“Maafkan aku, Risa.
Aku ingin mengakhiri
hubungan kita yang
sudah tak jelas
ini..” Cakapnya setelah
beberapa menit mendiamkan
diri sembari menatap
kedua bola mata
indahku. Aku bingung,
apa yang sedang
ia terawang dari mataku ?
Sosok pria bernama
lengkap Rio Agustian
itu masih setia
menatapku. Menyidik tiap
jengkal wajah ovalku.
Sekali lagi aku
merasa bingung nan’
bimbang. Apa yang
sedang ia terawang
dari wajahku ? Aku masih
menunggu jawaban dari
pertanyaanku itu.
Kulihat, ia siap
membuka mulut, “Sekali
lagi. Aku minta
maaf karena sudah terlalu sering melukai hatimu.
Tolong maafkan aku,
Ris!” Ungkapnya lagi.
Aku cukup prustasi
dengan cara Rio
menatapku. Seperti menyampaikan
sebuah pesan yang aku
tidak tahu pesan
apakah itu. Aku
masih menunggu sebuah
jawaban dari ketidak-tahuanku.
Pagi ini—tepat hari
sabtu, ia mengajakku untuk
bertemu di salah satu taman
yang jaraknya tidak
jauh dari tempat
tinggalku. Sepanjang perjalanan,
organ kewarasanku terus
saja memikirkan sosok
pria yang memang
beberapa kali pernah
mengajakku mengakhiri hubungan
asmara antara kami.
Ya, hampir empat
kali, mungkin lima
kali andai hari
ini Rio sungguh
ingin putus denganku,
wanita 20 tahun
yang pertama kali
ia temui di
taman ini.
Yup,
taman yang sekarang
tengah kaki kami
tapakki. Taman penuh
kenangan sekaligus kesakitan.
Pertemuan pertama kami,
saat umurku masih
delapan belas tahun.
Saat itu, diriku
masih buta akan
yang namanya cinta
dan hubungan asmara.
Rio menghampiriku yang
sedang duduk di
salah satu kursi
panjang bersama sohibku.
Kala itu, kami
sedang menikmati sejuknya
sore hari di
taman bernama ‘Asma Taman’.
Ketika aku menoleh
ke samping dan
bertanya pada sohibku,
“Tik, cinta itu
apa sih ?
Terus, apa menjalin
hubungan asmara dengan
seseorang itu mengasyikan
?” Itulah pertanyaan
yang langsung keluar
dari mulutku.
Sohib yang ku’panggil Tik itu
merespon pertanyaan konyolku
dengan sebuah senyuman
manis, sembari bertutur,
“Kamu ingin tahu, Ris ?”
Aku mengangguk. “Kamu
akan tahu jawabannya
sendiri. Maksudku, sebentar
lagi, kamu akan
menemukan sosok pria
yang akan mengukir
takdir cintamu, Ris.
Aku yakin!” Kalimat
itu berhasil membuatku
terkekeh sekaligus tersipu
malu. Refleks, aku
menundukkan kepala.
Aku masih menunduk. Beberapa detik berlalu, mataku yang tadinya
menatap hamparan rumput hijau, kini dibuat terkejut saat mendapati sepasang
sandai elit yang entah bermerek apa, tengah bertubrukan dengan kedua bola
mataku. Seseorang tengah menginjakkan kaki beralaskan sandal elitnya tepat di rumput
hijau yang tengah aku tela’ah. Mataku menyipit, aku nyaris terkekeh ketika
melihat dua jempol kakinya bergerak tak karuan. “AW…!” Itu suara berasal dari
mulutku—tepatnya, respon setelah sohibku menyenggol sisi perutku dengan
sikunya.
“Jangan nunduk mulu. Lekas lihat seseorang di depanmu!” Pekik Tika.
Lebih kearah bisikkan yang bisa seseorang di depanku dengar. Setelah itu, aku
mengkeataskan wajahku.
“Aku Rio.. lebih tepatnya Rio Agustian. Kamu bisa panggil aku Rio.”
Kalimat itu meluncur dari mulut seseorang bernama lengkap Rio Agustian sembari
tersenyum manis. Bahkan, aku bisa melihat lesung pipinya secara jelas. Saat itu
pula, aku kagum akan sosoknya. Maksudku, selain kagum akan ketampanan
rupanya—bagaimana tidak ? Postur tubuh jangkung nan’ kurus, diimbangi dengan
kulit putihnya, serta matanya yang agak sipit, diperindah dengan
rambut hitam pekat potongan mohak yang berhasil membekukan indera
penglihatanku. Ya, saat itu juga, aku terpukau akan sosoknya. Selain itu, aku
juga dibuat terpukau dengan keberanian, kepercaya-dirian dan juga kesopanan si
pria. Tanpa rasa malu nan’ gengsi, ia langsung memperkenalkan sosoknya sembari
menjulurkan tangan kanannya. Kala itu, tanganku masih ragu untuk bersikap ramah
pada tangan Rio.
“Kenapa menatapku seperti itu ? Hey… apa aku boleh meminta sekaligus
menyimpan nomor hapemu ?.” Tegasnya lagi.
Entah sadar atau tidak, entah waras atau tidak, entah gila atau tidak.
Yang jelas, mulutku langsung sibuk menyebutkan beberapa nomor. Ya, aku telah
membiarkannya untuk lebih mengenalku.
Dan sampai sekarang, aku tidak pernah menyesali ketidak-warasanku itu.
Ketidak-warasan yang membuatku lebih terpukau akan sosok Rio. Ya, aku
mencintainya. Ia pun begitu mencintaiku. Aku yakin itu!
“Apa setelah ini, akan ada kata ‘nyambung’ lagi ? Apa setelah ini,
kamu akan menjadikanku sebagai kekasihmu lagi ? Apa setelah ini, kamu akan
memelukku lagi, Rio ? Apa setelah ini kam—“
“Jangan menangis, Risa. Aku mohon padamu.. Aku tak sang—“
“Tak sanggup melihatku menangis ? Aku ragu akan itu..” Potongku dengan
nada yang mungkin membuat Rio tercabik-cabik. Aku juga tahu kalau ia begitu
mencintaiku, tapi yang aku sesalkan adalah, kata putus yang dengan mudah ia
ucapkan padaku.
“Maksudmu ?,”
“Ya, aku ragu kalau kamu benar-benar tak sanggup melihatku menangis.
Mungkin maksudmu adalah, kamu tak sanggup, bahkan enggan untuk mengelap tetesan
air mataku. Begitu ?.” Bodoh memang. Setelah mulutku sukses menyemburkan
kalimat menyedihkan itu, aku malah mendapati diriku tengah menangis sembari
menatap sendu sosok jangkung di depanku. Pria tampan yang begitu sering
membuatku tersenyum bahagia sekaligus menggoreskan luka di detik yang sama.
Rio, kamu Jahannam!
Ia mengelap tetesan air bening di wajahku. Jujur, aku merasa nyaman
akan perlakuannya. “Ini cukup membuktikan bahwa aku SANGAT sanggup mengelap air
matamu, Risa. Aku sangat murka akan diriku sendiri. Aku sungguh tercabik saat
melihatmu menangis. Lebih parah, saat mengetahui bahwa alasanmu menangis
dan menahan luka adalah karena aku. Mengertilah!” Yatuhan, aku melihat binar
matanya. Ia sungguh berkaca-kaca.
“Apa yang harus aku mengerti ? Kamu memang Jahannam, Rio. Sudah empat
kali kamu memutuskan hubungan kita. Dan empat kali itu juga, kamu menyambung
hubungan asmara kita. Yang lebih bodohnya lagi adalah, dengan tololnya, aku
menerima begitu saja. Ya, aku memang memujamu. Aku begitu mencintaimu, Rio..,
berhentilah bermain dengan hatiku. Tolong!”
Rio membuang muka. “Aku ingin kita putus. Itu saja..” Ia tak
melanjutkan ucapannya. Entah apa yang sekarang ada dalam benaknya. Aku masih
bisa melihat secercah air bening di mata sipitnya. Aku yakin, Rio sungguh
berkaca-kaca. “Aku janji. Meskipun ini sakit.., aku takkan lagi mencarimu dan
memohon padamu agar hubungan kita bisa menyambung lagi. Mungkin, ini adalah
akhir dari cerita cinta kita yang tidak
jelas ini.” Tutupnya. Aku bisa mendengar kesungguhannya.
“Aku.., aku..,” Yatuhan, ada apa dengan kewarasanku ? Mengapa mataku
dengan membabi buta, terus saja mengeluarkan air mata ?
“Risa ? Aku mohon..,”
“Ak.., aku—“
KLUP !!!
“Aku teramat mencintaimu, Ris. Bahkan, kamu adalah sosok wanita
terbaik yang pernah aku kenal dan pacari. Sungguh!”
“Jangan berdusta!”
“Aku tidak pernah berdusta dengan kata-kata yang aku tuturkan padamu,
Risa…”
Aku masih tentram di dalam pelukannya. Di dalam dekapan hangat
tubuhnya yang diselimuti T-Shirt warna hitam pekat –dengan tulisan ‘BITCH
PLEASE’ di area dada, beserta jaket kulit warna senada. Tangisku tak
bertahan lama.
Aku menatap bagian bawah tubuhnya. Oh Tuhan, aku ingat, jeans yang ia
pakai sekarang adalah salah satu kado ulang tahunnya dariku. Aku ingat, aku
memberikannya tepat di taman ini. Taman penuh hasrat asmara.
Entah mengapa, tubuhku begitu betah untuk terus berlama-lama dalam
peluk hangatnya. Rio, jikalau benar, hari ini adalah hari putusnya hubungan
kita tanpa dibuntuti dengan kata ‘nyambung’ lagi, aku ikhlas. Tidak.., tidak,
aku berbohong. Aku tak benar-benar ikhlas. Aku terlanjur mencinta!
“Aku harap, kamu bisa menemukan sosok pria yang tidak lebih tampan dan
baik dariku. Aku tak rel–“
“Dasaaar…”
“AW!!!” itu suaranya dari mulutnya. Tepat saat jemariku mencubit
perutnya.
“Bercanda kok. Aku yakin, kamu akan menemukan sosok pria yang lebih
bisa membuat harimu ba’ di surga. Selalu
gembira dan tertawa renyah–“
“Bukannya saat bersamamu pun, aku selalu bahagia dan tertawa renyah
?,” potongku. Aku tahu, Rio sedang beromong kosong. Aku tahu sifatnya!
“Ak. . . Ak. . Aku–“
“Sudahlah…, aku hanya ingin tahu alasan mengapa kamu ingin memutuskan hubungan
kita. Tanpa kata nyambung lagi…”
tuturku. Berada dalam pelukannya sungguh membuatku candu. Aku begitu suka aroma
tubuh dan aroma perfumenya. Sungguh, wajah cantikku masih bermanja ria dibawah
ketiaknya. Aku suka aroma perpaduan antara keringat dan deodorant yang ia
pakai. Aku mencintai segalanya yang ada pada diri Rio.
“Kamu membuatku cantu, Rio Agustian. Candu yang membuatku semakin
betah berada dalam pelukanmu…” aku menikmati cara Rio memeluk tubuh mungilku.
“Omong-omong, aku belum mandi lho…, sekedar basuh muka..”
“Aku tak perduli.” Bahkan, hidungku begitu enggan untuk membaui aroma ‘belum mandi’ nya. Bagiku, ia sangat
harum.
Tiba-tiba, ia melepaskan pelukannya. Dan sekarang, kedua tangannya
hinggap di pundakku. Sedikit mencondongkan tubuhnya, “Aku akan menikah dengan
sosok pilihan kedua orang tuaku. Maaf!”
Aku berdehem, “Oh,”
“Hanya itu ? Apa kamu tak merasa sedih dan terluka, Ris ? Hanya OH ?
Aku jadi ragu akan rasa cintamu padaku…, aku–“
“Untuk apa aku menangis ? Toh, mau nangis atau tidak, mau terluka atau
tidak, mau aku mati atau tidak, kamu akan tetap menikahi wanita pilihan orang
tuamu. Iyakan ?” aku memotong kalimatnya. Aku sadar, aku adalah sosok miskin
yang numpang berkelana di kehidupan indahnya. Aku sosok miskin yang tidak
sengaja hinggap di ulu hatinya. Dulu, tanganku terlalu erat menggenggam
tangannya, sampai-sampai, batinku terasa begitu terisak saat ia mengucap kata
putus padaku. Tapi saat beberapa menit yang lalu, saat Rio memeluk tubuh
mungilku, aku sadar, aku harus merenggangkan bahkan melepaskan genggaman
tangannya. Perlahan!
“Aku tidak salah melabuhkan hasrat cintaku pada sosok wanita
sepertimu, Risa Laila.., kamu adalah wanita terindah yang pernah mengusik dan
hinggap di hatiku, Ris. Aku mencintaimu…, sungguh!”
“Aku percaya..” kuberikan senyum termanis pada sosok di depanku.
Oh Tuhan.., apa itu ? Apa Rio sungguh menangis ?
“Bolehkan aku memelukmu lagi, Ris ? Untuk yang terakhir kali…” Rio
mengusap pelan rambut panjangku yang mulai berantakan. “Pagi hari.., tapi
anginnya sudah sekencang ini. Rambutmu jadi berantakan..” kulihat, air matanya
jatuh dan melanglang-buana di udara. Aku bisa melihatnya.
“Boleh.” Satu kata saja. Satu kata yang membuat pertahanan indera
penglihatanku lunglai seketika. Aku menangis!
KLUPPP
Pelukannya kali ini
terasa seperti pelukan
penuh luka. Rio mengusap pangkal rambutku, “Aku akan
menjaga hatiku agar tetap mencintai sosokmu, Ris… aku janji!”
“Aku percaya…”
Rio merenggangkan tubuhnya. Sekarang ia hendak bergegas. Dan perlahan,
sosok jangkungnya sudah tak terlihat lagi. Langkah kakinya begitu cepat.
“Aku menyesal karena tak sempat menyuruhmu untuk berjalan dengan
langkah perlahan, Rio…” Lirihku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar