Selasa, 19 April 2016

Cita-Cita Sang Sahaja







“Apa cita-cita kalian ?.” Bu Juju, Guru Bahasa Indonesia bertanya sembari  tangannya masih memegang spidol yang ujungnya menempel di permukaan whiteboard, di sana tertulis cita-cita, dengan semua hurup kafital. Entah mengapa, ia tiba-tiba menanyakan tentang masa depan anak didiknya. Bukannya aku tak senang, hanya saja, benar-benar bukan sosok Bu Juju seperti biasanya. Semua murid juga tahu, ia adalah sosok Guru yang tegas dan jarang sekali membicarakan persoalan di luar mata pelajaran.

Semua siswa-siswi saling melirik satu sama lain, begitupun aku yang duduk di bangku paling belakang, di pojok sebelah kanan. Aku melirik kawan semejaku, Dasta. “Eh, Das, kok tiba-tiba Bu Juju nanyain cita-cita kita yah ? Aneh sekali.” Aku bertanya pada Dasta yang tengah sibuk dengan buku catatannya. Ia sedang mencatat.

Dasta menghentikan agenda mencatatnya, lalu melirikku sejenak. “Entahlah, Zul.” Jawabnya pendek. Ia lanjut mencatat.

Aku mendesah mendengar jawaban singkat darinya. Tak banyak omong, jujur, dan cuek, begitulah sosok Dasta Alkata, kawan yang sejak pertama kali diriku menginjakkan kaki di tanah sekolah ini, aku sudah satu meja dengannya. Bahkan, ia adalah satu-satunya anak yang beradu cakap denganku ketika hari-hari menyebalkan, MOS.

“Dasta, kamu nulis apa ?,” tanpa kuduga, sosok yang sedang aku bicarakan tiba-tiba ditanya oleh Bu Juju.

Aku menyiku perutnya. “Bu Juju bertanya padamu, Das!” ucapku pelan.

Dasta melirikku sejenak, kemudian menatap sosok Bu Juju yang beberapa detik tadi bertanya padanya. Kudengar, ia bergumam, lalu, “Minggu kemarin saya tidak hadir, Bu. Saya sedang nyalin!” jawabnya, diakhiri dengan senyuman kik-kuk.

Bu Juju mangut-mangut, lalu berjalan menuju mejanya. Kini, ia berdiri di samping meja sembari tangan kanannya bertumpu pada sisi meja. “Nanti saja nyalinnya. Sekarang, Ibu mau tanya. Apa cita-citamu, Dasta Alkata ?” tanya Bu Juju lagi. Kini, semua mata tertuju pada siswa di sebelahku.

Kufokuskan mataku pada Dasta. Ia siap menjawab. “Aku ingin menjadi seorang Doktor, Bu.” Dasta menjawab dengan yakin.

Lagi, Bu Juju mangut-magut, lalu elok matanya melirikku. Membuatku merasa bak di introgasi olehnya. “Lalu, bagaimana dengamu, Zul ? Apa cita-citamu ?” Bu Juju bertanya padaku.

Sekarang, otakku berkelana ke sana-ke mari. Memikirkan apa saja hal yang ingin aku capai. Tentang tujuan hidup, keinginan, ambisi, dan cita-cita. Semua itu masih kosong. Dulu, ketika diriku duduk di bangku SD, aku pernah berujar pada Bu Guru bahwa aku ingin menjadi seorang polisi. Ia bertanya, apa alasanku. Lalu, dengan yakin nan’ matang, aku menjawab, “Karena ingin melindungi Ibu dan Ayah.” Jawabanku itu berhasil membuatnya tersenyum manis padaku. Seolah, diriku adalah murid terbaiknya.

Dan sekarang, pertanyaan itu muncul lagi. Kembali terdengar setelah sekian lama tak pernah seorangpun bertanya sedemikian serius. Ya, aku rasa, cita-cita adalah sesuatu yang bersifat serius. Dulu, aku ditanya oleh Guru Matematika, dan kini, pertanyaan tersebut keluar dari mulut Guru Bahasa Indonesia.

Aku menghela nafas, dan siap menjawab. “Aku ingin menjadi manusia hebat!” jawabku seyakin-yakinnya. Mataku masih menatap sosok Bu Juju.

Ia tersenyum, “Itu sama saja kamu tidak menjawab. Coba jawab secara jelas. Apa cita-citamu, Zul ?” Bu Juju menatapku begitu serius. “Semua orang juga ingin menjadi manusia hebat. Tapi, manusia hebat macam apa ? Cita-cita macam apa yang kamu obsesikan ?” lanjutnya.

Kini, mataku menyapu seluruh penjuru kelas. Kutemukan tatapan penasaran dari semua pasang mata teman sekelasku. Mereka menunggu jawabanku, siswa kelas sepuluh yang mendapatkan rangking satu pada semester satu. “Sampai sekarang, aku masih tidak tahu, Bu..” jawabku lagi.

Kini, giliran Dasta yang menyenggol perutku dengan sikunya. “Ada apa dengamu, Zul ?” bisiknya.

Aku mendesah pelan dan kembali menatap Bu Juju. Ia siap membuka mulutnya. “Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu yang memang seharusnya seorang Guru katakan pada anak didiknya. Bahwa, cita-cita  adalah sesuatu yang benar-benar ingin kalian gapai. Cita-cita merupakan penentu masa depan kalian. Di beberapa kasus, cita-cita juga merupakan sebuah kebutuhan. So, tentukan cita-citamu dan gapai sekuat anganmu.” Bu Juju menasehati semua murid. Ia berjalan lebih ke tengah. “Dulu, saya juga pernah berfikir macam kamu, Zul..” Eh ? Bu Juju memanggilku ? Lalu, “Saya sempat bingung dan bimbang perihal obsesi dan cita-cita saya. Sampai ketika, saya merasa bahagia dan begitu berguna saat membantu adik kelas saya membuat sebuah pidato. Rasanya benar-benar menyenangkan. Sejak saat itu, saya berangan-angan, jikalau suatu hari nanti, saya bisa menjadi seorang Guru. Kini, angan-angan itu berubah menjadi sebuah cita-cita yang sudah Ibu gapai dan dapatkan.” Lanjutnya. Lalu, ia melirikku. “So ? Tentukan cita-citamu dari sekarang..” Bu Juju mengakhiri sesi ceramahnya, sembari melempar senyuman manis ke penjuru kelas. Semua murid tersenyum puas mendengar kalimat-kalimat pencerahan dari Bu Juju. Termasuk diriku.

TING TONG..!!
TING TONG..!!

Bel berbunyi, menandakan berakhirnya segala sesi pelajaran. Sembari memasukan buku catatan, pulpen, dan alat tulis lainnya, kewarasanku terus aja memikirkan kalimat yang Bu Juju tuturkan. Nasehatnya begitu mengena di hatiku.

‘Cita-cita ? Entahlah..’


***


Aku keluar dari kamarku. Berjalan menuju dapur, untuk menemui Ibu. Percaya atau tidak, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Bu Juju ketika menit-menit penghabisan pembelajaran, benar-benar sukses membuatku penasaran sekaligus antusias. Aku sendiri tak tahu, mengapa diriku begitu antusias. Hanya ulu hatiku-lah yang tahu segalanya. ‘Semua orang juga ingin menjadi manusia hebat. Tapi, manusia hebat macam apa ? Cita-cita macam apa yang kamu obsesikan ?’ kalimat itu terus-menerus tumpang tindih di otakku.

Aku sampai di dapur, tepat saat Ibu hendak melangkah keluar dari pintu dapur. “Ada apa, Zul ? Kamu mau makan ?” Ibu bertanya padaku.

Kami saling berhadapan di ambang pintu. Aku menggeleng. “Aku tak lapar, Bu. Aku hanya ingin bertanya pada Ibu..” jelasku sembari tersenyum.

Tiba-tiba, Ibu mengelus pelan rambut hitamku yang hampir masuk ke sela-sela telinga. Kurasa, aku harus segera bercukur. “Tanya apa, Zul ?” tuturnya, lalu ia menggiringku menuju ruang tamu yang beberapa detik tadi diriku lewati. “Ngobrolnya di ruang tamu aja, yuk!” ajak Ibu, aku hanya mengangguk.

Kami duduk bersampingan, di kursi panjang di ruang tamu. “Kamu mau tanya apa sama Ibumu ini, Zul ? Tentang sekolahmu ?” Ibu lekat menatapku. Aku bisa melihat kilat-kilat di mata bulatnya.

Lagi, aku menggeleng. “Apa Ibu punya cita-cita ? Apa cita-cita Ibu semasa SMA ?” tanyaku, dan berhasil membuatnya sedikit terheran-heran.

Keningnya mengerut. “Lho ? Memang kenapa, Zul ?” tanyanya lagi.

“Tak apa. Zul hanya bertanya..”

Ibu mengelus pelan rambutku, seperti yang dilakukannya saat kami saling berhadapan di ambang pintu dapur tadi. “Jujur ya, Zul. Ketika masa-masa SMA, Ibu sendiri masih bingung tentang cita-cita Ibu..” jelasnya, benar-benar jawaban yang sama denganku ketika ditanya oleh Bu Juju. “Sampai saatnya, Ibu mulai berfikir, betapa hebatnya jikalau Ibu menjadi seorang pekerja kantoran. Memikirkannya saja sungguh membuat Ibu senang. Tapi..”

Keningku mengerut. Aku menunggu kalimatnya yang masih menggantung. “Tapi ?,”

Ibu memainkan jari telunjuknya di rambutku. “Tapi, sejak bertemu dengan Ayahmu, lalu resmi pacaran,  dan disambung menikah. Ibu hanya memiliki satu cita-cita dan obsesi.”

“Apa ?,” Aku semakin penasaran.

“Menjadi seorang istri sekaligus ibu yang baik untuk Ayah dan dirimu, Zul..” jawabannya semakin membuatku bingung.

“Apa itu termasuk cita-cita ya, Bu ?” Aku bertanya.

“Ibu rasa iya. Di beberapa kasus, bisa membuat seseorang yang kita cintai bahagia dan selalu tersenyum manis setiap harinya, pantas disebut cita-cita dan obsesi. Bagaimana dengamu, Zul ?” Ibu bertanya padaku seperti halnya Bu Juju.

“Aku ? Entahlah, Bu, Zul sendiri masih bingung..”

Ibu tersenyum. “Jadilah manusia hebat nan’ sukses, lalu bahagiakan orang-orang di sekitarmu, termasuk kekasih hatimu, Zul.” Jelasnya, menimbulkan rona di pipiku.

Ibu terkekeh. “Sudahkah memiliki kekasih hati ?.” Ya ampun, ada apa dengan Ibuku siang ini ? Mengapa ia begitu bersemangat menanyakanku perihal kekasih.

“Aku mau tidur siang…” kubergegas berjalan menuju kamarku. Samar-samar, kudengar Ibu terkikik sendiri.

Rasanya begitu aneh dan hambar ketika membicarakan tentang kekasih. Mungkin, karena diriku yang masih kosong tak berpenghuni.


***


- 2013-

Aku sakit. Seminggu lamanya aku berdiam diri di rumah. Membosankan memang. Tapi, harus bagaimana lagi ? Aku terserang tipes. Kata doktor, aku kurang istirahat, terlalu sering melahap makanan yang pedas, dan juga jarang olahraga. Dua diantaranya memang benar. Namun untuk terlalu seringnya diriku melahap makanan pedas, itu benar-benar dusta. Ibuku sendiri tahu kalau anaknya ini jarang sekali memakan makanan pedas. Tapi, doktor juga manusia, bukan ? Mungkin, ia hilaf.

Aku sempat berbicara pada kedua orang tuaku supaya mengizinkanku masuk sekolah. Tapi, mereka mewanti-wanti agar aku menurut untuk tidak masuk sekolah dulu. Dan aku menurut akan perkataan mereka. Lagi pula, tak ada salahnya juga berdiam diri di kamar selama seminggu. Itung-itung, meng-istirahatkan otakku dari tetek bengek sekolah. Selama seminggu, aku menghabiskan hari-hariku dengan tidur manis di kasur empukku, makan obat tiga kali sehari, meminum jamu cacing, dan memandangi awan biru dari balik jendela kamar.

Dan beruntungnya, hari ini aku bisa masuk sekolah kembali. Sebab, sakit tipes yang selama ini aku derita telah enyah dari tubuhku. Cukup menggembirakan, karena seminggu lamanya aku tidak bertatap muka dengan kawanku, Dasta. Aku yakin, selama diriku sakit, ia tak bisa leluasa mencontek ria. Karena selama ini, kami memang selalu bertukar ‘contekan’ —tepatnya bertukar ilmu. Berbicara tentang Dasta, beberapa hari yang lalu ia mengirim pesan padaku, katanya,  seminggu yang lalu, tepat saat diriku izin untuk tak masuk sekolah, ada siswi baru di kelas sebelas A.

“Zul, kelas kita kedatangan siswi baru. Aku tak begitu ingat namanya. Yang jelas dia cantik, manis, dan baik hati. Meja kita bersebelahan dengan mejanya. Berdekatan dengan tempat dudukku.” Begitulah kalimatnya. Aku sempat terheran-heran, pasalnya, Dasta merupakan tipe cowok yang tak begitu memperdulikan wanita dan asmara. Katanya, ia ingin fokus dulu pada sekolahnya. Mungkin saja, kecantikan si siswi baru itu membuat komitmen yang selama ini ia junjung tinggi secara perlahan, memudar. Entahlah, aku jadi penasaran. Secantik dan semanis apakah siswi baru itu ? Apa kecantikan dan kemanisannya bisa mengalahkan tampang-tampang girlband korea ? Mari kita lihat nanti.


***


Dasta melambaikan tangan kanannya ketika kakiku melangkah masuk ke kelas sebelas A, kelasku. Aku tersenyum padanya. Cukup rindu juga tak bertemu dengannya selama seminggu ini. Bedebahnya adalah, ia sama sekali tidak berkunjung —tepatnya menjenguk diriku. Sesibuk apa sih ia, sampai-sampai tak berniat menjenguk kawan baik yang selalu berbagi ilmu dengannya ini.

“Kawan macam kamu, Das ? Satu kalipun, kamu tak menjenguk kawanmu ini. Benar-benar mengecewakan!” sindirku padanya, sembari mendaratkan pantatku ke tempat duduk-ku. Di dekat dinding. Lalu, kuletakan tas gendongku di atas meja. “Kenapa, huh ?” aku masih menyindirnya.

Dasta melirikku. “Sori, Zul. Lagian, aku terlalu males untuk sekedar menjengukmu. Di rumahmu tak ada makanan secuil pun..” jawabnya enteng.

Kudaratkan pukulan ke lengannya yang dibalut seragam putih. Tentu saja, pukulan pelan. “Sialan!” hardikku.

Mataku menyapu ke seluruh penjuru kelas ketika sosok siswi asing berkulit putih bersih berjalan ke arah sini. Rambutnya dikuncir ke belakang. Sejenak, aku mengira-ngira, apa ia si siswi baru yang beberapa hari kemarin Dasta kisahkan padaku ? Aku masih menatap sosoknya. Seragam putih-abu, dasi, dan tas ransel yang ia kenakan membuatnya begitu cantik dan manis. Ya Tuhan, ada apa denganku ? Aku mulai tak waras. Sadar atau tidak, aku mulai melahap kalimat dari kawanku, Dasta. Padahal, aku belum tahu kepastiannya.

Tiba-tiba, elok matanya melirikku ketika sosokku masih menatapnya. Mata kami bertemu. Lalu, ia tersenyum ramah padaku. Senyuman yang tak dibuat-buat. Untuk beberapa detik, aku membuang muka, tak membalas keramah-tamahannya yang beberapa detik tadi tersenyum manis padaku. Aku menatap kosong dinding bercat biru muda.

“Hai ? Namaku..” Kudengar, seorang wanita mengusik pendengaranku. Suara yang cukup pelan, namun terdengar begitu tegas.

“Hai juga.. kebetulan aku sudah tahu namamu.” Kini, telingaku mendengar suara menyebalkan Dasta.

Aku menoleh ke sumber suara. Terlihat, Dasta yang sedang bersalaman dengan siswi itu. Kulirik Dasta, kedua bola matanya tak luput dari sosok siswi di depannya. Sementara siswi yang ia pandangi, melirik bergantian antara aku dan Dasta. Apa ia berniat beramah-tamah padaku ? Lalu, kenapa ia malah bersalaman dengan Dasta ? Bukannya mereka sudah seminggu berada di kelas yang sama, dan mungkin saja sudah berkenalan. Pertanyaan bodoh itu muncul kembali, apa ia berniat beramah tamah padaku, tapi terhalang tangan busuk Dasta ? Entahlah.

Siswi itu tersenyum kik-kuk padaku. “Eh, aku mau duduk..” ucapnya sembari berusaha melepaskan tangannya dari tangan kekar Dasta. Lalu, ia duduk di tempat duduknya yang cukup berdekatan dengan tempat duduk Dasta. Mungkin, hanya berjarak tujuh jengkal tangan orang dewasa. Siswi itu satu meja dengan Miska, siswi pintar yang cukup baik untuk ukuran anak pejabat.

Kusiku lengan Dasta. “Kamu teralu agresif, Dasta Alkata..” kataku.

Beberapa detik ia melirikku. “Aku tak peduli..” ungkapnya, lalu kembali menatap siswi cantik yang mejanya bersebelahan dengan meja kami.

Lagi, aku menyiku lengannya. “Apa dia siswi baru itu ?” tanyaku.

Dasta menoleh, “He eh. . cantik, kan ?”

Aku mengangguk pelan. “Bisa bisa..”

Lalu, ia senyum-senyum sendiri bak manusia tak waras, sembari mengeluarkan buku catatan Bahasa Inggris dari tas yang ia letakan di atas meja, sama sepertiku.

Apa Dasta sudah jatuh hati dan terpikat pada pesona siswi baru itu ? Apa sedikit demi sedikit, ia akan menghapus komitmen ‘Tak berniat mengurusi persoalan wanita dan asmara. Ingin berfokus dulu pada sekolah’ yang sempat ia katakan padaku saat kami mulai akrab ?

Kucondongkan tubuhku lebih ke belakang, lalu menatap siswi baru itu. Ia sedang mencatat. Tanpa sadar, aku tersenyum sendiri saat melihat rambut yang ia kuncir bergerak ke sana- ke mari dipermainkan udara.

Dan, BAAAAM…

Mata kami bertubrukan. Sengaja atau tidak, niat atau tidak, ia memandangku. Lalu ia tersenyum manis seperti tadi saat pertama kali mata kami bertemu. Senyuman yang sama, dengan sumur kecil di sekitar pipinya. Ia terlihat begitu manis dengan lesung pipinya.

Mata kami masih bertemu. ‘Siapa namamu…?’ batinku berujar.


***


Miss Lala, Guru Bahasa Inggris, berkata bahwa ia akan mengadakan permainan untuk melatih kosa kata anak didiknya. Beberapa detik kemudian, suara keluhan dan gumaman keluar dari mulut hampir semua siswa dan siswi, terkecuali aku dan beberapa murid cerdas lainnya. Aku melirik siswi baru itu, ia memasang ekspresi datar sembari memainkan jari-jemarinya dengan cara menggesek-gesek-kan jari telunjuk dan ibu jarinya. Bak seorang koki yang tengah menaburkan garam ke dalam masakannya. Wajah cantiknya bertumpu pada tangan kirinya. Sebut saja, menopang dagu.

Kembali ke Miss Lala. Ia memang cukup sering mengadakan sebuah permainan di sela-sela teori yang sudah ia sampaikan. Agar kalian tak mudah merasa bosan dengan cara saya menyampaikan pembelajaran, begitu kata Miss Lala. Memang benar adanya. Aku sendiri, cukup bosan dengan berjuta teori yang para Guru sampaikan. Dengan diadakan-nya permainan, aku bisa merasa lebih fresh dan tentu saja, beban otakku bisa lebih ringan. Itung-itung penyegaran. Namun, tak jarang banyak siswa-siswi yang berkeluh-kesah dengan game yang Miss Lala mainkan, terutama bagi siswa-siswi yang buta akan Bahasa Inggris.

“Baiklah.. saya akan jelaskan cara mainnya..” Miss Lala berujar. Ia berdiri di tengah-tengah, di depan whiteboard. Tangannya memegang spidol. “Pertama, Ibu akan memanggil satu nama secara acak. Yang namanya dipanggil, dia harus melisankan minimal empat kata dalam Bahasa Inggris. Contohnya, i miss my sister, atau, this is my class.. lebih banyak kata yang kalian lisankan, lebih baik..” jelasnya. Lalu, “Mengerti ?”

Semua siswa-siswi saling melirik satu sama lain. “Setelah itu ? Lalu, bagaimana kalau salah satu dari kami tidak bisa mengucapkan minimal empat kata ? Apa dihukum ?,” Siswa yang duduk di bangku paling depan di barisanku bertanya.

“Kalau dia berhasil melisankan minimal empat kata. . dia harus menunjuk satu orang murid. Lalu, murid yang dia tunjuk, harus melisankan minimal empat kata dalam Bahasa Inggis.. dan begitu seterusnya.” Miss Lala menjelaskan. “Kalau sampai ada yang tak bisa melisankan minimal empat kata, tentu saja akan saya hukum.” Mendadak, semua murid mengeluarkan cicit keluh. “Hukumannya, harus membuat satu bait puisi. Dan menggunakan Bahasa Inggris. Just it!” lanjutnya.

Hening, semua siswa-siswi tak membuka mulut, begitupun aku yang sedari tadi fokus menatap serta mendengarkan sosok Miss Lala bercuap-cuap.

Kini, mata Miss Lala menyapu ke seluruh sudut kelas. Ia sedang mencari-cari siswa-siswi yang namanya akan ia panggil. Miss Lala siap membuka mulut, “Dasta, kamu yang pertama..”

Ekor mataku melirik sosoknya. Lalu, Dasta segera berdiri, “Miss Lala, you are the best..” Dasta melisankan enam kata, dan berhasil membuat Miss Lala terkekeh.

Dasta benar-benar penjilat kelas kakap. Ia begitu pandai ‘merayu’ Miss Lala dengan kalimatnya. “Dasar penjilat..” sindirku dengan suara pelan. Persis seperti gumaman.

Yang kusindir tak menoleh padaku. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Kurasa, ia akan menunjukku. Tapi, tak apa. Aku sangat siap melisankan lebih dari empat kata. Dan mungkin bisa membuat Miss Lala menganga.

Tepuk tangan Miss Lala membuyarkan lamunanku. “Bagus.. bagus.. sekarang, tunjuk satu orang..!!!” Miss Lala memerintah.

Dasta duduk kembali, lalu, “Zul, Bu..” dan benar saja, Dasta menunjukku.

Aku segera berdiri. “Boleh saya lisankan sekarang, Miss ?” ternyata, kata ‘lisankan’ lebih enak didengar dari pada ‘ucapkan’.

Miss Lala mengangguk. “Ofcourse!” sambungnya.

Aku siap menjawab. “I have a dream, but I don’t know about my dream..” aku sukses melisankan sebelas kata.

Entah mengapa, kini, semua mata tertuju padaku, termasuk si siswi baru itu, ia juga menatap lekat sosokku. “You don’t know about your dream ? Are you serious, Zul ?” tanya Miss Lala dengan Bahasa Inggris. Kutengok dua siswa yang duduk di depan tempat dudukku. Mereka terlihat menyerngitkan kening. Dasar goblok.. apa mereka tak tahu arti dari kalimat yang barusan aku dan Miss Lala lisankan ?

Tanpa sadar, aku melirik singkat siswi baru itu. Ia sedang menatapku. “Yes, Miss..” ucapku untuk menjawab kalimat Miss Lala yang mempertanyakan mimpiku.

Sadar bahwa semua mata tertuju padaku, Miss Lala berdehem. “Baiklah, saya mengerti. Sekarang, tunjuk satu orang, Zul..” pinta Miss Lala. Kukira ia bakal memperpanjang obrolan tentang mimpi yang beberapa detik tadi sukses membuat semua mata tertuju padaku. Ternyata, tidak.

Aku masih berdiri, menatap semua siswa-siswi yang sedang menunggu untuk aku panggil. Sejenak, ingin saja aku menunjuk sosoknya. Namun, saat elok mataku melihat binar was-was di matanya beserta gerak-geriknya, aku membatalkan niat awalku. Tampaknya, ia sedikit buta akan pelajaran Bahasa Inggris. Lalu, aku menunjuk siswi bernama Miska yang satu meja dengan siswi baru itu. Siswi baru yang tak kuketahui namanya. Kebetulan, saat Miss Lala sedang mengabsen, rasa ingin buang hajat dalam diriku terlalu menggebu. Terpaksa, aku meminta izin untuk ke toilet. Aku yakin, Miska pasti bisa melisankan lebih dari empat kata, ia juga merupakan siswi yang cerdas. Sebelumnya, sudah aku jelaskan, bukan ?

Aku duduk. Tak kuperdulikan siswi yang barusan aku tunjuk. Aku tak begitu mendengar kalimat yang Miska ucapkan. Otakku lebih memilih untuk memikirkan kalimat yang tadi aku ucapkan di hadapan halayak kelas.

Samar-samar, aku merasa tengah diperhatikan oleh seseorang.


***


Kulangkahkan kakiku memasuki pintu rumah, tanpa terlebih dahulu membebaskan sepatu yang sedari tadi aku kenakan. Tepat saat itu, sosok Ibu menegurku. “Kamu kenapa, Zul ?” Ibu bertanya padaku.

Aku menyalam padanya, lalu, “Aku baik-baik saja, Bu.”

Aku berjalan menuju kamar. Tangan kananku menggapai gagang pintu ketika suara Ibu mengusik indera pendengarku kembali. “Jatuh hati ?,”

Deg!

Mengapa Ibu tiba-tiba melisankan kalimat yang menurutku keramat itu ? Apa caraku tersenyum, beserta gerak-gerikku menunjukkan kalau sosokku sedang jatuh hati pada seseorang ? Aku rasa, tidak sama sekali. Aku tersenyum seperti biasa. Hanya saja, disela-sela bibirku yang merekah, sosok siswi baru yang tak kuketahui namanya itu tiba-tiba muncul di bilik kewarasanku. Aku sendiri tak tahu. Sungguh.

Masih memegang gagang pintu kamar, aku menoleh ke belakang. Nampak Ibu yang tengah mengulum senyum sembari menepuk pelan dadanya dengan tangan kanannya. “Aku sedang tidak jatuh hati, Bu. Omong-omong, aku ingin tidur siang, Bu. .” pangkasku, lalu membuka pintu, berjalan memasuki kamar, tak lupa, menutup pintu. Setelah itu, kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Tanpa mengganti terlebih dulu seragam putih abu-abu yang kukenak-kan.

‘Apa aku benar-benar jatuh hati ? Lalu, pada siapa ? Aku rasa tidak..!!!’


***


Aku melangkah yakin memasuki pintu kelas sembari membenarkan letak sabuk celanaku. Suasana kelas tampak sepi. Ya, hanya ada aku dan siswi itu. Untuk sekian detik, aku benar-benar menyesal karena memutuskan berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Keadaan sekolah masih cukup sepi, begitu juga kelasku. Sebenarnya, penyesalanku tak akan sebegitu besarnya jikalau kelas benar-benar sepi tanpa sosok manusia satu pun. Namun ini ? Siswi baru itu sudah ada di kelas terlebih dulu. Hanya seorang diri.

Tanpa melangkah lebih jauh, aku masih menatap sosoknya. Ia menyumbat kedua liang telinganya dengan headset warna putih pekat, sembari matanya menatap lekat layar smarphonenya. Entah lagu apa yang tengah ia dengarkan, sampai-sampai membuatnya tak menyadari kehadiran diriku. Hari ini, rambutnya juga dikuncir ke belakang. Begitu manis.

Kuputuskan untuk melanjutkan langkahku ketika siswi itu memalingkah wajahnya padaku. Mata kami bertemu.

Jujur, aku suka caranya menatapku. Binar matanya begitu menyejukkan. Tiba-tiba, ia melepaskan headset yang sedari tadi tersumbat di telinganya. “Hai ? Kenapa diam ?.” sapaan sekaligus kalimat tanya keluar dari bibir cerinya.

Aku ? Hanya bisa tersenyum dan melanjutkan langkahku menuju tempat dudukku. Aku merasa kalau waktu berjalan begitu lambat. Langkahku begitu berat dan penuh beban. Apa aku grogi ? Bagaimana bisa ? Tidak mungkin. Aku sudah sering berhadapan dengan banyak siswi cantik nan’ mempesona. Siswi baru itu tak ada bedanya dengan mereka.

Kudaratkan pantatku ke atas kursi ketika suaranya terdengar kembali. “Kita belum kenalan, ya ?” Siswi itu bertanya padaku.

Aku menoleh padanya. “Iya!” jawabku singkat, sembari meletakkan tasku di atas meja, seperti biasa.

Aku kembali berfokus pada siswi yang beberapa detik tadi bertanya padaku. Ia mengulurkan tangan kanannya. “Namaku Daiva Elzira. Kamu ?,”

Daiva Elzira ? Nama yang indah dan berkarakter. Tanpa sadar, senyumku merekah. Aku yang sejak kemarin dibuat penasaran perihal namanya, kini, nama lengkapnya sudah mengisi ruang kosong di otakku. Daiva Elzira, kurasa tak begitu sulit untuk menghafal sekaligus melisankan namanya.

Aku hendak beramah-tamah padanya dengan membalas uluran tangannya ketika diriku sadar, tanganku tak cukup panjang untuk sekedar membalas uluran tangannya. Aku bergegas berdiri dan duduk di kursi Dasta. Lalu menautkan tanganku padanya. Kini tangan kami saling bertaut. Tangan putih bersihnya menyatu dengan tangan sawo matangku.

“Zulfaqar Ash Sadiq. Panggil saja, Zul..” kulisankan nama lengkapku sembari memberinya senyuman ramah yang dari kemarin belum aku tunjukan padanya. Sekarang, aku lebih leluasa tersenyum dan menatap elok matanya. Berbeda dengan kemarin saat diriku bahkan belum beradu tangan dengannya.

“Nama yang indah..” Daiva memujiku.

“Terima kasih atas pujiannya, Daiva Elzira..” Aku berhasil melisankan nama lengkapnya.

“Terima kasih kembali, Zulfaqar Ash Sadiq..” Diriku patut berbangga diri, sebab, hanya dalam waktu singkat, ia langsung hafal nama lengkapku. Nama yang menurutnya indah.

Mata kami masih beradu, tangan kami masih menyatu, dan tentu saja deru nafasnya masih bisa kudengar, ketika suara deheman seseorang dari arah pintu membuat aku dan Daiva terlonjat kaget, dan berhasil membuat tangan kami tak bertaut.

Serempak, aku dan Daiva menoleh ke arah suara tadi berasal. Di sana, sosok siswa berperawakan jangkung nan’ berisi tengah menatap bergantian antara aku dan Daiva.

“Dasta..” lirihku.


***


Seharusnya ini akan baik-baik saja andai ia memiliki pemikiran yang dewasa. Sayangnya, pemikirannya terlalu dangkal. Hanya karena masalah simple, bahkan terlalu simple untuk disebut ‘masalah’. Dari dulu, sekalipun, aku tak pernah beradu mulut, bertengkar, dan saling enggan menyapa dengannya. Tapi, hanya karena jabatan tangan saja, ia langsung uring-uringan dan mengambek padaku.

Ketika tanganku saling bertaut dengan tangan Daiva, saat itu juga, elok matanya menyidik secara brutal aku dan Daiva. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas, aku melihat binar ketidak-sukaan-nya padaku —tepatnya pada jabatan tangan kami. Sebab, tepat saat kami mendengar deheman seseorang, lantas membuatku dan Daiva menengok ke sumber suara, saat itu, Dasta sedang menatap, tepat di tangan kami yang masih bertaut. Beberapa detik kemudian, ia menatap bergantian antara aku dan Daiva. Sungguh, saat itu, aku benar-benar tak mengenali sosok kawanku, Dasta Alkata.

Kedua matanya menggambarkan kemarahan, tunggu, tungu. . . apa Dasta cemburu ? Maksudku, apa ia jatuh hati pada sosok Daiva Elzira ? Apa ia berfikir kalau aku saingannya ? Entahlah. Bahkan, aku baru saja saling berkenalan dengan Daiva Elzira.

Kuharap, Dasta tak benar-benar marah padaku, dan lantas memotong tali persahabatan kami.


***


“Kamu gak beli makanan, Daiva ?”

“Aku gak lapar. Sebenarnya, aku sangat malas berlama-lama di kantin..”

“Kenapa ?,”

“Bukan apa-apa. Aku lebih suka duduk manis di kelas. . he he…”

“Apa ada sesuatu yang menarik ?,”

“Maksudmu ?”

“Sesuatu yang membuatmu betah berlama-lama di dalam kelas..”

“Gak juga. Sekedar mendengarkan musik..,”

“Apa tak membosankan ?,”

“Tidak sama sekali. Bagaimana denganmu, Zulfaqar ?”

“Aku ?,”

“He eh.”

“Kalau aku, ya, hayu-hayu aja. Di kantin hayu, di kelas hayu, di perpustakaan pun hayu-hayu aja..’

“Oh, begitu. Eh, Zul. . kayaknya kawanmu tak suka padaku.”

“Maksudmu, Dasta ?”

“He eh..”

“Bukannya tidak suka padamu.., hanya saja..”

“Hanya saja ?,”

“Entahlah!”

“Dasar..”

“Dasar, Daiva Elzira..”

“Dasar, Zulfaqar Ash Sadiq..”

“Namamu bagus, Daiva..”

“Begitu juga dengan namamu, Zul..”

“Terima kasih. Aku sangat tersanjung..”

“Begitu juga denganku..”

“Omong-omong, ke kelas yuk! Aku bosan di kantin..”

“Aneh sekali.. yuk!”


***


Seminggu sejak tanganku dan tangannya saling bertaut, serta mulut kami saling bertukar nama, aku dan Daiva semakin lengket bak sepasang sandal. Maksudku adalah, dekat sebagai sepasang kawan. Aku tak terlalu memikirkan rasa yang mungkin akan mengembang jika aku terlalu dekat dengannya. Hanya saja, aku begitu menikmati saat-saat, hari-hari, detik-detik ketika bersamanya. Saling bercakap, saling memuji satu sama lain, saling bertukar senyuman manis, bahkan saling colek-menyolek. Saat-saat seperti itu, teramat aku nikmati. Begitupun dengannya.

Yang membuatku terkekeh bak orang tak waras, adalah, sudah 3 kali, Daiva memuji namaku. Ingat! Namaku, bukan tampangku. Mungkin, Daiva terlalu gengsi nan’ malu untuk sekedar memuji keindahan rupaku. Saat untuk pertama kali, tangan kami saling bersentuhan dalam ikar perkenalan, Daiva terlebih dahulu memuji namaku. Nama yang indah, begitu katanya. Ia juga sempat memuji namaku, ketika kami ke kantin bebarengan. Aku mengajaknya. Di kantin, kami saling bertatapan, dan tentu saja, saling bercakap ria. Sampai saatnya, ia memuji namaku kembali. Hanya saja, saat itu, aku yang pertama memuji keindahan namanya. Tapi, sama saja, bukan ? Untuk yang ketiga, ia memuji namaku, tepat saat diriku tengah mengerjakan tugas Matematika. Saat kupalingkan elok mataku menujunya, di tempat duduknya, ia berujar pelan, ‘Namamu bagus, Zul..’. Aku hanya bisa tersenyum rona.

Sejak saat itu pula, diriku menghabiskan begitu banyak waktu dengannya. Dari membantunya mengerjakan tugas Bahasa Inggris serta Bahasa Indonesia, saling bertukar pendapat perihal Guru-guru yang mengajar di kelas kami, sampai mengungkapkan kekecewaan-nya atas sikap kawanku, Dasta. Tunggu.., sebenarnya, aku ingin mengisahkan Dasta. Tapi, belum saatnya. Jadi lanjut saja pada kisahku dengan siswi baru bernama Daiva Elzira.

Hal yang paling kuingat dari sosoknya adalah, senyum manisnya. Daiva benar-benar gemar melempar senyum pada hampir semua siswa-siswi, termasuk diriku. Sumur kecil di pipinya nampak jelas tat kala ia tersenyum. Begitu manis dan menggemaskan.

Selain itu, ia juga mengisahkan tentang keluarganya. Bisa dibilang, aku adalah anak orang kaya, tapi, aku tak begitu bangga mengakui itu. Begitu ujarnya. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudari. Beda denganku yang merupakan anak tunggal. Daiva sempat menceritakan padaku, betapa bahagia dan mengagumkan memiliki kedua orang tua seperti kedua orang tuanya. Meskipun Ibu dan Ayahnya begitu sibuk dengan urusan kantor, tapi mereka tak pernah lupa memberi kasih sayang tak terbatas padanya, si bungsu yang doyan tersenyum. Ia juga sempat bertutur, betapa sedih nan’ merananya ia kini. Sebab, kakak perempuan satu-satunya sedang sakit tipes. Saat mengisahkan kakaknya, ia terlihat begitu murung. Tapi, aku berhasil membuatnya tersenyum cerah kembali dengan berkata, ‘Aku tak suka melihatmu murung, kamu terlihat jelek, Daiva..’ kalimat yang terkesan ejekan itu malah membuatnya terkekeh. Bukan hanya kakakmu saja yang menderita karena sakit tipes, aku pun pernah mengalaminya. Begitulah ujarku. Dan dari sanalah, aku dan Daiva semakin dekat tak berjarak.

Sayangnya, dibalik kedekatanku dengannya, ada sosok yang menahan luka nestapa. Ia adalah Dasta, kawanku sendiri.

“Kamu menipuku. Kamu mendustaiku, Zul. Kamu brengsek! Bagaimana bisa kamu mendekati Daiva, sementara kawan baikmu ini sudah terlebih dulu jatuh hati padanya. Ada apa denganmu, Zul ? Apa kamu ingin menggunting tali persahabatan kita, Zul ?”

Begitulah katanya. Mau tahu jawabanku ? Jawabannya adalah, diam tanpa kata. Ya, aku tak berusaha untuk merespon kalimatnya. Untuk apa ? Aku bukanlah sosok yang serta-merta mendekati Daiva dengan tujuan agar ia jatuh hati padaku. Aku dekat dengannya, menjalin pertemanan dengannya, bukan lain karena aku merasa begitu nyaman ketika mengobrol dengannya. Aku yakin, Daiva juga merasakan hal yang sama denganku. Ia juga teramat nyaman ketika beradu cakap denganku. Dan satu lagi, aku berniat menggunting tali persahabatan antara diriku dan Dasta ? Tentu saja, tidak. Bukannya ia sendiri yang mencoba untuk menggunting tali persahabatan antara kami dengan cara menjauhiku ?. Bahkan, ia tak pernah membalas sapaan manisku. Pula, ia pun memindahkan diri ke bangku paling depan. Di tempat dudukku ? Aku sendiri tak berkawan. Beruntung, masih ada sosok Daiva yang selalu membuatku tak bosan untuk tersenyum. Oh Tuhan, aku mulai sadar, bahwa, betapa ia begitu berpengaruh dalam kehidupanku kini. Karena Daiva, aku lebih sering tersenyum bak orang tak waras. Karenanya, diriku bisa merasakan kehangatan dari seorang kawan sekaligus kekasih. Mungkin aku berlebihan. Namun, entah mengapa, cara Daiva memberi perhatian padaku benar-benar menggambarkan sosok kekasih yang begitu mencintai sang pangeran idaman. Entahlah, mungkin aku bergurau.

Benar, bukan ? Tadinya, aku berniat mengisahkan kawanku, Dasta. Eh, aku malah kebablasan mengisahkan Daiva.

Baiklah. Kembali pada Dasta Alkata, si pecemburu yang tengah jatuh hati pada sosok Daiva Elzira.

Kalaupun benar ia sudah jatuh hati pada sosok Daiva, bukan berarti terbentang larangan agar aku tak boleh beradu cakap dengannya. Menjalin persahabatan dengannya, si gadis yang doyan tersenyum memamerkan sumur kecil di pipinya. Harusnya, ia gapai rasa cintanya pada gadis yang ia cintai, bukannya bertindak bodoh dengan menjauhiku. Apa itu membuat Daiva menerima perasaanya ? Huh, aku rasa tidak.

Jadi intinya, hubungan pertemananku dengan Daiva semakin melaju. Sementara hubungan pertemananku dengan sosok Dasta semakin mundur arah.


***


“Apa cita-citamu, Zul ?” Daiva bertanya sembari menoleh padaku.

Seperti biasa, tatapan menyejukkan-nya senada dengan senyum manisnya. “Cita-cita ? Entahlah..” itulah jawabku.

“Itu bukan jawaban yang aku tunggu, Zul..”

Kami duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu, di taman yang jaraknya cukup dekat dari sekolah. “Satu.. dua.. tiga.. empat..” kuhitung jari-jemariku. “Sudah empat orang yang mengajukkan pertanyaan semacam itu padaku. Termasuk dirimu, Daiva Elzira..” kuberanikan diri untuk menyentil ujung hidungnya.

Daiva terkekeh. “Jangan menyentil hidung mancungku, Zulfaqar Ash Sadiq..” lagi, kebiasaan saling ledek nama masing-masing terukir kembali. Walaupun, terlalu berlebihan untuk disebut ‘ledekan’.

Aku mangut-mangut. “Hidung kita sama-sama mancung. . jangan-jangan..” aku berhasil membuat sosoknya diambang penasaran melangit.

“Jangan-jangan ?,” ia mengulang kalimat godaan yang diriku lontarkan padanya beberapa detik tadi. “Jangan berfikir macam-macam, Tuan Zulfaqar..”

Untuk kedua kalinya, kusentik hidung mancungnya. Ia menyergap. “Bukankah, dirimu sendiri yang berfikir macam-macam.. dasaaar..!!!” ledekku.

“Aku ?,” tanyanya dengan ekspresi bloon. Lalu, “Sudahlah.. kamu belum menjawab pertanyaanku, Zul..” ternyata, ia masih penasaran tentang cita-citaku.

“Entahlah, Daiva. Bagaimana denganmu ? Apa cita-citamu ?”

“Kok malah—”

“Jawab saja..” aku memotong kalimatnya.

Di sampingku, dengan tatapan menjurus ke depan, ia seakan tengah memilah jalan menuju kesuksesan yang nyata. “Ketika berstatus bocah ingusan, aku memiliki cita-cita..” ungkapnya. “Rasanya begitu keren andai aku menjadi seorang Doktor.” Lanjut Daiva tanpa menoleh padaku.

Aku masih setia duduk menyamping, menatap sosoknya. “Jadi, cita-citamu menjadi seorang Doktor ?,” tanyaku, sampai diriku mulai sadar kalau pertanyaan yang kuajukan beberapa detik tadi begitu tak berbobot. “Maksudku, dari bocah ingusan sampai remaja ingusan, kamu masih setia dengan cita-citamu itu ?”

“Kamu memang tak pandai memilah kata. Ingusan ?,” Daiva memberengut.

Aku nyengir. “Ralat deh. Maksudku, dari bocah ingusan sampai remaja cantik nan’ menawan..” aku sengaja menggantung kalimatku ketika kulihat senyumnya merekah. “Cita-citamu masih sama ? Menjadi seorang doktor ?.”

Ia mengangguk yakin. “He eh..”

“Ada alasan khusus ?,” tanyaku. Aku penasaran, apa ada alasan khusus yang melatarbelakangi keinginan-nya untuk menjadi seorang doktor.

Daiva menggeleng. “Gak ada. Tapi, dengan menjadi seorang doktor, aku bisa bertranformasi menjadi doktor cinta bagi suamiku kelak.” Ia menyengir pelan. Dan berhasil memamerkan gigi putihnya.

Lalu, dengan semena-mena, tiba-tiba otakku membayangkan diriku yang menjadi suaminya kelak. “So, kapan-kapan, kamu bisa dong merawatku ? Menyembuhkan sakitku..” Aku mulai tak waras.

“Bisa, bisa. Asal jangan sakit hati saja..” Daiva kembali tersenyum.

“Aku gak janji.” ucapku. Lalu, “Jadi selain menjadi seorang doktor, kamu juga bercita-cita menjadi seorang istri yang baik untuk suamiku kelak ?.”

“Kalau saja itu pantas disebut cita-cita, mungkin iya.” Mendengar kalimatnya, aku jadi teringat Ibu. Ia juga sempat bertutur bahwa salah satu cita-cita terbesarnya adalah menjadi seorang istri yang baik untuk suaminya.

“Pantas kok. Ibuku juga memiliki cita-cita macam itu.” Umbarku dan berhasil membuatnya semakin mencondongkan wajahnya padaku. Kami masih bertatapan.

“Ibumu ? Bersediakah kamu mengisahkan Ibumu padaku, Zul ?” dan benar saja, Daiva begitu ‘tertarik’ pada sosok Ibuku.

Kembali, kusentil hidung mancungnya. “Kapan-kapan saja, Daiva.”

“Awal lho kalau sampai berdusta. Kamu punya dua hutang padaku. Satu, hutang untuk memberitahuku tentang cita-citamu..” ujarnya. “Kedua, mengisahkan Ibumu padaku..”

Aku menghelas nafas pendek, lalu menatap rambut hitamnya yang selalu dikuncir. Aku punya rencana. “Cita-citaku itu teramat penting. Dan, kisah Ibuku itu terlalu mahal..”

“Jadi ?,”

“Aku akan membayar hutangku jika kamu mau untuk mengurai rambut hitammu itu. Aku bosan melihat rambutmu yang hampir setiap hari dikuncir..” jelasku. “Setuju ?” kusentil hidungnya.

Ia tersenyum. “Baiklah. Aku setuju!” lalu ia balas menyentil hidungku yang tak kalah bangir.

Lalu, beberapa detik kemudian, kami terkekeh menyadari tingkah kami yang tak beda bocah ingusan.


***


Hari ini, lewan es-em-es, Daiva mengajakku pergi ke Gramedia. Aku ingin membeli novel, Zul. Maukah kamu mengantarku ? Jakarta memang cukup panas dan macet, tapi kamu mau, kan ?. Begitulah ajaknya. Aku sendiri tak tahu-menahu alasan mengapa Daiva serta merta melibatkan Ibu Kota Jakarta beserta cuaca hari ini.

Dan di sini-lah aku.

“Bagaimana dengan dua novel ini, Zul ?” tiba-tiba ia menghadapku, dengan masing-masing tangannya memegang novel. Di tangan kanannya, di sana terpampang novel dengan judul ‘Siluet Asmara’. Aku menyerngitkan dahi. Maksudku, judul novel tersebut agak aneh. Sementara di tangan kiri, Cita-Cita Sang Sahaja. Begitulah si penulis memberi judul pada novelnya.

Aku yang sedari tadi  berada di belakangnya, mengikuti setiap langkah dan gerak tubuhnya, mulai tertarik pada novel berjudul Siluet Asmara. “Sebenarnya, aku tertarik pada novel di tangan kananmu..” Daiva menggoyangkan tangan kanannya. “Tapi, hatiku terlanjur terpikat pada tangan kirimu, Daiva..”

Ia menganga. “Maksudmu novel di tangan kiriku ?,”

Aku terkekeh. Ternyata Diava tidak se-oon itu. “He eh.. tapi, terserah mau-mu saja sih..”

Lalu, ia memandang bergantian antara novel di tangan kanannya yang diberi judul Siluet Asmara dan novel Cita-Cita Sang Sahaja di tangan kirinya. Ia tersenyum padaku sebelum akhirnya meletakkan kembali novel Siluet Cinta di rak. “Aku pilih ini saja..” ujarnya sembari mengacungkan novel di tangan kirinya.

“Kenapa ? Apa karena aku ?,” tanyaku dengan goblok dan sok pedenya.

Daiva menyunggingkan senyum manisnya. “Pede sekali kamu, Zul. Aku pilih novel Cita-Cita Sang Sahaja, bukan lain karena kamu belum memberitahuku tentang cita-citamu, Zul..”

“Hah ? Cuma karena itu ? Are you serious, Daiva ?”

“Aku serius. Jadi, segeralah omongkan cita-citamu padaku..” ungkap Daiva.

Mataku yang sedari tadi menatap lekat kedua bola matanya, kini kupalingkan menuju kemeja putih polos tangan panjang yang sedikit kebesaran di badannya, celana jeans yang ia kenakkan, dan berakhir di rambut hitamnya yang ia kuncir ke belakang. Seperti biasa. “Kalau begitu, jangan kuncir rambutmu macam itu. Segeralah urai. Biarkan aku melihat keindahan rambut panjangmu itu, Daiva..” Aku mulai menggombal dengan nada merayu.

Ia memutar bola matanya. “Segera mungkin, Tuan Zulfaqar.” Ungkapnya dengan nada sedikit ganjen. Tapi, aku suka. “kalau begitu, ayo antar aku ke kasir..” Daiva melenggang pergi menuju kasir.

Saat diriku hendak menyusulnya, tak sengaja, elok mataku menemukan sosok nenek-nenek sekitaran 60-an sedang membaca novel di kursi yang pihak Gramedia sediakan. Entah novel jenis apa yang tengah ia baca. Entah apa judul novel yang ia baca. Yang jelas, aku tertegun untuk beberapa saat. Lalu, tanpa sadar, senyumku mengembang, tepat ketika si nenek tersenyum simpul sembari matanya tetap berfokus pada novel di tangannya. Aku jadi penasaran, mengapa ia tersenyum ? Apa si nenek baru saja membaca dialog-dialog agak erotis antar tokoh dalam novel tersebut ? Aku rasa tidak. Lalu apa ? Kembali, aku hanya bisa berujar entahlah atas ketidaktahuan-ku.

Dan akhirnya, si nenek dan novel di tangannya itu berhasil membuat ingatanku tertuju pada mereka. Bak mantra yang begitu sulit untuk diriku enyahkan, senyuman si nenek teramat melekat di kewarasanku. Senyuman yang tak tertuju padaku, melainkan pada buku yang tengah ia baca dan tela’ah.


***


— 2014—

Aku semakin dekat dengannya. Aku tak tahu dan begitu tak paham, mengapa diriku dan dirinya semakin dekat. Dan kurasa-rasa, kuterka-terka, kupikir-pikir, kuingat-ingat, semakin ke sini, kedekatanku dengan sosoknya semakin menjadi. Bak sepasang kekasih, aku dan dirinya menjalani ikar perkawanan kami tak jauh beda dengan seorang lelaki yang begitu mendamba dan melindungi sang kasih. Bak wanita yang begitu mencinta sang kekasih, dan begitu berharap sang kekasih selalu menggenggam erat tangannya. Meraba setiap celah-celah jari-jemarinya. Itulah aku, Zulfaqar Ash Sadiq, dan dirinya, Daiva Elzira.

Kutanya hatiku, perasaan macam apa ini ? Perasaan macam apa yang selalu menggeliat di sanubariku ketika diriku beradu cakap dengannya. Aku harap, aku tak akan jatuh hati pada pesona sosoknya, pesonanya yang begitu menyejukkan, pesona senyum manisnya, dan pesona sumur kecil tat kala ia menyunggingkan senyum. Sekali lagi, aku berharap, semoga diriku tak benar-benar jatuh hati pada sosok Daiva. Kalau sampai aku terpikat akan sosoknya, kurasa hubungan pertemanan antara aku dan Dasta akan semakin merenggang. Ketika diriku baru berkenalan dengan Daiva saja, Dasta sudah dibakar api cemburu. Bagaimana kalau sampai diriku sudah jatuh hati pada Daiva ? Mungkin saja, Dasta akan membakar hatiku, lalu abu-ku ia buang. Setelah itu ia kubur. Dan dengan langkah jenius, ia pun semakin nekad menyelimuti Daiva dengan rasa cinta terdalamnya.

Namun, harus bagaimana lagi ? Semua yang aku takuti adalah sesuatu yang benar-benar terjadi. Aku terpikat pada sosok Daiva. Maksudku, aku sudah jatuh hati, bahkan jatuh cinta pada sosok Daiva. Aku harus setuju dengan hati dan pikiranku. Karena merekalah, diriku berani mengakui kalau diriku sudah terpikat padanya. Ingatanku yang selalu memanggil namanya serta mengingat gelagatnya saat di dekatku. Juga, hatiku yang senantiasa merasakan gejolak membingungan tak bernama yang kini sudah aku ketahui, yaitu cinta, tat kala bersamanya di ruang dan sudut bumi yang sama. Sekali lagi, aku jatuh cinta padanya. Daiva Elzira, si cewek yang punya sumur di pipinya.

And I will always love you~

Aku hendak memejamkan mataku ketika kudengar hapeku mendendangkan lagu dari sang penyanyi legenda, Whitney Houston, I Will Always Love You. Kujangkau hapeku yang tergeletak begitu saja di tepi tempat tidur, di dekat bantal di sebelahku.

Senyumku merekah saat menemukan nama Elzira Si Sumur di layar hapeku. Segera kuterima panggilan darinya itu. Omong-omong, aku dan Daiva cukup sering beradu cakap via telepon. Keseringan, aku yang pertama menelponnya.

“Hai ? Belum tidur, ya ?” Daiva memulai.

Aku bangun dari posisi terlentang, lalu duduk menyila. Masih di tempat tidur. “Kalau sudah tidur, mana mungkin aku menerima panggilan darimu, Daiva Elzira..”

Kudengar ia tersenyum pendek, menyadari betapa tak berbobotnya pertanyaan yang ia ajukan tadi. “Kenapa belum tidur ? Gak ngantuk ? Sudah jam sebelas lebih lho..” Daiva bertanya dengan suaranya yang terdengar agak sumbang di telingaku.

“Pertama, beberapa detik tadi aku berniat memejamkan mataku, sebelum akhirnya dirimu menelponku. Akhirnya aku tak melanjutkan agenda tidurku..” Pertanyaan pertama yang ia ajukan sudah aku jawab. “Kedua, tadi aku merasa cukup ngantuk, untuk itu aku berniat segera memejamkan mataku. Tapi, karena kamu menelponku, kurasa, kantukku beransur hilang..” lanjutku. Berhasil membuatnya terkekeh. Aku yakin, saat ini, sumur kecil di pipinya mengembang.

“Dasar..” itu saja ? Lalu, ia diam sejuta kalimat.

“Hei, Daiva Elzira.. kamu menelponku malam-malam begini, hanya untuk melisankan satu kata itu ?,” tanyaku dengan nada yang sengaja kubuat kesal. “Dasar..

Daiva tak bersuara. Yang kudengar hanyalah deru nafasnya. “Sebenarnya, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Zul..” aku tak merespon ucapannya. Aku menunggu lanjutan dari kalimatnya. “Selamat, Zulfaqar Ash Sadiq.. kamu pantas mendapatkan peringkat pertama di kelas kita. Kamu memang cerdas, dan kamu telah menyisihkan seiprit kecerdasanmu itu padaku. Selamat dan terimakasih, Zul..” lanjutnya. Aku jadi ingat, saat-saat di mana aku mengajarinya beberapa mata pelajaran yang menurutnya sulit untuk ia pahami. Dan tadi siang, Bu Lala selaku wali kelasku, membeberkan kalau yang mendapatkan peringkat pertama, bukan lain adalah diriku. Disusul peringkat kedua yang membuat banyak saksi mata membisukan diri. Daiva Elzria, ia-lah sang peringkat dua, dan berhasil mempecundangi kawan semejanya, Miska.

Aku siap bersuara ketika ia kembali bertutur, “Sekarang, kita sudah resmi berstatus murid kelas dua belas. Masa-masa penghabisan SMA.” Suaranya terdengar sedikit gentar.

“Selamat juga untukmu, Daiva. Kamu pantas mendapatkan peringkat dua. Kamu cukup cerdas untuk ukuran anak baru di kelasku.” Ungkapku tak lupa memujinya. Aku sungguh tak basa-basi. Ia memang cerdas. Lalu, “Omong-omong, bisakah untuk tidak membicarakan tentang masa-masa yang menurutmu penghabisan itu ? Aku sedikit malas membicarakannya..”

“Baiklah..”

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Daiva..”

“Apa ?,”

“Sebenarnya…” kuraba dadaku. Ya Tuhan, dag-dig-dug menggema. Rasanya begitu mendebarkan ketika untuk pertama kali diriku harus mengakui kejatuh-suka-anku pada sosok Daiva. Benar sekali, aku berniat menembaknya. Tentu saja, menembaknya dengan sejuta rasa di sanubariku.

“Kamu jatuh cinta padaku ? Begitu ?”

Deg!

Daiva tahu tentang rasaku ? Apa ia juga memendam rasa yang sama sepertiku ? Aku mengharapkan jawaban iya atas pertanyaan keduaku itu. “He eh.. kamu tahu?.”

“Aku tahu karena diriku juga sang pelakon.”

Keningku mengerut. “Pelakon ? Maksudmu ?”

“Aku sudah jatuh pikat, suka, bahkan cinta padamu sejak lama, Zul. Tepatnya sejak tangan kita saling bertaut untuk pertama kalinya. Masih ingat ?,”

Aku siap meledak. “Tentu saja masih ingat. Suara deheman Dasta juga masih aku ingat..”

“Aku sedang tak ingin membahasnya. Aku ingin membahas tentang hubungan kita saja, Zul. Aku serius!”

“Kamu terlalu agresif, Daiva..”

“Tak peduli. Lalu bagaimana ? Sesuatu yang ingin kamu katakan padaku, bukan lain, ‘aku jatuh cinta padamu’ ,kan ?”

Aku mengangguk yakin, sebelum akhirnya menyadari kalau anggukanku tak bisa ia lihat. “Iya. Mulanya, aku jatuh hati padamu. Bebarengan dengan seringnya kamu memuji namaku. Perlahan.., rasa itu berubah menjadi perasan cinta..” umbarku padanya.

“Terima kasih sudah jatuh cinta padaku, Zul. Aku sangat tersanjung..”

“Begitupun aku, Daiva..”

“Lalu ?,”

“Lalu, apa ?”

“Tentang kita..”

“Bagaimana, ya ?”

“Kamu serius jatuh cinta padaku ? Atau sekedar main-main ?,”

“Tentu saja aku bersungguh-sungguh.”

“Lalu ?,”

“Sekarang, detik ini juga, tepat pukul dua belas, kita resmi berstatus sepasang kekasih. Ehhem ?”

“Iya, Tuan Zulfaqar Ash Sadiq..”

“He eh, Nona Daiva Elzira..”

“Namamu bagus, Zul..”

“Begitu juga dengan namamu, Daiva..”

“Terima kasih, aku begitu tersanjung..”

“Begitu juga denganku, Daiva..”

Begitulah percakapan antara aku dan Daiva malam ini. Malu-maluku bercampur dengan keterbukan-nya berhasil mengiklarkan hubungan kami sejelas-jelasnya. Kami pacaran.

Sampai saatnya, Daiva menyuruh kekasihnya untuk terlelap. “Tidur sana..”

“Kamu juga..”sahutku.

“Selamat malam, Pacar..”

Tuttt.. tutttt… tuttt….

Aku senyum-senyum sendiri bak manusia hilang akal. Aku ingin terlelap sesegera mungkin. Dan, semoga pagi hari segera menyusul. Diriku begitu tak sabar menatap sosoknya untuk pertama kali sejak kami resmi berstatus sepasang kekasih yang saling mendamba.

Daiva Elzira, si sumur yang begitu aku damba. Aku mencintaimu. Begitulah ungkapku sebelum terlelap.


***


Lima bulan ini benar-benar begitu cepat. Aku bahkan tak sadar sepenuhnya kalau diriku sudah hampir lima bulan berstatus kekasihnya.  Menjalani aktifitas sebagai kekasih Daiva Elzira benar-benar merubah segalanya. Segala hidupku. Kebiasaannya, yaitu tersenyum pada semua umat di kelas, bahkan di sekolah kami, kini melekat padaku. Entah sejak kapan, diriku menjadi sosok yang begitu gemar tersenyum ramah nan’ manis pada setiap insan. Bukan berarti, sebelum berstatus pacarnya aku jarang menyungging senyum pada setiap insan. Hanya saja, kadar senyumku begitu membludak sejak resmi menjadi kekasihnya. Selain itu, aku juga lebih giat belajar. Sekali lagi aku tegaskan, bukan berarti sebelum berpacaran dengannya, diriku begitu enggan untuk belajar. Tapi, semenjak terjalinnya hubungan antar kami, aku lebih bersemangat melatih otakku. Alasan lain adalah, karena kami selalu belajar bersama-sama. Terkadang di rumahku, pernah juga di rumahnya. Tapi, keseringan, di rumahku. Daiva juga mulai akrab dengan kedua orang tuaku, terlebih Ibu. Mereka terlihat bak Ibu mertua yang begitu menyayangi sang menantu. Begitu pula sebaliknya. Mereka cukup sering berbagi ‘ilmu dapur’.

Seperti sekarang, Daiva dan Ibu tengah beradu kemampuan memasak. Ibu memasak sayur lodeh untuk Ayah. Sementara, Daiva, ia tengah dalam proses memasakanku nasi goreng pedas. Aku jadi tak sabar menanti sekaligus mencicipi nasi goreng pedas buatannya. Hasil jeri payah tangan dan kejeliannya di dunia masak-memasak.

Aku masih setia menatap layar hape di ruang tamu ketika suara Ibu dan Daiva secara serempak tapi tak sama mengusik telingaku.

“Zul, nasi goreng pedas untukmu sudah siap.. lekas ke sini..” sayup-sayup, hidungku membaui aroma sedap tak terbantah dari arah dapur, tepatnya meja makan.

“Zul, panggilkan Ayahmu supaya cepat ke sini. Sayur lodeh kesukaannya sudah siap. Cepat…!!!” cerocos Ibu.

Setelah menunaikan perintah Ibu untuk memanggih Ayah, aku pun bergegas menuju meja makan. Begitu bersemangat menyantap masakan pertama dari tangan istriku, ralat, maksudku, kekasih pertamaku.

Kudaratkan pantatku ke kursi di sebelah Daiva. Di depanku, nasi goreng pedas buatannya seakan memanggilku untuk segera melahap mereka. “Boleh aku makan sekarang, Daiva ?” tanyaku sembari menoleh padanya.

Daiva mengangguk pelan tanpa bersuara. Kutengok kedua orang tuaku yang tengah saling melempar senyum. “Sayur lodeh buatan istriku memang lezat..” puji Ayah. Berhasil membuat Ibu melayang. Kulirik Daiva. Ia terkekeh melihat kemesraan kedua orang tuaku.

Selang beberapa menit, tak seiprit nasi pun terlihat di piringku. Bersih tak tersisa.

“Kenyang sekali. Terima kasih, ya, sudah memasakanku nasi goreng pedas. Enak sekali, Daiva..” aku memuji masakannya, sembari memiringkan wajahku, lalu berbisik di telinganya. “Melebihi lezatnya masakan Ibu..” ungkapku.

Daiva terkekeh. “Gombal..” sahutnya.

“Putraku membisikkan apa, Nak ?” Ibu bertanya pada Daiva. Ia selesai dengan sayur lodehnya, begitupun dengan Ayah.

Sejenak, Daiva melirikku. “Gak ada. Zul hanya memuji masakanku, Tante..” bohongnya. Jelas sekali tadi aku sedikit ‘mempecundangi’ masakan Ibuku.

“Oh, begitu. Omong-omong, cara kalian menatap satu sama lain, tak beda tante sama om lho.. ketika kami masih ABG, macam kalian berdua.” Tiba-tiba Ibu menyamakan kemesraan antara aku dan Daiva dengan kemesraannya dengan Ayah di masa lampau.

Daiva tersipu. Lalu, secara bergantian, ia melirik antara aku, Ibu, dan Ayah. Beberapa detik kemudian, tawa kami menyeruak begitu kencang.

‘Semoga kita selalu begini, Daiva. Kuharap kamu lekas menjadi istriku. Aku mencintaimu.’ Batinku, sembari menatap sosoknya yang  tengah tertawa girang sembari masih memegang sendok.


***


“Kayaknya aku tertarik sama dunia tulis-menulis, Daiva..”

“Begitu ? Aku do’a-kan, semoga kamu bisa menjadi penulis handal.”

“Tak usah seyakin itu..”

“Lho ? Aku, kan, sekedar memdo’a-kanmu saja, Zul. Tak salah, kan ?”

“He eh..”

“Zul ?,”

“Ya ?,”

“Bagaimana hubunganmu dengan Dasta ? Apa kalian sudah akur ? Jujur, aku merasa bersalah…”

“Aku dan Dasta ? Aku masih menganggapnya kawanku. Tapi dia ? Kayaknya dia begitu membenciku, deh.. dia, kan mencintaimu, Daiva..”

“Maaf, ya. Gegara aku, kamu dan kawanmu jadi musuhan kayak gini..”

“Bukan salahmu, Daiva Elzira. Bisakah kita hentikan obrolan menjengkelkan ini ? Sekarang, aku tak cukup peduli padanya. Dia selalu bersikaf seolah, aku telah merebutmu dari sisinya. Padahal ?,”

“Jangan berkata seperti itu, Zul. Bagaimana pun, dia tetap kawan baikmu..”

“Pernahkah aku berkata kalau dia bukan kawanku ? Hanya saja, tak usah ditambah kata ‘baik’ segala..”

“Maaf..”

“Gak usah minta maaf. Bukan salahmu..”

“Kamu kenapa sih, Zul ? Kok jadi gampang emosi ? Maaf kalau aku sudah menyinggungmu..”

“Aku baik-baik saja. Hanya saja kamu harus tahu, aku tak cukup baik untuk mengobrolkan si Dasta. Dan satu lagi, bisakah kamu berhenti berujar maaf ? Kamu sama sekali tak bersalah..”

“Zul ?,”

“Ya ?”

“Kamu mencintaiku ?,”

“Ada apa denganmu, Daiva ? tentu saja..”

“Kamu serius ?,”

“SANGAT SERIUS…!!!!”

“Zul ?,”

“Ya ?,”

“Kalau suatu hari nanti kita pisah, apa kamu akan baik-baik saja ?.”

“Semoga saat itu takkan pernah ada. Aku mencintaimu. Dan selama dirimu ada di sisiku, aku akan baik-baik saja.”

“Intinya, kalau kita pisah, kamu takkan baik-baik saja ? Begitu ?”

“Entahlah. Ada apa, Daiva ?”

“Entahlah, Zul..”

“Kamu bosan sama aku ?”

“Gak! Aku mencintaimu, Zul. Selamat malam. Cepat tidut..”

Tutttt.. tuttt…. Tuttt…


Begitulah ujung dari obrolan kami lewat telepon. Sejujurnya, kami cukup sering beradu mulut. Tak jauh dari permasalahan antara aku dan Dasta. Daiva selalu memintaku untuk bersikaf baik pada kawanku itu. Awalnya, aku menurut. Tapi, lama-kelamaan, sikaf menjengkelkan Dasta membuatku jengah saja. Dan beberapa detik tadi, sedikit percekcokan pun mewarnai obrolan kami. Kembali, sosok Dasta membuatku dan Daiva berdebat tak jelas. Tapi, saat ia berandai-andai, kalau hubungan kami takkan awet, hatiku benar-benar gusar. Harapku, kami akan menjadi sepasang kekasih sekaligus sepasang suami-istri sehidup semati. Itu saja.


***


“Ada apa denganmu, Dasta Alkata ? Berhenti bersikaf menjengkelkan..” semburku pada manusia yang ketika diriku melewati mejanya, ia berujar menyebalkan. Kawan brengsek, begitu katanya. Sembari mengke-ataskan ekor matanya, melirikku.

Aku mundur tiga langkah, menatap tajam sosoknya yang sedang duduk di tempatnya. “Keparat sepertimu tak pantas mendapatkan cinta dari kekasihku, Daiva Elzira. Segera karungi rasa cintamu itu, dan cepat buang ke tempat semestinya.” Cibirku padanya. Sudah cukup lama aku menahan gejolak amarah di dadaku. Kini, gejolak itu bak bom waktu yang siap meledak. “Bersikaf menjengkelkan seperti ini.. apa gunanya ? Ingin memamerkan watak menjijikanmu, huh ?” semburku lagi.

Bak hakim di pengadilan, ia memukul meja di depannya begitu keras. “Jaga mulutmu, Zul..”

Kini, Dasta berdiri. Kami saling bersampingan, dengan mata kami yang saling bermusuhan. “Selama ini, aku cukup sabar menjaga mulutku untuk tidak berkata semauku. Tapi, sekarang.. kurasa, kesabaranku sudah di ubun-ubun..” cercaku.

Kini, aku sadar. Dasta sengaja berangkat pagi-pagi sekali dengan maksud ‘mempecundangi’ diriku. Kalian tahu ? Saat ini, kelas benar-benar sepi, bahkan dapat dipastikan kalau seluruh penjuru sekolah benar-benar sepi. Di kelas, hanya ada aku dan si kawan menjengkelkan. Tapi, sepertinya angannya terlalu melangit. Aku tak begitu mudah untuk ia pecundangi.

“Monyet—”

“HENTIKAN…!!!!” Dasta hendak membogem mukaku ketika suara itu terpaksa menghentikan niat busuknya.

Aku membalikkan badan, menuju pintu kelas. Di sana, kekasihku sedang berdiri menganga di ambang pintu. Ia menggunakan tangan kanannya untuk membungkam mulutnya. Mungkin, Daiva merasa begitu kaget dengan apa yang aku dan Dasta lakukan beberapa saat tadi. Tentu saja, kami berdebat hebat. Bahkan, Dasta hendak menodongku dengan pukulannya.

Aku masih menatapnya. Menatap setiap inci tubuhnya. Aku merasa ada yang berbeda dari sosoknya. Bukan lain, rambutnya. Ia tak lagi menguncir rambut hitamnya. Kini, rambut panjangnya ia biarkan terurai begitu saja. Begitu cantik nan’ menawan. Dan tentu saja, manis. Apa Daiva menagih hutang yang belum diriku lunasi padanya ? Kalian tak lupa, kan, kalau aku mempunyai dua hutang padanya. Pertama, tentang cita-citaku. Kedua, perihal sosok Ibuku.

Ya Tuhan, bagaimana ini ? Seharusnya, ia tak muncul sekarang. Keadaan di mana diriku dan Dasta tengah beradu mulut sungguh membuatku diambang dilema. Ia menagih hutang di waktu yang teramat salah.

Kupalingkan wajahku menuju manusia di sampingku. “Dia terlalu cantik dan menawan untuk kamu miliki, Dasta..” sindirku padanya.

Lalu, Dasta mencengkram kerah bajuku dengan kedua tangannya. “Tutup mulutmu, Bedebah Tengik…!!!” ujarnya sembari mendorong tubuhku ke arah meja di belakangku.

BUKK…!!!

Pinggangku sukses berbenturan dengan ujung meja. Begitu menyakitkan memang, terlebih lagi saat ia mendaratkan bogeman di pipiku. “BUUUUUUKK…!!!”

“Bedebah Tengik..!!!!”

Tak begitu saja mengalah, kugunakan kakiku untuk menjauhkannya dari tubuhku. Dan berhasil, ia tersungkur ke tempat duduknya sendiri.

Ini saatnya. Kulangkahkan kakiku mendekatinya, dengan amarah yang mulai memuncak. Segera kubogem pipinya yang agak tembem itu. Beberapa detik kemudian, kucengkram kerah bajunya, lalu kuseret ke sembarang arah. Setelah itu, kupukul perutnya.

BUKKK..!!!

BUKKK….!!!!

BUKKK….!!!!!!

Dasta melawan. Ia berhasil mendaratkan pukulan di pelipisku.

BUKKKKK…!!!

“HENTIKAN….!!! APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN ?!!!!?”

Tak kuperdulikan teriakan kekasihku. Sekarang, dalam benakku, sosok Dasta-lah yang begitu ingin kuhajar sampai babak-belur. Tak kuperdulikan akibat dari perkelahian ini. Cukup sudah amarahku selalu tertahan di dadaku. Kini, aku meledak.

Samar-samar, kupalingkan wajahku ke arah Daiva. Ia sudah tak ada. Kemana kekasihku ? Bersamaan dengan itu, Dasta berhasil meruntuhkan pertahanan tubuhku dengan memberi pukulan keras di area perutku, lalu menendang tulang kering di sekitar kakiku.

“AWAS NAKKKK….!!! DI DEPANMU…!!!!”

“AWAS…”

“BRUUUUUUUUUUUUUG…!!!!!!!!”

“AAAAAGGGGGGH….!!!!”

Tubuhku tersungkur lemah di lantai kelas ketika sayur-sayup, telingaku mendengar cicit keluh nan’ teriakan di luar sana. Semacam teriakkan manusia tua yang mewanti-wanti supaya sang cucu berhati-hati dalam perjalanannya. Aku juga mendengar suara mobil besar yang mendadak mengerem.

Ya Tuhan ? Kekasihku ? Daivaku ? Semoga tidak!

Rasa-rasanya, jantungku langsung turun menuju perut. Saking lemas dan merananya ketika elok mataku menatap secara langsung sosoknya yang tergelak tragis di sembarang tempat, di dekat pohon besar. Daiva Elzira-ku. Tubuhnya dipenuhi cairan merah bersimbah. Ya Tuhan, betapa membludaknya darah di sekujur tubuh kekasihku. Tak bisa kubayangkan, peristiwa macam apa yang membuatnya bersimpah darah seperti ini.

“Dia tertabrak truk dari arah sana..” jawab si nenek ketika diriku bertanya perihal peristiwa yang kekasihku alami, sembari menunjuk arah truk tadi muncul. “Kelihatannya dia ingin minta tolong.. dia terlihat begitu gusar bercampur takut. Sampai-sampai, tak memperdulikan, maksudku tak melihat sebujur truk yang hendak melintas ke arahnya. Tepat saat dia berjalan di tengah-tengah Zebra Cross di depan gerbang Sekolah, truk itu menghempaskan tubuh siswi malang ini, Nak..” lanjutnya dengan nada gusar.

Pikiranku kosong, lidahku keluh, mulutku bak disumbat buntelan baju bekas, tulang-tulangku bak digergaji oleh sembarang manusia, aku ambruk seketika. Di dekatnya. Ya Tuhan, aku masih tak bisa mempercayai fakta yang tepat terpampang jelas di depanku. Kekasihku tertabrak truk. Aku mengutuk kegoblokanku sendiri yang tak bisa mengontrol emosi dan lantas meladeni tingkah menyebalkan Dasta di dalam kelas tadi. Omong-omong, tentang anak sialan itu, aku tak memperdulikannya sekarang.

“ADA APA DENGAN KALIAN ? KENAPA BERDIRI SAJA SEPERTI MANUSIA BODOH ? CEPAT PANGGIL AMBULAN..!!!” teriakku pada manusia-manusia yang hanya berdiri menganga meratapi keadaan kekasihku.

Kulirik mereka satu-per-satu, bahkan aku mulai sadar, kalau diriku dan sosok yang berada di pelukanku tengah dikerubuni banyak siswa-siswi yang satu sekolah denganku. Mereka terlihat gusar, bahkan ada yang sampai menitikan air mata. “CEPAT PANGGILAN AMBULAN..” Kembali, aku berteriak.

“Baik, Nak. Sabar..” sahut salah seorang dari mereka.

“Bagaimana bisa aku—”

Tiba-tiba, kurasakan gelagat jari-jemarinya yang bergerak bersentuhan dengan jari-jemariku. “Zul…”

Kuseka air mataku, lalu menatap lekat matanya. “Sabar, Daiva.. kamu akan baik-baik saja. Everything will be okay, honey. Please, jangan tutup matamu. Aku mohon, bertahanlah..” lirihku.

Ia semakin mengeratkan genggamannya. “Zul.. Zulfaqar.. Ash.. Sa.. Sa.. Ash Sadiq.. Zulfaqar Ash Sadiq..” ia terbata-bata. “Aku mencintaimu, Zul. Begitu mencintaimu, Zul. Aku..”

“Jangan katakan apapun. Kamu sudah terlalu banyak berbicara. Sayang, kamu akan baik-baik saja. Aku mencintaimu, dan aku akan selalu menjagamu. Bertahanlah!”

“Tak bisa..”

Kulihat pelipis dan ujung bibirnya yang dipenuhi cairan merah. Aku membuang muka. Tak bisa melihat sosok yang begitu aku cintai semengenaskan ini.

“Aku tak bisa bertahan, Zul..”

“Tidak…!!! Kamu harus bertahan, Sayang. Bertahanlah!”

“Zul ?,” tanyanya dengan nada begitu pelan.

“Iya, Sayang ? Aku mendengarmu..”

“Cita.. apa.. cita.. apa.. apa cita-citamu, Zul ?.”

Jleb!

Pertanyaan yang tak begitu lancar ia lisankan itu berhasil membuat genangan air di mataku tak tertahan. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku masih memiliki hutang teramat besar padanya. Ya Tuhan!

“Zul ?,”

“Iya, Sayang?”

“Cita.. cita..”

“Aku ingin menjadi seorang penulis novel. Jadi, bertahanlah. Suatu saat, aku akan membuatmu bangga dengan tulisanku. Aku berjanji.” Sungutku.

“Akan kusimpan janjimu itu, Zul.”

Kedua elok matanya menurun, ia nampak siap memejamkan matanya. “Kembali berkawan-lah dengan Dasta. Aku mohon, Zul..”

Aku membuang muka. “Bertahanlah, Sayang. Bertahan—”

“Aku mencintaimu, Zul..” kini, kedua matanya benar-benar terpejam.

“Daiva.. Daiva.. bangun, Sayang.. bangun..!!!!!”

Tiba-tiba, kurasakan tangan seseorang menyentuh pundakku. “Yang sabar, Nak. Ikhlaskan kepergiannya. Biar dia tenang di alam sana..”


***


Beginikah rasanya dibendung gejolak berlabel rindu ? Beginikah rasanya dibalut selimut berlabel kehilangan ? Beginikah rasanya ditelanjangi oleh rasa bersalah atas kepergiannya ? Beginikah rasanya dipecundangi rasa cintaku yang tak terbantahkan untuknya ? Beginikah rasanya berujar ‘aku mencintaimu..’, namun sosok yang  kutuju tak leluasa elok mataku lihat ?

Gejolak berlabel rindu ini senantiasa menggerogoti liang kewarasanku. Tentang sosoknya, senyum manisnya, sumur kecil di kedua pipinya, dan semuanya. Selimut berlabel kehilangan ini terus-menerus menyandera hati nan’ sanubariku. Aku kehilangan sosoknya, tapi, tidak cintanya. Ditelanjangi oleh rasa bersalah yang teramat ? Cukup aku yang tahu dan paham atas itu.

Ya Tuhan, diriku benar-benar merasa dipecundangi oleh rasa cintaku yang begitu besar pada sosoknya. Diriku sungguh tak bisa untuk melupakan segenap kenangan manis antara aku dan dirinya, Daiva Elzira.

Daiva-ku...

Begitu menyakitkan ketika seseorang yang begitu kita harapkan agar mendengarkan kata ‘aku mencintaimu’ yang kita tunjukan padanya, namun seseorang itu tak bisa kita lihat secara langsung. Rasa sakit nan’ pedih itu berlipat ganda, tat kala, diriku mulai menyadari kalau salah satu alasan kepergian tragisnya itu adalah karena diriku. Sosok pecundang yang begitu mencintainya.

Namun, diriku selalu ingat akan janjiku pada Daiva. ‘Aku ingin menjadi seorang penulis novel. Jadi, bertahanlah. Suatu saat, aku akan membuatmu bangga dengan tulisanku. Aku berjanji.’

Janjiku itu akan selalu kuingat. Janjiku itu akan aku iklarkan dengan karya tulisku kelak, Daiva. Aku berjanji. Mungkin dengan begitu, di alam sana, dirimu akan merasa begitu bangga akan diriku.

‘Tunggulah aku menunaikan janjiku, Daiva Elzira.’ Batinku.

Lalu bagaimana dengan sosok keparat, Dasta Alkata ?

Sesuai permintaanya, aku dan Dasta kembali menjadi sepasang kawan yang saling memeluk satu sama lain ketika kesedihan merangkak masuk dalam diri kami. Dasta Alkata adalah kawanku. Zulfaqar Ash Sadiq adalah kawan-nya. Kami kembali berkawan.

Terakhir untuknya,

Daiva Elzira, kamu adalah sahaja di hidupku. Seperti halnya novel berjudul Cita-Cita Sang Sahaja yang sempat kamu baca. Aku mencintaimu.




The End