Sabtu, 19 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 3


***

Ada yang belum membaca Part 2 ? Bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 2 ]

***


“Laksa. . ayo sini. Ibu sudah siapin nasi goreng pedas untukmu. Ayo cepat!” Teriakan Bu Enti terngiang sampai langit ke tujuh.


Yah, seperti biasa —Bu Enti memasak nasi goreng pedas untuk Laksa, sang anak. Sebenarnya, Laksa sudah pernah wanti-wanti pada Bu Enti agar tidak memasakan nasi goreng untuknya. Alasannya, bukan lain adalah karena ia sudah mulai bosan nan jemu dengan santapan itu. Nasi goreng lagi. . nasi goreng lagi. . ia berharap bisa makan sayur asem, daging ayam, ikan goreng dan menu masakan lain yang menurutnya menggiurkan. Sampai saat itu tiba, di dapur. Saat dimana matanya melihat secara langsung sang Ibu sedang kebingungan sembari bertutur, ‘Aku harus masak apa hari ini ? Nasi goreng mungkin begitu membosankan untuk Laksa.
Tapi uangku tidak mencukupi untuk sekedar membeli sayuran dan lauk-pauk…’ tutur Bu Enti sembari menengok isi dompet kunonya. Hanya ada sepuluh-ribu.

Sejak saat itu, Laksa tak pernah neko-neko. Ia berpesan agar Bu Enti bisa menyiapkan nasi goreng untuknya. Setiap pagi, bahkan setiap hari. “Duh, bentar, Bu. Tinggal satu kancing lagi..” Teriak Laksa sembari tetap berfokus pada kancing baju paling atas. “Akhirnya masuk juga kamu, Cing..” Kancing mungil tersebut sudah masuk ke dalam liang bolong pada kemeja Laksa.

Sembari menatap cermin yang tingginya hampir sejajar dengannya, Laksa kembali buka mulut. “Gigolo ? Apa aku harus menjadi Gigolo ? Aku tak yakin. .” Ia tak melanjutkan. Sembari mengusap pipi bersihnya dengan kedua telak tangan. “Hemm. . Aku terlalu tampan untuk ukuran Gigolo..” Pekiknya sembari terkekeh sendiri.

Dirasa penampilannya sudah cukup baik, Laksa bergegas menuju meja makan. Tersenyum pada Bu Enti dan langsung duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu.


***


 “Laksa ?,”

“Hemmm…”

“Kamu gembul ya kalo makan. Tapi anehnya. . .” Bu Enti sengaja tak melanjutkan kalimatnya.

“Apa yang aneh, Bu ?.” tanya Laksa disela-sela mulutnya yang sedang sibuk menyantap.

Bu Enti tersenyum kecil, “Anehnya kamu nggak gemuk-gemuk. . masih aja kurus.”

“Ibu meledekku ?.”

“Tid–“

“Jangan lupakan Bapak, Bu. . Bapak juga makannya banyak. Tapi tetep nggak gemuk-gemuk. Masih aja tipis kek Laksa. Iya ‘kan ?” Potong Laksa sembari memungut seiprit nasi yang tersisa di piringnya. Laksa tersenyum lebar saat menyadari santapan paginya sudah habis. Tak tersisa. “Ibu lanjutin makan. Kalau perlu sampai kenyang-sekenyang-kenyang-nya. Laksa mau keluar dulu.” Lanjutnya sembari menjangkau gelas di depannya. Setelah itu, ia menyuruput air di dalamnya. Hanya hitungan detik, gelas itupun kosong.

“Kamu mau kemana ? Rapih gitu pakaiannya. . mau kencan ?.” Bu Enti sengaja menggoda anaknya via topik yang berhubungan dengan wanita. Sudah cukup lama sejak pertama kali Laksa membawa wanita cantik bernama Ningsih ke rumah sederhanya. Setelah itu, Laksa tak pernah membawa wanita itu ke rumah. Sosok wanita lain pun tak pernah ia lihat.

Laksa berdehem, “Yatuhan. . Demi apapun, untuk sekarang aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun. Aku tak cukup baik untuk mereka!”

“Maksudmu ?,”

“Iya. Aku tak mau berpacaran dulu sebelum mendapatkan satu pekerjaan. Masa Ibu nggak ngerti ?.” Laksa memundurkan kursi yang sedang ia dudukki dan bersiap berdiri. “Kecuali ada wanita cantik yang benar-benar menerima keadaan Laksa.” Lanjutnya.

“Menurut Ib–“

“Kalau bisa sih. . yang kek Ibu. Udah cantik, baik hati pula.” Pujinya sembari tersenyum pada sang Ibu. Senyumnya lebih kearah menggoda.

Bu Enti melotot. “Kamu jangan terlalu sering memuji Ibumu ini. Ibu memang baik hati. . namun, wajah Ibu ini tak cantik. Kamu–”

“Maksud Ibu.. tak secantik dulu ? Saat Ibu masih belia ?.” Untuk ketiga kalinya Laksa memotong ucapan Bu Enti. Sembari cengengesan, Laksa menghampiri Bu Enti yang posisi duduknya berhadapan dengannya. Terhalang meja makan berbentuk persegi empat. Lalu, ia menjangkau tangan kanan Bu Enti. “Assalamu ‘Alaikum..” Salamnya.

Wa’alaikumsalam.” Jawab Bu Enti.

“Maaf ya, Bu. Kemarin Laksa sudah amuk-amuk-an sama Ibu. Maaf!” Laksa berbisik pada Ibunya. Bu Enti merespon permintaan-maaf anaknya itu dengan senyuman.

Sosok Laksapun sudah tak terlihat —bebarengan dengan langkahnya yang mulai cepat melewati pintu depan.


***


“Kemana lagi aku harus mencari pekerjaan ? Sudah lebih dari lima toko yang aku singgahi. Tak ada satupun yang menerima..” Kutuk Laksa pada dirinya sendiri.

Beberapa detik yang lalu, Laksa baru saja melangkah keluar melewati pintu toko yang terbuat dari Aluminium. Dengan wajah ditekuk dan langkah kaki yang mulai melambat, Laksa merasa kalau pencariannya dalam mencari pekerjaan yang layak untuknya akan sia-sia. Sudah lebih dari lima toko yang Laksa singgahi. Sialnya, tak ada satupun yang menerimanya sebagai seorang pekerja. Padahal tampangnya cukup okay, gagah, berkarakter, dan juga menjanjikan. Oh Tuhan, Laksa bukanlah seorang pria yang menawarkan diri untuk dijadikan Model. Yah, memang benar ‘kan ? Tanpa bermaksud membully, yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi seorang Model, bukan lain adalah tampang menawan dan tubuh ideal. Betul ?

Sayangnya, Laksa tak tertarik pada dunia Model. Beberapa kali ia sempat ditawari oleh sohib sekampungnya, abang tukang bengkel, bahkan Ibunya sendiri pernah bertutur bahwa menjadi seorang Model adalah satu-satu profesi yang harus ia dalami. Laksa cukup bangga pada dirinya —lebih tepatnya akan tampangnya yang membuat banyak orang termasuk Ibunya bertutur bahwa ia layak untuk menjadi seorang Model. Sekali lagi, Laksa tidak memiliki ketertarikan setengah persenpun pada dunia yang juga membesarkan nama Sean OPry itu.

“Satu. . dua. . tiga. . empat. . lima. . en…”

Sembari terus berjalan melewati beberapa kendaraan roda dua seperti motor dan sepeda, juga kendaraan roda empat yang bukan lain, mobil, dan tentu saja salah satu kendaraan roda tiga yang rutin nongkrong di sisi jalan perkotaan, yaitu beca, Laksa mengingat dan menghitung toko-toko mana saja yang sempat ia singgahi. Enam jari tangannya lantas menjadi korban. “Enam!” Pekiknya sembari memukul pelan jari kelingking di tangan kirinya dengan jari telunjuk tangan kanan. Mimik muka Laksa tampak begitu kesal.

Enam dari toko yang sudah Laksa singgahi bukan lain adalah, toko peralatan rumah tangga—toko tersebut memiliki pintu yang terbuat dari besi, toko peralatan olahraga dengan pintu aluminium, dua toko elektronik dengan pintu minimalis, dan tak lupa dua toko lemari dengan pintu sederhana yang terbuat dari kayu. Toko terakhir lebih berfokus pada penjualan lemari. Berbagai penolakan nyaris membuat kedua telinganya terbakar. Ya, kebanyakan pemilik toko berkata, ‘Saya tidak membutuhkan seorang pekerja lulusan SMP!!!’ Tentu saja, itu membuat harga dirinya sedikit terusik.

Ada pula pemilik toko peralatan olahraga yang bertutur, ‘Tubuh cungkringmu tidak begitu menjanjikan untuk toko saya. Maaf!’ Bahkan, ada juga yang menolak dengan kurang ajar, ‘Anda pikir, dengan tampang menawan dan digilai banyak wanita bisa dengan mudah diterima di toko saya ? Maaf, saya tidak membutuhkan tampang. Tapi kualitas anda dalam bekerja. Dan satu lagi, ijasah!’ Kurang ajar dan terkesan semena-mena ? Ya memang. Padahal, saat itu Laksa hanya bertanya, ‘Maaf, Mbba. Apa disini masih ada lowongan pekerjaan ?’ Itu saja! Mungkin sang empu toko merupakan perawan tua yang haus belaian brondong. Tapi tak juga kesampaian, ya begitulah akhirnya. Setidaknya, itulah yang ada pada benak Laksa. Tentu saja untuk menghibur dirinya sendiri.

Kini, moodnya sudah tak sebagus pagi tadi. Laksa berniat untuk pulang dan bergegas makan siang di rumah.


***


Malam minggu adalah surga sempurna untuk para pemuda beserta pemudi Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah memiliki dambaan hati yang bisa diajak pergi jalan-jalan, nonton di bioskop terkemuka, makan malam di resto-resto elit ataupun warung pinggir jalan, para pemuda nan pemudi yang sedang asyik mendamba satu sama lain pun, setidaknya bisa menikmati malam minggu mereka dengan segeluit kemesraan, celotehan, candaan, pelukan satu sama lain sembari duduk di jok motor yang terlebih dulu sudah di berhentikan di sisi jalan. Intinya, saling memadu kasih, mendamba, beserta saling bercerita perlihal asmara.

Ya begitulah nyatanya. Malam minggu adalah surga sempurna untuk mereka.

Lantas, apa malam minggu khusus diperuntungkan untuk para pasangan yang saling mendamba ? Para manusia yang sudah berpasangan. Tentu saja jawabannya, tidak. Bukan hanya mereka —sepasang kekasih yang dengan leluasa menikmati keindahan, kenikmatan, keistimewaan malam minggu. Para jomblo, singgel, janda, duda, sosok yang gagal menyunting, wanita yang gagal dipersunting, siapapun itu, dengan bebas bisa menikmati gemerlap malam minggu. Tentu saja bagi mereka yang ingin. Intinya, malam minggu dapat dinikmati, diindahi oleh siapapun manusia di alam bumi ini. Namun, ada sedikit keistimewaan bagi yang tengah merajut asmara. Apa sih keistimewaan tersebut ? Pikir saja sendiri!

Berbeda dengan Laksa. Tak seperti manusia lain yang sibuk merencanakan acara malam minggu mereka dengan jalan-jalan ke pusat kota, pergi ke bioskop, makan malam dan sejenisnya. Laksa malah tengah berniat bahkan menuju keputusan matangnya untuk menerima tawaran dari sohibnya, Rijal yang dulu menghubunginya, sekaligus menawarkan sepucuk pekerjaan menjijikan berlabel Gigolo. Namun sekarang, pekerjaan yang Laksa sebut menjijikan itu tengah ia hayali. Laksa, terus saja memikirkan keuntungan, kerugian, bahkan kepastian andai ia menyetujui tawaran dari sohib lawasnya itu.


Berbagai pemikiran seperti, jikalau sang Ibu tercinta tahu. Laksa yakin, kalau saja Bu Enti tahu bahwa anaknya sedang menimbang-nimbang keputusan untuk beralih profesi menjadi seorang Gigolo, tentu saja sang Ibu akan memamerkan sikap galak dan piring terbangnya pada Laksa, yang bukan lain adalah anaknya sendiri.

“Bu. . Laksa mau pergi sebentar. Boleh ya ?,” Tanya Laksa sembari memamerkan senyum manisnya pada sang Ibu yang tengah membaca surat Yasin di ruang tamu. Tepatnya duduk di sofa butut yang dulu Ayahnya beli.

Bu Enti berhenti dari aktifitas endahnya, “Kamu itu ya. . tahu Ibunya lagi baca Yasin, malah ngajak ngomong. .” Bu Enti menyidik sosok jangkung anaknya, dari jengkal atas kepala sampai jengkal akhir kakinya. Lalu tersenyum simpul, “Ya, boleh. Tapi ingat, jangat terlalu larut!”

Dengan sedikit rasa bersalah yang masih tersisa di lubuk hati terdalamnya, Laksa tersenyum kecut dan bergegas melangkah keluar. Membiarkan sang Ibu seorang diri di rumah sederhana mereka.


***


“Tolong lepaskan tangan saya, Pak. Saya sedang tidak fit. Tolong mengerti akan keadaan saya. . malam ini saja!”

Dengan semena-mena, dengan tanpa izin pula,  teriakan itu berhasil memalingkan perhatian Laksa yang sedari tadi berfokus pada rumah malam tempat para Gigolo memburu uang di seberang sana. Ada tulisan ‘Klub Malam Asoy’ yang sengaja diletakkan di dua sudut genteng paling atas. Kini, mata tajamnya menyidik pada satu titik, satu tempat dan tentu saja satu arah. Dimana terlihat seorang wanita cantik berperawakan tinggi nan berkulit putih bersih tengah beradu mulut dengan seorang pria paruh baya berjas hitam. Tepat dipinggir mobil elit milik salah satu dari mereka.

Keningnya semakin mengerut setelah menyadari sosok wanita yang sedari tadi mencuri perhatiannya itu terlihat tengah menahan rasa sakit. “Jangan paksa saya untuk masuk mobil Bapak. Saya mohon!” pinta wanita cantik itu sembari berusaha melepaskan kedua tangan si paruh baya yang sedari tadi mencekik pergelangan tangannya.

“Kamu itu sudah saya bayar. . jadi, jangan berlaga so jual mahal dan berakting memelas macam itu. Sekarang… cepat masuk mobil.” Pangkas si pria paruh baya. Kini, kedua tangannya lebih leluasa menyeret wanita cantik itu untuk masuk kedalam mobil kelas atasnya. Si wanita masih berusaha menolak dan melawan perlakuan kasar dari si pria berjas hitam.

Beberapa kali Laksa sempat mencuri pandang pada tulisan di klub malam di depannya—tepatnya disebrangnya. Antara ingin bergegas menyebrang dan segera masuk klub malam itu, dan juga niatnya untuk menolong si wanita cantik yang berada sepuluh langkah dari tempatnya menapakkan kaki. Laksa diambang rasa bimbang yang melangit. Laksa dan dua manusia yang menyedot perhatiannya itu sama-sama berdiri dan menapak di tanah yang sama. Di sisi jalan yang sama. Bahkan sejajartepatnya di sisi kiri jalan.

Tekadnya sudah bulat. Laksa berjalan menghampiri mereka, sang wanita cantik dan si pria paruh baya. Ia tak memperdulikan resiko yang akan ia dapatkan jikalau beradu mulut, bahkan beradu tinju dengan pria baruh baya yang menurut pandangnya sudah berumur 40tahun keatas.

“Ini ada apa ya, Pak ?  ? Dia wanita lho… tolong jangan bertindak kasar!” Cakap Laksa untuk pertama kali.

Si pria paruh baya memang sudah tua, Laksa akui itu. Namun, ia sedikit tercengang saat mengetahui fakta bahwa si pria di depannya itu memiliki tampang yang lumayan untuk ukuran bapak-bapak bau tanah. Sepertinya si pria bau tanah pintar merawat diri. “Jangan ikut campur. . Anda siapa hah ?!!?” Si pria paruh baya dengan semena-mena mendorong tubuh jangkung Laksa. Kalau saja pertahanan tubuh Laksa lemah, mungkin saja saat si pria paruh baya mendorongnya, tubuh kurusnya sudah terseret laju angkot yang kebetulan mengebut.

“MASUK SEKARANG!!!” Bentak si pria bau tanah sembari membuka pintu mobil. Lalu mendorong si wanita yang terlihat masih menahan rasa sakit di perutnya. Laksa menatap cemas si wanita. Nyaris tak berkedip.

Dengan amarah yang mulai memuncak, Laksa menarik kerah baju si pria bau tanah. Dan berhasil, ia terjengkal. Untung saja tidak ada angkot yang sedang melaju. Jadi tubuh si pria bau tanah masih dalam keadaan aman. “ANDA JANGAN KASAR. . . DIA WANITA…, BUKAN PRIA YANG PANTAS ANDA DORONG DAN TINJU SEENAK JIDAT!!!!” Bentak Laksa. Ubun-ubunnya mulai mendidih. Laksa sungguh tak tega melihat seorang wanita yang sedang menahan kesakitan dan diperlakukan kasar nanmembabi-buta oleh pria biadab di depannya.

Si pria paruh baya terlihat kik’kuk. Tanpa menunggu lama, Laksa membuka pintu mobil milik si pria bau tanah dan bergegas menarik pergelangan tangan si wanita yang sempat ia khawatirkan keadaannya. Refleks, tubuh si wanita bergerak mengikuti tarikan Laksa. Setelah itu, Laksa menatap tajam si pria paruh baya yang tak ia ketahui namanya itu. Lalu, melangkah cepat, sembari tangan kanannya masih menggenggam tangan kiri si wanita.

Sosok si wania sungguh menarik perhatiannya. Perhatian indera pendengar serta indera penglihatannya. Bahkan, Laksa tak sempat menatap setengah detikpun pada klub malam yang bukan lain merupakan tujuan utamanya keluyuran di malam minggu. Merasa sudah cukup jauh dari mobil si pria bau tanah, Laksa menghentikan langkah kakinya. Ia menatap sosok wanita yang ada di belakangnya. “Baik-baik saja ?.” Tanya Laksa dengan tampang simpati.

Si wanita berdehem sembari tersenyum. Senyum singkat dan tak sampai memamerkan deretan giginya, namun setidaknya, itu membuat Laksa sedikit lega. “Kamu baik-baik saja ?.” Ulang Laksa.

“Aku baik-baik saja. Sungguh!”

Suara itu. Suara yang dihasilkan oleh pita suara si wanita nyaris membuat Laksa tertegun beberapa detik. Laksa sangat menyukai cara si wanita mengucap, berbicara, dan menjawab pertanyaannya. Ba’ tersihir, Laksa tak berani buka mulut. Matanya masih menatap sosok wanita yang ia tolong. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan si wanita yang putih mulus tanpa noda. Tanpa celah luka. Walau keadaan cukup gelap karena sudah larut, namun ia meyakini bahwa si wanita memang memiliki kulit putih nan bersih. Ia menyidik sosok wanita di depannya, dari jengkal kepala sampai jengkal kaki. Laksa menyadari, si wanita benar-benar tampak cantik nan’ menawan. Jaket kulit warna cokelat yang disleting sampai wilayah leher, celana jeans hitam, sepatu berhak tinggi, rambut panjang nan’ lurus yang dibiarkan terurai begitu saja, membuat si wanita tampak cantik dan menawan meskipun pakaian yang ia pakai cukup sederhana. Juga, Laksa terpukau akan cara si wanita tersenyum. Sangat manis!

Mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan yang berbeda arah dan rasa. Laksa, ia menyidik sosok wanita di depannya karena ia merasa begitu khawatir pada keadaan si wanita. Selain itu, ia juga mulai merasa terbius akan sosok di depannya. Hatinya seakan luluh lantah dan lantas ingin mengucap, ‘Kamu adalah wanita tercantik sekaligus termanis yang pernah aku temui di sejarah hidupku. Sungguh!’ Namun sayang, gengsinya melangit.

Beda dengan Laksa. Si wanita malah terkejut sekaligus terpukau atas tindakan yang telah si pria lakukan tadi. Membelanya, mengkhawatirkan keadaannya, menggenggam tangannya, menarik tangannya, melangkah seirama dengannya, bertanya akan keadannya, hey, semua itu berhasil membuat si wanita terpukau akan sosok pria yang tak ia ketahui namanya itu. Ya, ia hanya terpukau atas tindakan spontan yang si pria lakukan padanya. Sekali lagi, ia hanya terpukau!

“Ehhhem…” Si wanita berdehem sembari menatap sekeliling. Laju motor dan mobil sempat tak ia perdulikan. Ia terlalu berfokus pada pria berkulit hitam manis di depannya. Hidungnya membaui aroma keringat si pria. ‘Apa berlari beberapa detik, membuatnya lelah ?.’ Batin si wanita.

Si wanita terlihat berfikir sembari menggigit pelan bibir bawahnya. “Jadi….?”

“Eh ?.” Hanya dua hurup yang keluar dari mulut Laksa.

“Bisa tolong….” Si wanita menunduk. Setelah itu, matanya perlahan menyidik pergelangan tangannya yang masih menyatu dengan tangan si pria. Tak bergerak sama sekali.

Refleks, Laksapun mengikuti si wanita. Ia melirik tangannya yang masih asyik berkelana di pergelangan tangan si wanita. “Eh.. eh.. eh.. maaf. Saya..,” Laksa bergegas menjauhkan sekaligus melepaskan genggaman hangatnya. Laksa mulai merona. Sementara si wanita, ia malah menunduk menatap sepatu berhak delapan sentimeternya.

“Apa aku boleh mengetahui namamu ?.” Tanya Laksa sembari mengulurkan tangan kanannya.

Si wanita menatap Laksa sejenak, ia mulai membuka mulut sembari siap menjangkau tangan si pria yang tak ia dikenal, “Nad–“

“Harus nama lengkap!” Potong Laksa dan berhasil membuat pipi si wanita merona. Lagi!

“Namaku..”

“KRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTSSSSSS…” Suara itu berhasil memotong kalimat yang hendak keluar dari mulut si wanita. Sepertinya, si wanita dalam keadaan lapar alias membutuhkan asupan makanan.

Laksa tersenyum geli, “Itu suara dari perutmu ‘kan ? Kamu lapar ?.” Senyumnya semakin lebar saat mendapati wanita di depannya malah menggigit bibir bawahnya.

“Suara menjijikan tadi bukan berasal dari dalam perutku. Satu lagi, aku sama sekali tidak merasa lapar..”

“Yakin ?,”

“Sangat yakin!” Pekik si wanita.

“Kamu yakin ?,” Tanya Laksa lagi. Ia sengaja menggoda sosok wanita di depannya. Sebelumnya, Laksa tak pernah bertingkah semenyebalkan dan seberani itu pada seorang yang tak ia kenal. Namun, wanita di depannya benar-benar membuat batinnya bergejolak.

“Sangat yakin. Bisakah kita hentikan obrolan menjengkelkan ini ?,” Tanya si wanita. Dari nada bicaranya, ia terdengar sedikit kesal.

“Kamu yakin ?,“ Sepertinya organ kewarasan Laksa benar-benar sudah rusak. Ia berani bertanya sembari mencondongkan wajahnya kearah wajah si wanita. Hembusan nafanya mungkin menyatu dengan kulit wajah si wanita.

“Yak–“

“KRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTSSSSSS…” Laksa dan si wanita saling menatap bebarengan. Tepat saat suara mengganggu tadi terdengar. Dan kemudian…

Ha Ha Ha Ha Ha

Mereka tertawa bebarengan. Tawa yang lepas seolah mereka adalah sohib lawas yang baru bertemu setelah sekian lama.

Diam-diam, Laksa menatap wajah si wanita. Ia menyukai cara si wanita tak dikenal tersenyum. Hatinya bergemuruh!


-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar