Rabu, 30 Maret 2016

Bahagia Sesungguhnya





‘Bahagia Sesungguhnya’

Pagi ini, sosok Lita dibuat bingung nan’ dilema dengan pesan yang dikirim oleh seorang pria bernama Rio. Sosok pria yang beberapa kali sempat membuat harinya cerah secerah sinar matahari di pagi hari, semekar bunga melati, seindah panorama Bali, bahkan membuat senyumnya nyaris bergejolak di kala bertemu dengan sosok Rio. Lita masih duduk menyila di sofa panjang, sementara disebelahnya sang ibu sedang asyik membaca koran harian.



“Aku ingin mengisi kekosongan di hatimu, Ta. Apa boleh ?” Itulah pesan yang dikirim Rio padanya.

Senin, 28 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 7




***



“Aku pikir.. kamu bukan tipe cewek yang bersedia naik angkot.., ternyata aku salah.” Ucap Laksa pelan sambil sedikit memiringkan wajahnya. Rambut hitamnya beradu dengan rambut panjang Nada yang dibiarkan terurai begitu saja. Wajah dan matanya tak menatap sosok wanita di sampingnya, hanya saja kepalanya yang sedikit ia miringkan agar Nada bisa mendengar suara pelannya. Laksa tak memiliki keberanian untuk bersuara lantang di dalam lingkungan angkot.

Nada menoleh. “Kalau ngobrol itu enaknya langsung bertatap muka.” sembur Nada.

Beberapa detik kemudian, mata elok Laksa yang tadinya tertuju pada kaca angkot di depannya, kini menjurus ke arah Nada. Menatap kulit wajah Nada yang minim riasan. “Aku takut kamu mabuk kepayang…” ungkapnya dengan nada ‘begitu percaya diri’.

Nada berdehem, “Apa-apaan sih.., Enak saja. Aku bukan tipe cewek yang mudah terpikat pada seseorang, apalagi pada pria macam kamu..” tuturnya diakhiri dengan tawa singkat. Mereka masih bertatapan.

“Waktu yang akan membuatmu terpikat pada pesonaku.. jadi, kamu sering naik angkot ?.” Laksa mengedipkan kedua matanya serempak.

Nada menelan ludah. Kalimat pertama yang Laksa tuturkan berhasil membuat kerongkonganya seakan kering. Ia bukan tipe wanita yang mudah mengumbar rasa pada seseorang yang ia suka–tepatnya seseorang yang baru ia kenal. “Kalau dibilang sering sih nggak juga.. sekali-kali kalau sedang bosan diboncengin Lila dengan motor metiknya.” Jelas Nada. “Tadi kamu sempat ngomong sama aku.., kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Apa aku di-izinkan untuk memberi solusi ? Itu juga kalau kamu nggak keberatan sih..” tanyanya. Nada terdengar begitu bersungguh-sungguh. Dereran gigi putihnya nampak ketika bibirnya tersenyum simpul.

Laksa merespon ucapan Nada hanya dengan anggukan pelan.

Sabtu, 26 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 6





Cinta ?
Apa definisi cinta sebenarnya ?
Seberapa penting kah asmara antar dua manusia ?
Seberapa luas kah cara pandang kita  perihal cinta ?

Wahai sosok mencinta nan’ dicinta
Tat’ kala bercakap perihal cinta
Ada yang matang bertutur langsung lewat mulut
Ada pula yang bertutur lewat sabunari.

Tak ada perbedaan yang begitu signifikan
Via mulut ? Sama-sama berkoar kata-kata indah perihal cinta
Via sanubari ? Sama-sama bertutur lincah perihal cinta
Iya kah tak ada perbedaan setengah persen pun ?
Sebenarnya ada seiprit perbedaan.

Andai via mulut, si dia akan tahu semua gejolak indahmu
Si dia pun bisa langsung berkeluh kesah perihal rasa terdalammu itu.
Beda lagi andai via sanubari
Hanya sang pemilik sanubarilah yang dapat leluasa mengobral rasa
Sang pemilik sanubarilah yang bebas bertutur tanpa keluh manusia lain.

Namun rasa bernama Cinta itu tidak bekerja sendiri
Cinta tidak berjalan, memeluk nan’ berpulang dengan sendirinya.
Harus ada kait-mengait antar mulut dan sanubari
Dengan sanubari, rasa itu dapat kita rengkuh dengan hati
Dengan mulut, gejolak cinta itu bisa kita lisankan
Rasa dan gejolak bernama cinta itu bisa kita suratkan padanya sang dambaan

Jumat, 25 Maret 2016

Antara Aku dan Agustian



“Maafkan  aku,  Risa.  Aku  ingin  mengakhiri  hubungan  kita  yang  sudah tak  jelas  ini..”  Cakapnya  setelah  beberapa  menit  mendiamkan  diri  sembari  menatap  kedua  bola  mata  indahku.  Aku  bingung,  apa  yang  sedang  ia terawang  dari  mataku ?

Sosok  pria  bernama  lengkap  Rio  Agustian  itu  masih  setia  menatapku.  Menyidik  tiap  jengkal  wajah  ovalku.  Sekali  lagi  aku  merasa  bingung  nan’  bimbang.  Apa  yang  sedang  ia  terawang  dari  wajahku  ?  Aku  masih  menunggu  jawaban  dari  pertanyaanku  itu.

Kulihat,  ia  siap  membuka  mulut,  “Sekali  lagi.  Aku  minta  maaf  karena  sudah terlalu sering melukai hatimu. Tolong  maafkan  aku,  Ris!” Ungkapnya  lagi.

Aku  cukup  prustasi  dengan  cara  Rio  menatapku.  Seperti menyampaikan  sebuah  pesan  yang aku  tidak  tahu  pesan  apakah  itu.  Aku  masih  menunggu  sebuah  jawaban dari  ketidak-tahuanku.

Pagi  ini—tepat  hari  sabtu,  ia mengajakku  untuk  bertemu  di salah satu  taman  yang  jaraknya  tidak  jauh  dari  tempat  tinggalku.  Sepanjang  perjalanan,  organ  kewarasanku  terus  saja  memikirkan  sosok  pria  yang  memang  beberapa  kali  pernah  mengajakku  mengakhiri  hubungan  asmara  antara  kami.  Ya,  hampir  empat  kali,  mungkin  lima  kali  andai  hari  ini  Rio  sungguh  ingin  putus  denganku,  wanita  20  tahun  yang  pertama  kali  ia  temui  di  taman  ini. 

Selasa, 22 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 5



***


Bagi yang belum membaca Part 4, bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 4 ]


***



“Apa pria asing yang semalam menolongmu itu tampan ? Apa badannya bagus kek aktor-aktor barat ? Rambutnya gaya mohak ? Or botak ? Apa berkumis ? Kumisnya lebat atau tipis ? Ayolaaah… Nada…, jawab pertanyaanku...” kalimat yang Lila ajukan pada sohibnya itu lebih ke arah rengekan dari pada pertanyaan. Sedari tadi, ia terus saja membanjiri Nada dengan beribu pertanyaan tentang pria asing yang semalam menolong Nada. Sembari memutari tubuh jangkung sohibnya.

Nada keukeuh tak menjawab. Ia tetap berfokus pada lemari di depannya. Yup, Nada tengah memilah baju yang akan ia kenakan untuk menemani sohibnya jogging.

Minggu, 20 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 4



***

Baca dulu Part yang sebelumnya di [ KALUNG TAKDIR Part 3 ]

***


“Harusnya kamu jujur….,”

“Jujur perihal apa ?,”

“Perihal suara menjijikan yang berasal dari dalam perutmu, Nona.”

“Jadi, obrolan menjengkelkan perihal suara menjijikan tadi masih berlanjut ?.”

“Sebenarnya, aku tidak ingin membahas topik itu. Tapi, rasa penasaranku terlalu menggunung, Nona..”

“Berhenti memanggilku Nona. Aku tak suka..”

“Lantas, aku harus memanggilku apa ? Hemm ?,”

“Terserah. Bisakah kamu berhenti bicara ? Aku sedang makan.”

“Bukan aku, tapi kita. Aku juga sedang makan.., tapi masih bisa buka mulut. Jadi, aku harus memanggilmu apa ?.”

“Terserah apa katamu!.”

Orang asing ? Nona cantik ? Miss stranger ? Itu terdengar manis.., tapi terlalu ribet untuk diucapkan. Ayolah…, aku harus memanggilmu apa, Nona ?”

“Pandai mengganti topik pembicaraan… tadi, membicarakan tofik perihal suara menjijikan dari dalam perutku. Dan seka–“

“Akhirnya kamu mengaku juga, Nona…”

“Eh ?,”

“Eh apa ? Jelas-jelas.., tadi kamu ngomong kalau suara menjijikan itu berasal dari dalam perutmu. Sudah jelas ‘kan ?.”

“Heyyyyy!!!”

“Topik tentang suara benih kelaparan kita tutup sampai disini!”

“Dasar orang aneh..”

“Orang aneh yang kebetulan menolongmu dari genggaman pria bau tanah!”

“Terserah apa katamu,”

“Jadi, aku harus memanggilmu apa, Nona ?”

“Berhenti memanggilku Nona!!!”

“Jadi ?,”

“Terimakasih atas makan malam gratisnya. Kebetulan, aku sudah kenyang…, aku pergi sekarang ya. Sampai jumpa, Tuan Bawel.”

“Kita belum berkenalan… belum juga mengetahui nama masing-masing. Hey, Nonaaa..”

“Sampai jumpa. Terimakasih sudah menolongku dari si pria bau tanah. Sekali lagi, terimakasih, Tuan Bawel!”


***


Dan disinilah Laksa sekarang. Terbaring di kasur empuknya sembari mengingat-ingat kejadian kemarin malam. Padahal ia baru bangun tidur, namun organ kewarasannya sudah berkelana kesana-kemari. Ya, kejadian kemarin malam benar-benar membuatnya candu. Kejadian yang membuat malam minggunya menjadi teramat istimewa dan tentu saja membuatnya bahagia. Bahagia ?

Sabtu, 19 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 3


***

Ada yang belum membaca Part 2 ? Bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 2 ]

***


“Laksa. . ayo sini. Ibu sudah siapin nasi goreng pedas untukmu. Ayo cepat!” Teriakan Bu Enti terngiang sampai langit ke tujuh.


Yah, seperti biasa —Bu Enti memasak nasi goreng pedas untuk Laksa, sang anak. Sebenarnya, Laksa sudah pernah wanti-wanti pada Bu Enti agar tidak memasakan nasi goreng untuknya. Alasannya, bukan lain adalah karena ia sudah mulai bosan nan jemu dengan santapan itu. Nasi goreng lagi. . nasi goreng lagi. . ia berharap bisa makan sayur asem, daging ayam, ikan goreng dan menu masakan lain yang menurutnya menggiurkan. Sampai saat itu tiba, di dapur. Saat dimana matanya melihat secara langsung sang Ibu sedang kebingungan sembari bertutur, ‘Aku harus masak apa hari ini ? Nasi goreng mungkin begitu membosankan untuk Laksa.

KALUNG TAKDIR Part 2


***

Apa ada yang belum membaca Part 1 ? Bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 1 ]

***




Wanita itu tampak ketakutan. Sedari tadi, ia terus saja menggigit bibir bawahnya dengan hawa gelisah. Pancaran ketakutan terpangpang jelas di sekujur lekuk tubuhnya. Yang paling dominan adalah wajah wanita tersebut. Kulit putih bersih membuatnya semakin terlihat ketakutan nan penuh kegelisahan. Matanya mendelik kesana kemari. Menjangkau ke seluruh ruangan yang sedang ia tapaki. Ia melangkah maju.

Gurat keputus-asaan terpampang di wajanya, “Ruangan macam apa ini, Tuhan ? Aku takut. Aku gelisah…” Pernyataan tadi keluar langsung dari mulut wanita jangkung tersebut. Sembari menyidik ruangan yang sekarang ia tapaki, ia baru menyadari, bahwa ruangan ini bentuknya seperti rumah sederhana dengan empat kamar sekaligus. Ia menatap ke sisi kanan tubuhnya. Terdapat dua kamar yang tak terlalu besar —lebih tepatnya kecil. Di sudut atas pintu dua kamar itu ada tulisan singkat. ‘Matilah kau, Jahanam’.

“Gleeeek…” Itu suara berasal dari rongga mulutnya —bahwa beberapa detik yang lalu ia baru saja menelan air liurnya menuju kerongkongan.

Kamis, 17 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 1



“Sudah  aku  bilang,  aku  benar-benar  tak  membutuhkan  bantuan  dari  Ibu.  Aku  bisa  mencari  pekerjaan  yang  halal  dengan  tangan,  kaki  dan  usahaku  sendiri.  Jadi  tolong,  jangan  carikan pekerjaan untukku. Apa Ibu mengerti dengan apa yang aku katakan ?!!” Bentak pemuda berusia 23 tahun itu sembari menatap dengan tak tentu sosok Ibu yang sedang memasak nasi goreng untuknya. Ia sungguh tak tega bercakap sekeras itu pada sang Ibu, namun  ia tak punya pilihan lain.

“Ibu hanya..”