Jumat, 25 Maret 2016

Antara Aku dan Agustian



“Maafkan  aku,  Risa.  Aku  ingin  mengakhiri  hubungan  kita  yang  sudah tak  jelas  ini..”  Cakapnya  setelah  beberapa  menit  mendiamkan  diri  sembari  menatap  kedua  bola  mata  indahku.  Aku  bingung,  apa  yang  sedang  ia terawang  dari  mataku ?

Sosok  pria  bernama  lengkap  Rio  Agustian  itu  masih  setia  menatapku.  Menyidik  tiap  jengkal  wajah  ovalku.  Sekali  lagi  aku  merasa  bingung  nan’  bimbang.  Apa  yang  sedang  ia  terawang  dari  wajahku  ?  Aku  masih  menunggu  jawaban  dari  pertanyaanku  itu.

Kulihat,  ia  siap  membuka  mulut,  “Sekali  lagi.  Aku  minta  maaf  karena  sudah terlalu sering melukai hatimu. Tolong  maafkan  aku,  Ris!” Ungkapnya  lagi.

Aku  cukup  prustasi  dengan  cara  Rio  menatapku.  Seperti menyampaikan  sebuah  pesan  yang aku  tidak  tahu  pesan  apakah  itu.  Aku  masih  menunggu  sebuah  jawaban dari  ketidak-tahuanku.

Pagi  ini—tepat  hari  sabtu,  ia mengajakku  untuk  bertemu  di salah satu  taman  yang  jaraknya  tidak  jauh  dari  tempat  tinggalku.  Sepanjang  perjalanan,  organ  kewarasanku  terus  saja  memikirkan  sosok  pria  yang  memang  beberapa  kali  pernah  mengajakku  mengakhiri  hubungan  asmara  antara  kami.  Ya,  hampir  empat  kali,  mungkin  lima  kali  andai  hari  ini  Rio  sungguh  ingin  putus  denganku,  wanita  20  tahun  yang  pertama  kali  ia  temui  di  taman  ini. 

Yup,  taman  yang  sekarang  tengah  kaki  kami  tapakki.  Taman  penuh  kenangan  sekaligus  kesakitan.

Pertemuan  pertama  kami,  saat  umurku  masih  delapan  belas  tahun.  Saat  itu,  diriku  masih  buta  akan  yang  namanya  cinta  dan  hubungan  asmara.  Rio  menghampiriku  yang  sedang  duduk  di  salah  satu  kursi  panjang  bersama  sohibku.  Kala  itu,  kami  sedang  menikmati  sejuknya  sore  hari  di  taman  bernama  ‘Asma Taman’.  Ketika  aku  menoleh  ke  samping  dan  bertanya  pada  sohibku,  “Tik,  cinta  itu  apa  sih  ?  Terus,  apa  menjalin  hubungan  asmara  dengan  seseorang  itu  mengasyikan  ?”  Itulah  pertanyaan  yang  langsung  keluar  dari  mulutku.

Sohib  yang ku’panggil  Tik  itu  merespon  pertanyaan  konyolku  dengan  sebuah  senyuman  manis,  sembari  bertutur,  “Kamu  ingin  tahu, Ris ?”  Aku  mengangguk.  “Kamu  akan  tahu  jawabannya  sendiri.  Maksudku,  sebentar  lagi,  kamu  akan  menemukan  sosok  pria  yang  akan  mengukir  takdir  cintamu,  Ris.  Aku  yakin!”  Kalimat  itu  berhasil  membuatku  terkekeh  sekaligus  tersipu  malu.  Refleks, aku menundukkan  kepala.

Aku masih menunduk. Beberapa detik berlalu, mataku yang tadinya menatap hamparan rumput hijau, kini dibuat terkejut saat mendapati sepasang sandai elit yang entah bermerek apa, tengah bertubrukan dengan kedua bola mataku. Seseorang tengah menginjakkan kaki beralaskan sandal elitnya tepat di rumput hijau yang tengah aku tela’ah. Mataku menyipit, aku nyaris terkekeh ketika melihat dua jempol kakinya bergerak tak karuan. “AW…!” Itu suara berasal dari mulutku—tepatnya, respon setelah sohibku menyenggol sisi perutku dengan sikunya.

“Jangan nunduk mulu. Lekas lihat seseorang di depanmu!” Pekik Tika. Lebih kearah bisikkan yang bisa seseorang di depanku dengar. Setelah itu, aku mengkeataskan wajahku.

“Aku Rio.. lebih tepatnya Rio Agustian. Kamu bisa panggil aku Rio.” Kalimat itu meluncur dari mulut seseorang bernama lengkap Rio Agustian sembari tersenyum manis. Bahkan, aku bisa melihat lesung pipinya secara jelas. Saat itu pula, aku kagum akan sosoknya. Maksudku, selain kagum akan ketampanan rupanya—bagaimana tidak ? Postur tubuh jangkung nan’ kurus, diimbangi dengan kulit putihnya, serta matanya yang agak sipit, diperindah  dengan  rambut hitam pekat potongan mohak yang berhasil membekukan indera penglihatanku. Ya, saat itu juga, aku terpukau akan sosoknya. Selain itu, aku juga dibuat terpukau dengan keberanian, kepercaya-dirian dan juga kesopanan si pria. Tanpa rasa malu nan’ gengsi, ia langsung memperkenalkan sosoknya sembari menjulurkan tangan kanannya. Kala itu, tanganku masih ragu untuk bersikap ramah pada tangan Rio.

“Kenapa menatapku seperti itu ? Hey… apa aku boleh meminta sekaligus menyimpan nomor hapemu ?.” Tegasnya lagi.

Entah sadar atau tidak, entah waras atau tidak, entah gila atau tidak. Yang jelas, mulutku langsung sibuk menyebutkan beberapa nomor. Ya, aku telah membiarkannya untuk lebih mengenalku.

Dan sampai sekarang, aku tidak pernah menyesali ketidak-warasanku itu. Ketidak-warasan yang membuatku lebih terpukau akan sosok Rio. Ya, aku mencintainya. Ia pun begitu mencintaiku. Aku yakin itu!

“Apa setelah ini, akan ada kata ‘nyambung’ lagi ? Apa setelah ini, kamu akan menjadikanku sebagai kekasihmu lagi ? Apa setelah ini, kamu akan memelukku lagi, Rio ? Apa setelah ini kam—“

“Jangan menangis, Risa. Aku mohon padamu.. Aku tak sang—“

“Tak sanggup melihatku menangis ? Aku ragu akan itu..” Potongku dengan nada yang mungkin membuat Rio tercabik-cabik. Aku juga tahu kalau ia begitu mencintaiku, tapi yang aku sesalkan adalah, kata putus yang dengan mudah ia ucapkan padaku.

“Maksudmu ?,”

“Ya, aku ragu kalau kamu benar-benar tak sanggup melihatku menangis. Mungkin maksudmu adalah, kamu tak sanggup, bahkan enggan untuk mengelap tetesan air mataku. Begitu ?.” Bodoh memang. Setelah mulutku sukses menyemburkan kalimat menyedihkan itu, aku malah mendapati diriku tengah menangis sembari menatap sendu sosok jangkung di depanku. Pria tampan yang begitu sering membuatku tersenyum bahagia sekaligus menggoreskan luka di detik yang sama. Rio, kamu Jahannam!

Ia mengelap tetesan air bening di wajahku. Jujur, aku merasa nyaman akan perlakuannya. “Ini cukup membuktikan bahwa aku SANGAT sanggup mengelap air matamu, Risa. Aku sangat murka akan diriku sendiri. Aku sungguh tercabik  saat  melihatmu menangis. Lebih parah, saat mengetahui bahwa alasanmu menangis dan menahan luka adalah karena aku. Mengertilah!” Yatuhan, aku melihat binar matanya. Ia sungguh berkaca-kaca.

“Apa yang harus aku mengerti ? Kamu memang Jahannam, Rio. Sudah empat kali kamu memutuskan hubungan kita. Dan empat kali itu juga, kamu menyambung hubungan asmara kita. Yang lebih bodohnya lagi adalah, dengan tololnya, aku menerima begitu saja. Ya, aku memang memujamu. Aku begitu mencintaimu, Rio.., berhentilah bermain dengan hatiku. Tolong!”

Rio membuang muka. “Aku ingin kita putus. Itu saja..” Ia tak melanjutkan ucapannya. Entah apa yang sekarang ada dalam benaknya. Aku masih bisa melihat secercah air bening di mata sipitnya. Aku yakin, Rio sungguh berkaca-kaca. “Aku janji. Meskipun ini sakit.., aku takkan lagi mencarimu dan memohon padamu agar hubungan kita bisa menyambung lagi. Mungkin, ini adalah akhir dari cerita cinta  kita yang tidak jelas ini.” Tutupnya. Aku bisa mendengar kesungguhannya.

“Aku.., aku..,” Yatuhan, ada apa dengan kewarasanku ? Mengapa mataku dengan membabi buta, terus saja mengeluarkan air mata ?

“Risa ? Aku mohon..,”

“Ak.., aku—“

KLUP !!!

“Aku teramat mencintaimu, Ris. Bahkan, kamu adalah sosok wanita terbaik yang pernah aku kenal dan pacari. Sungguh!”

“Jangan berdusta!”

“Aku tidak pernah berdusta dengan kata-kata yang aku tuturkan padamu, Risa…”

Aku masih tentram di dalam pelukannya. Di dalam dekapan hangat tubuhnya yang diselimuti T-Shirt warna hitam pekat –dengan tulisan ‘BITCH PLEASE’ di area dada, beserta jaket kulit warna senada. Tangisku  tak  bertahan  lama.

Aku menatap bagian bawah tubuhnya. Oh Tuhan, aku ingat, jeans yang ia pakai sekarang adalah salah satu kado ulang tahunnya dariku. Aku ingat, aku memberikannya tepat di taman ini. Taman penuh hasrat asmara.

Entah mengapa, tubuhku begitu betah untuk terus berlama-lama dalam peluk hangatnya. Rio, jikalau benar, hari ini adalah hari putusnya hubungan kita tanpa dibuntuti dengan kata ‘nyambung’ lagi, aku ikhlas. Tidak.., tidak, aku berbohong. Aku tak benar-benar ikhlas. Aku terlanjur mencinta!

“Aku harap, kamu bisa menemukan sosok pria yang tidak lebih tampan dan baik dariku. Aku tak rel–“

“Dasaaar…”

“AW!!!” itu suaranya dari mulutnya. Tepat saat jemariku mencubit perutnya.

“Bercanda kok. Aku yakin, kamu akan menemukan sosok pria yang lebih bisa membuat harimu  ba’ di surga. Selalu gembira dan tertawa renyah–“

“Bukannya saat bersamamu pun, aku selalu bahagia dan tertawa renyah ?,” potongku. Aku tahu, Rio sedang beromong kosong. Aku tahu sifatnya!

“Ak. . . Ak. . Aku–“

“Sudahlah…, aku hanya ingin tahu alasan mengapa kamu ingin memutuskan hubungan kita. Tanpa kata nyambung lagi…” tuturku. Berada dalam pelukannya sungguh membuatku candu. Aku begitu suka aroma tubuh dan aroma perfumenya. Sungguh, wajah cantikku masih bermanja ria dibawah ketiaknya. Aku suka aroma perpaduan antara keringat dan deodorant yang ia pakai. Aku mencintai segalanya yang ada pada diri Rio.

“Kamu membuatku cantu, Rio Agustian. Candu yang membuatku semakin betah berada dalam pelukanmu…” aku menikmati cara Rio memeluk tubuh mungilku.

“Omong-omong, aku belum mandi lho…, sekedar basuh muka..”

“Aku tak perduli.” Bahkan, hidungku begitu enggan untuk membaui aroma ‘belum mandi’ nya. Bagiku, ia sangat harum.

Tiba-tiba, ia melepaskan pelukannya. Dan sekarang, kedua tangannya hinggap di pundakku. Sedikit mencondongkan tubuhnya, “Aku akan menikah dengan sosok pilihan kedua orang tuaku. Maaf!”

Aku berdehem, “Oh,”

“Hanya itu ? Apa kamu tak merasa sedih dan terluka, Ris ? Hanya OH ? Aku jadi ragu akan rasa cintamu padaku…, aku–“

“Untuk apa aku menangis ? Toh, mau nangis atau tidak, mau terluka atau tidak, mau aku mati atau tidak, kamu akan tetap menikahi wanita pilihan orang tuamu. Iyakan ?” aku memotong kalimatnya. Aku sadar, aku adalah sosok miskin yang numpang berkelana di kehidupan indahnya. Aku sosok miskin yang tidak sengaja hinggap di ulu hatinya. Dulu, tanganku terlalu erat menggenggam tangannya, sampai-sampai, batinku terasa begitu terisak saat ia mengucap kata putus padaku. Tapi saat beberapa menit yang lalu, saat Rio memeluk tubuh mungilku, aku sadar, aku harus merenggangkan bahkan melepaskan genggaman tangannya. Perlahan!

“Aku tidak salah melabuhkan hasrat cintaku pada sosok wanita sepertimu, Risa Laila.., kamu adalah wanita terindah yang pernah mengusik dan hinggap di hatiku, Ris. Aku mencintaimu…, sungguh!”

“Aku percaya..” kuberikan senyum termanis pada sosok di depanku.

Oh Tuhan.., apa itu ? Apa Rio sungguh menangis ?

“Bolehkan aku memelukmu lagi, Ris ? Untuk yang terakhir kali…” Rio mengusap pelan rambut panjangku yang mulai berantakan. “Pagi hari.., tapi anginnya sudah sekencang ini. Rambutmu jadi berantakan..” kulihat, air matanya jatuh dan melanglang-buana di udara. Aku bisa melihatnya.

“Boleh.” Satu kata saja. Satu kata yang membuat pertahanan indera penglihatanku lunglai seketika. Aku menangis!

KLUPPP

Pelukannya  kali  ini  terasa  seperti  pelukan  penuh  luka.  Rio mengusap pangkal rambutku, “Aku akan menjaga hatiku agar tetap mencintai sosokmu, Ris… aku janji!”

“Aku percaya…”

Rio merenggangkan tubuhnya. Sekarang ia hendak bergegas. Dan perlahan, sosok jangkungnya sudah tak terlihat lagi. Langkah kakinya begitu cepat.

“Aku menyesal karena tak sempat menyuruhmu untuk berjalan dengan langkah perlahan, Rio…” Lirihku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar