***
Ada yang belum membaca Part 2 ? Bisa kamu baca di [ KALUNG TAKDIR Part 2 ]
***
“Laksa. . ayo sini. Ibu sudah siapin nasi goreng pedas untukmu. Ayo cepat!” Teriakan Bu Enti terngiang sampai langit ke tujuh.
Yah,
seperti biasa —Bu Enti memasak nasi goreng pedas untuk Laksa, sang anak.
Sebenarnya, Laksa sudah pernah wanti-wanti pada Bu Enti agar tidak memasakan
nasi goreng untuknya. Alasannya, bukan lain adalah karena ia sudah mulai bosan
nan’ jemu dengan santapan itu. Nasi
goreng lagi. . nasi goreng lagi. . ia berharap bisa makan sayur asem, daging
ayam, ikan goreng dan menu masakan lain yang menurutnya menggiurkan. Sampai
saat itu tiba, di dapur. Saat dimana matanya melihat secara langsung sang Ibu
sedang kebingungan sembari bertutur, ‘Aku harus masak apa hari ini ? Nasi
goreng mungkin begitu membosankan untuk Laksa.
Tapi uangku tidak mencukupi
untuk sekedar membeli sayuran dan lauk-pauk…’ tutur Bu Enti sembari menengok
isi dompet kunonya. Hanya ada sepuluh-ribu.
Sejak saat
itu, Laksa tak pernah neko-neko. Ia berpesan agar Bu Enti bisa menyiapkan nasi
goreng untuknya. Setiap pagi, bahkan setiap hari. “Duh, bentar, Bu. Tinggal
satu kancing lagi..” Teriak Laksa sembari tetap berfokus pada kancing baju
paling atas. “Akhirnya masuk juga kamu, Cing..”
Kancing mungil tersebut sudah masuk ke dalam liang bolong pada kemeja Laksa.
Sembari
menatap cermin yang tingginya hampir sejajar dengannya, Laksa kembali buka
mulut. “Gigolo ? Apa aku harus menjadi Gigolo ? Aku tak yakin. .” Ia tak melanjutkan.
Sembari mengusap pipi bersihnya dengan kedua telak tangan. “Hemm. . Aku terlalu
tampan untuk ukuran Gigolo..” Pekiknya sembari terkekeh sendiri.
Dirasa
penampilannya sudah cukup baik, Laksa bergegas menuju meja makan. Tersenyum
pada Bu Enti dan langsung duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu.
***
“Laksa ?,”
“Hemmm…”
“Kamu
gembul ya kalo makan. Tapi anehnya. . .” Bu Enti sengaja tak melanjutkan
kalimatnya.
“Apa yang
aneh, Bu ?.” tanya Laksa disela-sela mulutnya yang sedang sibuk menyantap.
Bu Enti
tersenyum kecil, “Anehnya kamu nggak gemuk-gemuk. . masih aja kurus.”
“Ibu
meledekku ?.”
“Tid–“
“Jangan
lupakan Bapak, Bu. . Bapak juga makannya banyak. Tapi tetep nggak gemuk-gemuk.
Masih aja tipis kek Laksa. Iya ‘kan ?”
Potong Laksa sembari memungut seiprit nasi yang tersisa di piringnya. Laksa
tersenyum lebar saat menyadari santapan paginya sudah habis. Tak tersisa. “Ibu
lanjutin makan. Kalau perlu sampai kenyang-sekenyang-kenyang-nya. Laksa mau
keluar dulu.” Lanjutnya sembari menjangkau gelas di depannya. Setelah itu, ia
menyuruput air di dalamnya. Hanya hitungan detik, gelas itupun kosong.
“Kamu mau
kemana ? Rapih gitu pakaiannya. . mau kencan ?.” Bu Enti sengaja menggoda
anaknya via topik yang berhubungan dengan wanita. Sudah cukup lama sejak
pertama kali Laksa membawa wanita cantik bernama Ningsih ke rumah sederhanya.
Setelah itu, Laksa tak pernah membawa wanita itu ke rumah. Sosok wanita lain pun
tak pernah ia lihat.
Laksa
berdehem, “Yatuhan. . Demi apapun, untuk sekarang aku tidak tertarik untuk
menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun. Aku tak cukup baik untuk
mereka!”
“Maksudmu ?,”
“Iya. Aku
tak mau berpacaran dulu sebelum mendapatkan satu pekerjaan. Masa Ibu nggak
ngerti ?.” Laksa memundurkan kursi yang sedang ia dudukki dan bersiap berdiri.
“Kecuali ada wanita cantik yang benar-benar menerima keadaan Laksa.” Lanjutnya.
“Menurut
Ib–“
“Kalau bisa
sih. . yang kek Ibu. Udah cantik, baik hati pula.” Pujinya sembari tersenyum
pada sang Ibu. Senyumnya lebih kearah menggoda.
Bu Enti
melotot. “Kamu jangan terlalu sering memuji Ibumu ini. Ibu memang baik hati. .
namun, wajah Ibu ini tak cantik. Kamu–”
“Maksud
Ibu.. tak secantik dulu ? Saat Ibu masih belia ?.” Untuk ketiga kalinya Laksa
memotong ucapan Bu Enti. Sembari cengengesan, Laksa menghampiri Bu Enti yang
posisi duduknya berhadapan dengannya. Terhalang meja makan berbentuk persegi
empat. Lalu, ia menjangkau tangan kanan Bu Enti. “Assalamu ‘Alaikum..” Salamnya.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Bu Enti.
“Maaf ya,
Bu. Kemarin Laksa sudah amuk-amuk-an sama Ibu. Maaf!” Laksa berbisik pada
Ibunya. Bu Enti merespon permintaan-maaf anaknya itu dengan senyuman.
Sosok
Laksapun sudah tak terlihat —bebarengan dengan langkahnya yang mulai cepat
melewati pintu depan.
***
“Kemana
lagi aku harus mencari pekerjaan ? Sudah lebih dari lima toko yang aku singgahi.
Tak ada satupun yang menerima..” Kutuk Laksa pada dirinya sendiri.
Beberapa
detik yang lalu, Laksa baru saja melangkah keluar melewati pintu toko yang
terbuat dari Aluminium. Dengan wajah ditekuk dan langkah kaki yang mulai
melambat, Laksa merasa kalau pencariannya dalam mencari pekerjaan yang layak
untuknya akan sia-sia. Sudah lebih dari lima toko yang Laksa singgahi. Sialnya,
tak ada satupun yang menerimanya sebagai seorang pekerja. Padahal tampangnya
cukup okay, gagah, berkarakter, dan juga menjanjikan. Oh Tuhan, Laksa bukanlah
seorang pria yang menawarkan diri untuk dijadikan Model. Yah, memang benar ‘kan ? Tanpa bermaksud membully, yang
dibutuhkan seseorang untuk menjadi seorang Model, bukan lain adalah tampang
menawan dan tubuh ideal. Betul ?
Sayangnya,
Laksa tak tertarik pada dunia Model. Beberapa kali ia sempat ditawari oleh
sohib sekampungnya, abang tukang bengkel, bahkan Ibunya sendiri pernah bertutur
bahwa menjadi seorang Model adalah satu-satu profesi yang harus ia dalami.
Laksa cukup bangga pada dirinya —lebih tepatnya akan tampangnya yang membuat
banyak orang termasuk Ibunya bertutur bahwa ia layak untuk menjadi seorang
Model. Sekali lagi, Laksa tidak memiliki ketertarikan setengah persenpun pada
dunia yang juga membesarkan nama Sean O’ Pry
itu.
“Satu. .
dua. . tiga. . empat. . lima. . en…”
Sembari
terus berjalan melewati beberapa kendaraan roda dua seperti motor dan sepeda,
juga kendaraan roda empat yang bukan lain, mobil, dan tentu saja salah satu
kendaraan roda tiga yang rutin nongkrong di sisi jalan perkotaan, yaitu beca,
Laksa mengingat dan menghitung toko-toko mana saja yang sempat ia singgahi.
Enam jari tangannya lantas menjadi korban. “Enam!” Pekiknya sembari memukul
pelan jari kelingking di tangan kirinya dengan jari telunjuk tangan kanan.
Mimik muka Laksa tampak begitu kesal.
Enam dari
toko yang sudah Laksa singgahi bukan lain adalah, toko peralatan rumah
tangga—toko tersebut memiliki pintu yang terbuat dari besi, toko peralatan
olahraga dengan pintu aluminium, dua toko elektronik dengan pintu minimalis,
dan tak lupa dua toko lemari dengan pintu sederhana yang terbuat dari kayu.
Toko terakhir lebih berfokus pada penjualan lemari. Berbagai penolakan nyaris
membuat kedua telinganya terbakar. Ya, kebanyakan pemilik toko berkata, ‘Saya
tidak membutuhkan seorang pekerja lulusan SMP!!!’ Tentu saja, itu membuat harga
dirinya sedikit terusik.
Ada pula
pemilik toko peralatan olahraga yang bertutur, ‘Tubuh cungkringmu tidak begitu
menjanjikan untuk toko saya. Maaf!’ Bahkan, ada juga yang menolak dengan kurang
ajar, ‘Anda pikir, dengan tampang menawan dan digilai banyak wanita bisa dengan
mudah diterima di toko saya ? Maaf, saya tidak membutuhkan tampang. Tapi
kualitas anda dalam bekerja. Dan satu lagi, ijasah!’ Kurang ajar dan terkesan
semena-mena ? Ya memang. Padahal, saat itu Laksa hanya bertanya, ‘Maaf, Mbba.
Apa disini masih ada lowongan pekerjaan ?’ Itu saja! Mungkin sang empu toko
merupakan perawan tua yang haus belaian brondong. Tapi tak juga kesampaian, ya
begitulah akhirnya. Setidaknya, itulah yang ada pada benak Laksa. Tentu saja
untuk menghibur dirinya sendiri.
Kini,
moodnya sudah tak sebagus pagi tadi. Laksa berniat untuk pulang dan bergegas
makan siang di rumah.
***
Malam
minggu adalah surga sempurna untuk para pemuda beserta pemudi Indonesia,
terutama bagi mereka yang sudah memiliki dambaan hati yang bisa diajak pergi
jalan-jalan, nonton di bioskop terkemuka, makan malam di resto-resto elit
ataupun warung pinggir jalan, para pemuda nan pemudi yang sedang asyik mendamba
satu sama lain pun, setidaknya bisa menikmati malam minggu mereka dengan
segeluit kemesraan, celotehan, candaan, pelukan satu sama lain sembari duduk di
jok motor yang terlebih dulu sudah di berhentikan di sisi jalan. Intinya,
saling memadu kasih, mendamba, beserta saling bercerita perlihal asmara.
Ya
begitulah nyatanya. Malam minggu adalah surga sempurna untuk mereka.
Lantas, apa
malam minggu khusus diperuntungkan untuk para pasangan yang saling mendamba ?
Para manusia yang sudah berpasangan. Tentu saja jawabannya, tidak. Bukan hanya
mereka —sepasang kekasih yang dengan leluasa menikmati keindahan, kenikmatan,
keistimewaan malam minggu. Para jomblo, singgel, janda, duda, sosok yang gagal
menyunting, wanita yang gagal dipersunting, siapapun itu, dengan bebas bisa
menikmati gemerlap malam minggu. Tentu saja bagi mereka yang ingin. Intinya,
malam minggu dapat dinikmati, diindahi oleh siapapun manusia di alam bumi ini.
Namun, ada sedikit keistimewaan bagi yang tengah merajut asmara. Apa sih
keistimewaan tersebut ? Pikir saja sendiri!
Berbeda
dengan Laksa. Tak seperti manusia lain yang sibuk merencanakan acara malam
minggu mereka dengan jalan-jalan ke pusat kota, pergi ke bioskop, makan malam
dan sejenisnya. Laksa malah tengah berniat bahkan menuju keputusan matangnya
untuk menerima tawaran dari sohibnya, Rijal yang dulu menghubunginya, sekaligus
menawarkan sepucuk pekerjaan menjijikan berlabel Gigolo. Namun sekarang,
pekerjaan yang Laksa sebut menjijikan itu tengah ia hayali. Laksa, terus saja
memikirkan keuntungan, kerugian, bahkan kepastian andai ia menyetujui tawaran
dari sohib lawasnya itu.
Berbagai
pemikiran seperti, jikalau sang Ibu tercinta tahu. Laksa yakin, kalau saja Bu
Enti tahu bahwa anaknya sedang menimbang-nimbang keputusan untuk beralih
profesi menjadi seorang Gigolo, tentu saja sang Ibu akan memamerkan sikap galak
dan piring terbangnya pada Laksa, yang bukan lain adalah anaknya sendiri.
“Bu. .
Laksa mau pergi sebentar. Boleh ya ?,” Tanya Laksa sembari memamerkan senyum
manisnya pada sang Ibu yang tengah membaca surat Yasin di ruang tamu. Tepatnya
duduk di sofa butut yang dulu Ayahnya beli.
Bu Enti
berhenti dari aktifitas endahnya, “Kamu itu ya. . tahu Ibunya lagi baca Yasin,
malah ngajak ngomong. .” Bu Enti menyidik sosok jangkung anaknya, dari jengkal
atas kepala sampai jengkal akhir kakinya. Lalu tersenyum simpul, “Ya, boleh.
Tapi ingat, jangat terlalu larut!”
Dengan
sedikit rasa bersalah yang masih tersisa di lubuk hati terdalamnya, Laksa
tersenyum kecut dan bergegas melangkah keluar. Membiarkan sang Ibu seorang diri
di rumah sederhana mereka.
***
“Tolong
lepaskan tangan saya, Pak. Saya sedang tidak fit. Tolong mengerti akan keadaan
saya. . malam ini saja!”
Dengan
semena-mena, dengan tanpa izin pula,
teriakan itu berhasil memalingkan perhatian Laksa yang sedari tadi
berfokus pada rumah malam tempat para
Gigolo memburu uang di seberang sana. Ada tulisan ‘Klub Malam Asoy’ yang
sengaja diletakkan di dua sudut genteng paling atas. Kini, mata tajamnya
menyidik pada satu titik, satu tempat dan tentu saja satu arah. Dimana terlihat
seorang wanita cantik berperawakan tinggi nan berkulit putih bersih tengah
beradu mulut dengan seorang pria paruh baya berjas hitam. Tepat dipinggir mobil
elit milik salah satu dari mereka.
Keningnya
semakin mengerut setelah menyadari sosok wanita yang sedari tadi mencuri
perhatiannya itu terlihat tengah menahan rasa sakit. “Jangan paksa saya untuk masuk
mobil Bapak. Saya mohon!” pinta wanita cantik itu sembari berusaha melepaskan
kedua tangan si paruh baya yang sedari tadi mencekik pergelangan tangannya.
“Kamu itu
sudah saya bayar. . jadi, jangan berlaga so’
jual mahal dan berakting memelas macam itu. Sekarang… cepat masuk mobil.”
Pangkas si pria paruh baya. Kini, kedua tangannya lebih leluasa menyeret wanita cantik itu untuk masuk kedalam mobil
kelas atasnya. Si wanita masih berusaha menolak dan melawan perlakuan kasar
dari si pria berjas hitam.
Beberapa
kali Laksa sempat mencuri pandang pada tulisan di klub malam di
depannya—tepatnya disebrangnya. Antara ingin bergegas menyebrang dan segera
masuk klub malam itu, dan juga niatnya untuk menolong si wanita cantik yang
berada sepuluh langkah dari tempatnya menapakkan kaki. Laksa diambang rasa
bimbang yang melangit. Laksa dan dua manusia yang menyedot perhatiannya itu
sama-sama berdiri dan menapak di tanah yang sama. Di sisi jalan yang sama.
Bahkan sejajar—tepatnya di sisi kiri
jalan.
Tekadnya
sudah bulat. Laksa berjalan menghampiri mereka, sang wanita cantik dan si pria
paruh baya. Ia tak memperdulikan resiko yang akan ia dapatkan jikalau beradu
mulut, bahkan beradu tinju dengan pria baruh baya yang menurut pandangnya sudah
berumur 40tahun keatas.
“Ini ada
apa ya, Pak ? ? Dia wanita lho… tolong
jangan bertindak kasar!” Cakap Laksa untuk pertama kali.
Si pria
paruh baya memang sudah tua, Laksa akui itu. Namun, ia sedikit tercengang saat
mengetahui fakta bahwa si pria di depannya itu memiliki tampang yang lumayan
untuk ukuran bapak-bapak bau tanah. Sepertinya si pria bau tanah pintar merawat
diri. “Jangan ikut campur. . Anda siapa hah ?!!?” Si pria paruh baya dengan
semena-mena mendorong tubuh jangkung Laksa. Kalau saja pertahanan tubuh Laksa
lemah, mungkin saja saat si pria paruh baya mendorongnya, tubuh kurusnya sudah
terseret laju angkot yang kebetulan mengebut.
“MASUK
SEKARANG!!!” Bentak si pria bau tanah sembari membuka pintu mobil. Lalu
mendorong si wanita yang terlihat masih menahan rasa sakit di perutnya. Laksa
menatap cemas si wanita. Nyaris tak berkedip.
Dengan
amarah yang mulai memuncak, Laksa menarik kerah baju si pria bau tanah. Dan
berhasil, ia terjengkal. Untung saja tidak ada angkot yang sedang melaju. Jadi
tubuh si pria bau tanah masih dalam keadaan aman. “ANDA JANGAN KASAR. . . DIA
WANITA…, BUKAN PRIA YANG PANTAS ANDA DORONG DAN TINJU SEENAK JIDAT!!!!” Bentak
Laksa. Ubun-ubunnya mulai mendidih. Laksa sungguh tak tega melihat seorang
wanita yang sedang menahan kesakitan dan diperlakukan kasar nan’ membabi-buta oleh pria biadab di
depannya.
Si pria
paruh baya terlihat kik’kuk. Tanpa menunggu lama, Laksa membuka pintu mobil
milik si pria bau tanah dan bergegas menarik pergelangan tangan si wanita yang
sempat ia khawatirkan keadaannya. Refleks, tubuh si wanita bergerak mengikuti
tarikan Laksa. Setelah itu, Laksa menatap tajam si pria paruh baya yang tak ia
ketahui namanya itu. Lalu, melangkah cepat, sembari tangan kanannya masih
menggenggam tangan kiri si wanita.
Sosok si
wania sungguh menarik perhatiannya. Perhatian indera pendengar serta indera
penglihatannya. Bahkan, Laksa tak sempat menatap setengah detikpun pada klub
malam yang bukan lain merupakan tujuan utamanya keluyuran di malam minggu.
Merasa sudah cukup jauh dari mobil si pria bau tanah, Laksa menghentikan
langkah kakinya. Ia menatap sosok wanita yang ada di belakangnya. “Baik-baik
saja ?.” Tanya Laksa dengan tampang simpati.
Si wanita
berdehem sembari tersenyum. Senyum singkat dan tak sampai memamerkan deretan
giginya, namun setidaknya, itu membuat Laksa sedikit lega. “Kamu baik-baik saja
?.” Ulang Laksa.
“Aku
baik-baik saja. Sungguh!”
Suara itu.
Suara yang dihasilkan oleh pita suara si wanita nyaris membuat Laksa tertegun
beberapa detik. Laksa sangat menyukai cara si wanita mengucap, berbicara, dan
menjawab pertanyaannya. Ba’ tersihir, Laksa tak berani buka mulut. Matanya
masih menatap sosok wanita yang ia tolong. Tangannya masih menggenggam
pergelangan tangan si wanita yang putih mulus tanpa noda. Tanpa celah luka.
Walau keadaan cukup gelap karena sudah larut, namun ia meyakini bahwa si wanita
memang memiliki kulit putih nan bersih. Ia menyidik sosok wanita di depannya,
dari jengkal kepala sampai jengkal kaki. Laksa menyadari, si wanita benar-benar
tampak cantik nan’ menawan. Jaket kulit warna cokelat yang disleting sampai
wilayah leher, celana jeans hitam, sepatu berhak tinggi, rambut panjang nan’
lurus yang dibiarkan terurai begitu saja, membuat si wanita tampak cantik dan
menawan meskipun pakaian yang ia pakai cukup sederhana. Juga, Laksa terpukau
akan cara si wanita tersenyum. Sangat manis!
Mereka
saling menatap satu sama lain. Tatapan yang berbeda arah dan rasa. Laksa, ia
menyidik sosok wanita di depannya karena ia merasa begitu khawatir pada keadaan
si wanita. Selain itu, ia juga mulai merasa terbius akan sosok di depannya. Hatinya
seakan luluh lantah dan lantas ingin mengucap, ‘Kamu adalah wanita tercantik sekaligus termanis yang pernah aku temui
di sejarah hidupku. Sungguh!’ Namun sayang, gengsinya melangit.
Beda dengan
Laksa. Si wanita malah terkejut sekaligus terpukau atas tindakan yang telah si
pria lakukan tadi. Membelanya, mengkhawatirkan keadaannya, menggenggam
tangannya, menarik tangannya, melangkah seirama dengannya, bertanya akan
keadannya, hey, semua itu berhasil membuat si wanita terpukau akan sosok pria
yang tak ia ketahui namanya itu. Ya, ia hanya terpukau atas tindakan spontan
yang si pria lakukan padanya. Sekali lagi, ia hanya terpukau!
“Ehhhem…”
Si wanita berdehem sembari menatap sekeliling. Laju motor dan mobil sempat tak
ia perdulikan. Ia terlalu berfokus pada pria berkulit hitam manis di depannya.
Hidungnya membaui aroma keringat si pria. ‘Apa berlari beberapa detik,
membuatnya lelah ?.’ Batin si wanita.
Si wanita
terlihat berfikir sembari menggigit pelan bibir bawahnya. “Jadi….?”
“Eh ?.”
Hanya dua hurup yang keluar dari mulut Laksa.
“Bisa
tolong….” Si wanita menunduk. Setelah itu, matanya perlahan menyidik
pergelangan tangannya yang masih menyatu dengan tangan si pria. Tak bergerak
sama sekali.
Refleks,
Laksapun mengikuti si wanita. Ia melirik tangannya yang masih asyik berkelana
di pergelangan tangan si wanita. “Eh.. eh.. eh.. maaf. Saya..,” Laksa bergegas
menjauhkan sekaligus melepaskan genggaman hangatnya. Laksa mulai merona.
Sementara si wanita, ia malah menunduk menatap sepatu berhak delapan
sentimeternya.
“Apa aku
boleh mengetahui namamu ?.” Tanya Laksa sembari mengulurkan tangan kanannya.
Si wanita
menatap Laksa sejenak, ia mulai membuka mulut sembari siap menjangkau tangan si
pria yang tak ia dikenal, “Nad–“
“Harus nama
lengkap!” Potong Laksa dan berhasil membuat pipi si wanita merona. Lagi!
“Namaku..”
“KRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTSSSSSS…”
Suara itu berhasil memotong kalimat yang hendak keluar dari mulut si wanita.
Sepertinya, si wanita dalam keadaan lapar alias membutuhkan asupan makanan.
Laksa
tersenyum geli, “Itu suara dari perutmu ‘kan
? Kamu lapar ?.” Senyumnya semakin lebar saat mendapati wanita di depannya
malah menggigit bibir bawahnya.
“Suara
menjijikan tadi bukan berasal dari dalam perutku. Satu lagi, aku sama sekali
tidak merasa lapar..”
“Yakin ?,”
“Sangat
yakin!” Pekik si wanita.
“Kamu yakin
?,” Tanya Laksa lagi. Ia sengaja menggoda sosok wanita di depannya. Sebelumnya,
Laksa tak pernah bertingkah semenyebalkan dan seberani itu pada seorang yang
tak ia kenal. Namun, wanita di depannya benar-benar membuat batinnya
bergejolak.
“Sangat
yakin. Bisakah kita hentikan obrolan menjengkelkan ini ?,” Tanya si wanita.
Dari nada bicaranya, ia terdengar sedikit kesal.
“Kamu yakin
?,“ Sepertinya organ kewarasan Laksa benar-benar sudah rusak. Ia berani
bertanya sembari mencondongkan wajahnya kearah wajah si wanita. Hembusan
nafanya mungkin menyatu dengan kulit wajah si wanita.
“Yak–“
“KRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRTTTSSSSSS…”
Laksa dan si wanita saling menatap bebarengan. Tepat saat suara mengganggu tadi
terdengar. Dan kemudian…
Ha Ha Ha Ha
Ha
Mereka tertawa
bebarengan. Tawa yang lepas seolah mereka adalah sohib lawas yang baru bertemu
setelah sekian lama.
Diam-diam,
Laksa menatap wajah si wanita. Ia menyukai cara si wanita tak dikenal
tersenyum. Hatinya bergemuruh!
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar