Kamis, 17 Maret 2016

KALUNG TAKDIR Part 1



“Sudah  aku  bilang,  aku  benar-benar  tak  membutuhkan  bantuan  dari  Ibu.  Aku  bisa  mencari  pekerjaan  yang  halal  dengan  tangan,  kaki  dan  usahaku  sendiri.  Jadi  tolong,  jangan  carikan pekerjaan untukku. Apa Ibu mengerti dengan apa yang aku katakan ?!!” Bentak pemuda berusia 23 tahun itu sembari menatap dengan tak tentu sosok Ibu yang sedang memasak nasi goreng untuknya. Ia sungguh tak tega bercakap sekeras itu pada sang Ibu, namun  ia tak punya pilihan lain.

“Ibu hanya..”

“Aku mohon, Bu. Jangan ikut campur akan urusanku. Laksa sudah gede, bukan anak bocah!” Cakapnya lagi.

Perempuan paruh baya bernama Enti itu terlihat terkejut. Sebelumnya, Laksa tak pernah berbicara sekeras itu padanya. Tapi tadi ? Perkataan yang langsung keluar dari mulut sang anak sungguh membuatnya nyaris jantungan. “Ibu tahu kalau kamu sudah remaja. Sudah bisa memilih apapun sesuai keinginan kamu. Ibu juga tahu kalau kamu itu bukan bocah yang perlu Ibu tuntun. Tapi, Ibu hanya ingin membantumu. Sungguh!” Pekik Bu Enti sembari mematikan kompor gas pemberian Pak RT.

“Krrrrek..” Api mulai tak terlihat.

Bu Enti menghentikan aktifitas masaknya. Ia berjalan menuju tempat anaknya berdiri. Di pangkal pintu dapur. “Kalau Ibu sudah mempatahkan harga dirimu sebagai seorang lelaki, Ibu minta maaf.”

Laksa tak menjawab. Pemuda berambut hitam nan lebat itu tertunduk, “Aku..”

“Laksa ?.” Panggil Bu Enti sembari mendekat.

“Sudahlah. Aku ingin mandi.” Pekik Laksa sembari bergegas meninggalkan Ibunya yang sekarang sedang menahan tetesan air di mata indahnya. Ia merana!


***


“Maafkan Laksa, Bu!” Laksa bercakap pada dirinya sendiri. Sembari terlentang diatas ranjang yang mulai tua, bola matanya menatap satu photo yang tertera di dinding . Dalam photo, jelas terlihat sosoknya, Almarhum Ayahnya yang sudah lama meninggal dan Bu Enti yang kala itu memakai kerudung berwarna putih bersih. Mereka terlihat tersenyum dengan lepas.

Laksa ingat. Kala itu, ia berumur 9 tahun. Laksa memakai kemeja berwarna biru tua dan celana panjang warna hitam pekat. Ia berpose sembari tersenyum dengan manisnya. Sebenarnya, ia sedikit malu untuk berpose di depan kamera. Namun karena paksaan sang Ayah agar memiliki satu buah photo keluarga, Laksa kecilpun akhirnya mengiyakan permintaan Almarhum Ayahnya itu. Keluarga kecil itu berpose di depan pintu rumah. Dekat halaman.

Menyedihkan memang. Dua hari setelah mereka berpose di depan kamera dan menghasilkan satu buah photo, pria paruh baya bernama Latif itu meninggal karena penyakit tipes yang ia derita. Tak terbendung, tetesan air mata terus membanjiri pipi Laksa dan juga Ibunya. Kala itu ia memang masih bocah, namun bukan berarti pikirannya buram akan keadaan. Ia tahu, sang Ayah  begitu mencintai Laksa kecil dan juga Bu Enti. Sehari-hari, saat Laksa baru pulang dari  sekolah, Pak Latif selalu mengajaknya untuk memancing.

Kala itu, sosok Laksa masih bocah SD yang pikirannya memang sesuai usianya. Selama Ayahnya sibuk memancing, Laksa kecil malah sibuk berlari kesana-kemari untuk menangkap jangkrik. Sangat lucu, ketika Laksa kecil mulai merasa lelah, ia langsung bergegas menghampiri sang Ayah yang sedang menunggu pancingannya diserbu ikan sembari berkata, “Ayah, aku ngantuk.” Pak Latif hanya tersenyum sembari mengusap rambut anaknya. Laksa kecil akhirnya tertidur pulas di pangkuan sang Ayah. Dirasa mulai pegal, Pak Latifpun menidurkan anak kesayangannya itu di saung butut yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya memancing.

Tak terkontrol, saat ini air mata lepas kendali. Laksa tak dapat menahan air matanya agar tetap bersarang di mata indahnya. Laksa tak bisa berbohong, ia memang merindukan sosok Ayah. Kalau saja sang Ayah masih bernafas di alam dunia ini, mungkin kehidupan Laksa dan sang Ibu tak akan semenyedihkan ini. Setidaknya, itulah menurut cara pandang Laksa.

Sejak Ayahnya meninggal dunia, Bu Enti harus rela banting tulang untuk setidaknya mencukupi kebutuhannya dan juga Laksa kecil. Ia rela berburu pekerjaan. Jadi tukang pulsa, pembantu rumah tangga, pedagang, penjaga toko dan masih banyak lagi segeluit pekerjaan yang pernah Bu Enti lakoni. Karena sosoknya sudah berumur, iapun memutuskan untuk menjadi seorang pekerja sawah. Setiap hari, pasti ada saja orang yang menyuruhnya untuk bekerja di sawah. Walaupun bayarannya tak terlalu memuaskan, tapi setidaknya ia bisa membeli beberapa makanan untuk sang anak tercinta.

Touch My Body.. Body..

Touch My Body.. Body..

Hapenya berbunyi. Dengan segap Laksa merogoh saku celananya. Ia menatap layar hape. Disana tertera nama seseorang, Rijal. “Halo, Jal ? Ada apa ?.” Sahutnya. Laksa masih dalam keadaan terlentang diatas kasur empuknya.

”Laksa ? Apa kabar ? Aku dengar, saat ini kamu sedang membutuhkan pekerjaan. Iyakah ?” Suara Rijal terdengar cukup keras di corong hape kuno Laksa.

“Iya, aku memang butuh pekerjaan.” Sahutnya. Sebenarnya ada sedikit rasa malu dalam dirinya saat mengungkit soal pekerjaan.

“Kamu lulusan apa ? Sekolah nyampe SMA ? Kuliah ? Udah sarjana ’kah ?.” Pertanyaan beruntun dari Rijal berhasil membuat Laksa terpaksa menelan air liurnya.

“Cukup memalukan. Aku hanya lulusan SMP. Apa kamu bisa mencarikan pekerjaan untukku ?.” Cakapnya lagi. Laksa mulai gelisah.

“Aku cukup mengerti. Ngomong-ngomong, APAPUN ?,” Entah sengaja atau tidak, Rijal memberi penekanan pada kata, Apapun.

“Iya. Pekerjaan apapun akan aku lakoni. Aku kasihan pada Ibu.” Laksa mulai bangun dari posisi tidurnya. Ia berjalan menuju pintu kamar. Dan sekarang, ia berdiri sembari menyenderkan tubuhnya pada pintu. Ia mengingat sosok Ibu yang setiap harinya bekerja di sawah dengan sengatan matahari yang terkadang membuat kepala Bu Enti seakan pecah.

“Aku harap, kamu tidak mengalami serangan jantung mendadak..” Rijal mulai bungkam. “Bagaimana dengan Gigolo ? Apa kamu sanggup menjadi seorang Gigolo ? Bayarannya cukup menggiurkan lho.” Tuntas Rijal.

“Hah ? Apa kamu gila, Jal ? Aku hanya ingin bekerja dalam jalur halal.  Aku tak ada niatan bekerja di dalam dunia sesat seperti itu!!!” Pekik Laksa. Ia mulai panas saat temannya yang bernama Rijal itu bercakap bahwa ia memiliki satu pekerjaan yang bagus untuk Laksa. Ya, pekerjaan bagus tersebut adalah menjadi seorang gigolo. Cih, ia pikir menjadi seorang gigolo adalah pekerjaan yang bagus ?

“Jangan berlaga so alim. Kamu lagi butuh duit ‘kan ?.”

“Sudahlah. Sampai kapanpun, aku nggak bakal berinisiatif untuk menerima tawaran menjijikan darimu. Paham ?.” Tegasnya.

“Kamu tahu ?.”

“Hem ?.” Gumam Laksa singkat.

“Kamu akan menyesal. Waktu yang akan menjawab!.” Pangkas Rijal. Dari suaranya, ia terdengar seperti seorang preman yang sedang mengancam seorang bocah 16 tahun.

“Aku takkan menyesal. Aku juga masih waras!” Ubun-ubunnya mulai mendidih. Laksa dengan segera mematikan panggilan dari kawan lawasnya itu.

Tutt.. Tuttt.. Tuuut!


***


Hari mulai gelap. Awan cerah seakan punah dari peredaran dan berganti menjadi malam yang gelap. Tasikmalaya memang cukup luas, bermacam aktifitas dilakoni para warga setempat maupun pendatang dengan suka cita. Walaupun hari mulai menanjak menuju gelap, warga masih sibuk dengan beribu aktifitas —seperti mengaji, berjualan, berbelanja di pusat-pusat perbelanjaaan terbesar di Tasikmalaya, berkendara, ada juga yang masih sibuk dengan pekerjaan kantor mereka, dan masih banyak lagi.

Di satu sudut kota, terlihat sosok wanita berperawakan tinggi, putih, rambut panjang nan coklat ke-hitam-hitam-an, serta memakai baju lengan pendek dan celana jeans panjang sedang menahan tangis. Memang tak ada air mata di pipi tirusnya itu. Namun ekspresi, mimik muka dan cara ia memandang sekeliling sungguh menggambarkan suatu luka mendalam. “Sampai kapan aku harus menjadi sosok tak waras seperti ini ?” Cakapnya sembari menahan tangis.

Wanita bernama lengkap Nada Syahran itu terus berusaha menahan gejolak luka yang ia rasakan. Nada terus saja memegangi dadanya dengan penuh kesakitan. Bukan fisik, namun jiwanyalah yang terluka. Luka dalam lebih sakit dibandingkan dengan luka yang bersifat dapat dilihat orang lain!

“Maaf mbba. Bisakah mbba tinggalkan konter saya ? Nanti takutnya banyak orang yang berfikir tidak-tidak akan saya. Tolong!” Pekik seorang penjaga konter hape sembari memasang ekspresi yang menyebalkan.

Nada yang sedari tadi berdiri di depan konter hape tersebut berusaha untuk membalikan badan. “Jadi, Bapak meminta saya agar pergi dan berjalan dalam guyuran hujan ?”

“Maksud saya..”

Nada berjalan 2 langkah. Sepatu berhak 8 sentimeter itu berhasil membuatnya terlihat seksi. “Kenapa saya harus pergi ? Saya juga salah satu pembeli di konter Bapak. Bahkan, beberapa detik yang lalu saya baru membeli kartu dari Bapak. Tolong Pak, saya hanya numpang berteduh. Bapak juga tidak perlu khawatir..” Ia tak melanjutkan ucapannya.

“Gleek..” Nada menelan air liurnya. Suaranya jelas terdengar, “Sebentar lagi ada orang yang akan menjemput saya.” Pekiknya sembari berbalik.

Pemilik konter bernama Aceng itu tak bersuara. Ya, ia bungkam.

Nada kembali memandang lurus kedepan. Menatap gemericik air hujan yang turun sejak satu jam yang lalu. Jujur saja, saat berkata bahwa sebentar lagi akan ada yang menjemputnya, Nada cukup malu. Ia malu, karena sosok yang akan menjemputnya adalah seseorang yang sudah beristri.

Terkadang, Nada ingin sekali keluar dari pekerjaan mengerikan yang setiap hari ia lakoni. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah terlalu jauh melangkah. Sangat sulit untuk kembali menjadi sosok manusia yang lebih indah. Nada lebih memilih mengalah dan angkat tangan akan nasibnya yang merupakan seorang wanita malam —lebih tepatnya pendamping pria hidung belang yang berkedok haus kasih sayang. Nada memang tak memiliki pilihan ataupun jaminan lain selain menjadi seorang wanita malam.

Dan sekarang, umurnya sudah menginjak 21 tahun. Belum terlalu matang memang, namun kehidupan kejam serta penuh deritalah yang membuatnya menjadi sosok wanita matang yang memiliki sifat dewasa. Baik dalam berfikir, maupun berperilaku. Namun dalam hal pekerjaan yang sudah satu tahun ia geluti, sifat dewasa dari segi pemikiran maupun perilaku sungguh tak pantas ia terapkan. Setidaknya, itulah menurut cara pikirnya. Dan setiap hari, Nada selalu menunggu saat-saat dimana seseorang akan merenggutnya dari sosok Tante Meta. Seseorang yang memiliki klub malam di Tasikmalaya. Bu Meta pula yang dulu menawarkan pekerjaan menjijikan tersebut pada Nada.

Nada ingat, saat itu ia sedang di bangku SMA. Kedua orang tua angkatnya meninggal dunia karena sebuah kecelakaan di jalan raya. Nada bingung, pada siapa ia harus berpangku tangan. Sebab, kerabat orang tua angkatnya tidak terlalu suka pada Nada. Setiap kali Nada datang ke rumah mereka, tante Dewi selalu menyebutnya anak hasil pungutan. Tentu saja itu membuat harga dirinya terluka. Nadapun tak berani bahkan tak mau datang ke rumah kerabat orang tua angkatnya tersebut. Selain itu, Nada juga memutuskan untuk keluar dari sekolah. Padahal tinggal beberapa bulan lagi, ia akan mendapatkan sebuah ijasah. Namun harus bagaimana lagi ? Takdir berkata lain!

Saat itupun tiba. Pada malam hari, Nada sedang termenung di sudut jalan raya yang cukup sepi. Tante Meta yang merasa menemukan sosok yang menjual, dengan segap langsung menawarkan pekerjaan kotor tersebut pada Nada.

‘Neng, kamu kenapa ? Kok kelihatan sedih begitu ?’ Itulah kalimat yang keluar dari mulut tante Meta. Wajah cantiknya jelas terpangpang dibalik kaca mobil hitamnya. Sadar bahwa mangsanya tak merespon, tante Metapun turun dari mobil dan langsung melancarkan aksinya. Pertama-tama, ia mengguyur Nada dengan berbagai pujian. Seperti kamu cantik, kamu seksi, muka kamu berkarakter dan masih banyak lagi. Sadar bahwa mangsanya mulai merespon —terlihat dari cara Nada menatapnya. Ia langsung ke inti persoalan.

‘Kamu mau nggak bekerja di klub malam milik tante ? Nanti kamu akan dibayar dengan jumlah yang lumayan. Tertarik ?’ Kalimat itu keluar langsung dari mulut tante Meta.

Setelah tante Meta menjelaskan jenis pekerjaan apa yang akan mangsanya lakoni. Nada mulai sadar  bahwa ia akan dijadikan budak dunia malam. Nada langsung menolak tawaran dari tante Meta. Dengan muka sinis, tante Meta bertutur, ‘Kamu akan menyesal karena telah menolak tawaran dari tante. Lihat saja beberapa bulan kedepan, satu tahun, atau bahkan dua tahun kemudian, kamu akan mencari tante. Tante yakin! Oleh karena itu, tante akan memberikanmu alamat klub tante. Ini!’ Cakap tante Meta sembari menyerahkan kertas berisikan alamat klub miliknya.

Mengingat masa itu, wanita bernama lengkap Nada Syahran itu dengan cepat merogoh saku celananya untuk mengambil tisu. Setelah itu, ia langsung mengelap tetesan air mata di pipi tirusnya.

“Apakah ada manusia yang sanggup mengeluarkanku dari dunia menjijikan ini ?”


-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar