Setelah itu, ia menekan tombol Home untuk menerima panggilan itu.
“Halo ?” Nada memulai.
“Halo, selamat pagi ?” suara si penelepon
terdengar begitu ngebass.
Nada berdehem, “Iya, selamat pagi. Saya
bicara dengan siapa ya?.” tanya Nada langsung ke inti. Ia yang sedari tadi
berdiri di dekat lemari mungilnya, kini berjalan menuju tempat tidur. “Halo ?
Anda siapa ya ?.” ulangnya sembari duduk di tepi kasur yang dibalut seprei
warna biru muda dengan corak beragam bintang.
“Aku pria yang kemarin mengenakan T –
Shirt tanpa lengan warna putih dengan tulisan HOT di area dada. Ingat kah ?
Atau sudah lupa ?.” Nada mendengar si pria berdehem.
Nada menggigit bibir bawahnya, dan “AW!”
“Kamu baik-baik saja, Nada ? Nyaris melukai bibir bawahmu ?.”
samar-samar, Nada mendengar suara seorang wanita memanggil nama pria yang
sekarang tengah beradu cakap dengannya lewat corong hape.
“Bibir bawah ? Bagaimana bisa–“
“Aku sempat berfikir…, kalau menggigit
biwir bawah merupakan kebiasaan anehmu saat sedang kesal pada seseorang..
iyakah ?,”
Nada terkekeh, “Aku sedang tidak kesal
pada seseorang.”
“Tapi merindukan seseorang ?.”
Sekali lagi, Nada dibuat terkekeh atas
kalimat Laksa. Ia tak menyadari kalau kepalanya mengangguk pelan. Seolah
meng’iyakan pertanyaan yang Laksa lisankan padanya. “Aku sedang tidak kesal
ataupun merindukan seseorang.. aku tidak memiliki seseorang yang bisa aku
jadikan objek kerinduanku. Kamu so’ tahu,
Tuan Bawel..” Nada tersenyum geli setelah menyadari apa yang ia ucapkan barusan
terdengar begitu konyol.
“Omong-omong, aku suka panggilan itu.
Tuan Bawel…,” Laksa mengambil jeda, “Terdengar begitu manis dan genit.. ha ha
ha..” tawa renyahnya sukses membuat Nada tersipu. Panggilan yang menurutnya
konyol ternyata memiliki arti tersendiri bagi Laksa.
“Aku bukan wanita genit..”
“Aku tahu.. kamu adalah wanita
baik-baik.. aku tahu itu.”
Gleeeeek ~
Kalimat yang Laksa tuturkan padanya
sukses membuat Nada terpaksa menelan air liurnya sendiri. Mukanya sedikit
memucat, “Lila sudah ngomong sama aku. Katanya, kamu meminta nomer hapeku tepat
saat di taman..”
“Lebih tepatnya di luar taman… di dekat
parkiran..”
“Aku kira kamu beneran pulang…, eh malah
nyamperin kawanku…”
“Ada yang salah ?,” tanya Laksa.
“Nggak ada sih…”
Beberapa detik mereka saling bungkam.
Sampai suara ngebass Laksa terdengar begitu jelas di telinga kiri Nada. “Apa
kawanmu mengisahkan sesuatu tentangku ? Dia terlihat seperti seorang wanita
yang agresif.”
Nada tertawa cukup keras. “Lila
mengisahkanmu begitu rinci. Sampai ke keringat-keringat segala.. dasar..”
“Aku mendengarnya, Nada..” dibalik daun pintu, terpampang jelas wajah Lila yang
mengintip.
Tanpa suara, Nada menggerak-an mulutnya.
“JANGAN NGUPING.”
Lalu ia bergerak menuju pintu, menjangkau
gagang pintu, dan ‘DLEG’. Pintu pun tertutup. Nada cengengesan sembari berjalan
kearah tempat tidur. Seperti semula, Nada duduk di tepi tempat tidur sembari
kedua kakinya bertumpu pada lantai.
“Maaf, tadi Lila mengintip sekaligus
menguping… sekarang pintunya sudah aku tutup.” Ungkap Nada.
“Aku bisa mendengar suaranya…, yaaa, saat
kamu menutup pintu.”
“Kamu sedang apa sih ? Dari tadi, aku
denger suara-suara nggak jelas..” tanya Nada. Keningnya mengerut.
“Aku baru bangun bobo.. ha ha..”
“Ih, alay.. bobo.., kek anak bocak saja.”
“Aku kang.., eh, eh, maksudku.. aku
tiba-tiba pengen menelponmu saja.”
“Iyakah ?.”
“He eh!” jawab Laksa. Ia berbohong!
“Terus, ada keperluan apa kamu menelponku
pagi-pagi begini ?” Nada merasa sedikit geli saat melisankan kalimat itu.
Terdengar seperti seorang wanita karir yang tengah beradu cakap dengan rekan kerjanya.
“Aku tak pandai basa-basi… aku berniat
menagih janjimu..”
“Janji ?.”
“Nasi goreng..”
Dua kata itu sukses membuat Nada tertawa
teramat keras. “Kebetulan aku kangen nasi goreng Kang Dula..”
“Aku pikir kamu merindukanku..” kalimat
itu sukses meluncur dari mulut Laksa.
“Eh ?”
Tuut tuuut tuuuut
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar