Minggu, 10 April 2016

GEJOLAK JUM'AT



***

Maaf, kalau banyak typo. Demi apapun, awalnya aku sangat bersemangat menulis cerita oneshoot ini. Tapi, suatu hal membuat moodku kacau, dan mungkin membuat kalian terheran-heran dengan cerita ini. But, enjoy it, please!


***



Tidak terasa, sudah lebih satu tahun lamanya aku menetap di kota kembang, Bandung. Selama itu juga, diriku tidak pernah sedetikpun merindukan kota kelahiranku. Kota di mana diriku mendapatkan belayan hangat dari tangan kedua orang tuaku, di sana aku telah melalui berbagai suka-duka-pahit-manis kehidupan, juga, di sana diriku menghabiskan seluruh waktuku saat masih berstatus bocah ingusan sampai remaja belasan tahun, dan tak lupa, di sana juga diriku merasakan arti kehilangan yang begitu menguras hati dan nuraniku ketika kedua orang tuaku meninggal dunia secara serempak dan bebarengan. Oh Tuhan, luka dan kepedihan itu masih menyala di ulu hatiku. Maksudku, aku sedikit kesal dengan fakta bahwa kedua orang tuaku menghadapi kematiannya secara tragis.

Di tabrak truk saat mereka sedang memadu kasih di jalan raya. Mereka benar-benar saling mencintai, bahkan ketika tubuh mereka terhempas ke sembarang tempat setelah tubrukan dari truk sialan itu, tangan ibu dan ayahku masih menggenggam satu sama lain. Aku merindukan mereka!

Yaitu, Jakarta. Ibu Kota yang terkenal dengan hingar-bingarnya. Kota di mana baik siang maupun malam, tidak akan pernah terasa sepi. Ya, Jakarta memang selalu ramai.

Setelah kedua orang tuaku meninggal, aku langsung hijrah ke kota Bandung. Tak ada alasan khusus yang melatar-belakangi keinginanku untuk pindah ke Bandung, aku hanya ingin menata kehidupan yang lebih baik di sini, di Bandung. Ayah maupun Ibu tidak memiliki banyak kerabat, sebab mereka adalah anak tunggal dari dua bersaudara-saudari. Takdir memang indah, dan takdir juga yang telah mempertemukan mereka dengan banyak kesamaan. Selain sama-sama berstatus anak tunggal, masih banyak kesamaan yang lain, seperti ; sama-sama pintar di mata pelajaran Bahasa Inggris, sama-sama gemar membaca Novel, sama-sama penggila nomor satu, dan masih banyak segelumit kesamaan yang berhasil menyatukan cinta mereka. Aku jadi ingat kalimat yang pernah ibu tuturkan padaku, "Cinta itu bak madu, yang manisnya bisa membuat kita menggila dan dibuat ketagihan. Namun, terkadang cinta juga bisa menjadi sosok racun perenggut angan bahagia. Jadi, jangan bermain-main perihal cinta nan' asmara." Sampai sekarang, aku masih bingung dan tak begitu mengerti dengan kalimat itu.

Seingatku, aku datang ke sini pada tanggal 20 Februari 2015. Dengan bermodalkan uang tujuh-ratus-ribu, aku hijrah ke sini dengan hati yang bahagia, sebab aku tahu, inilah keinginan kedua orang tuaku. Mereka tak ingin anak semata-wayangnya larut dalam kesedihan yang mendalam hingga tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Yup, karena mereka-lah aku hijrah ke Bandung, juga, karena mereka-lah aku selalu kuat dan tegar dalam menjalani perihnya hidup. Mungkin, kalian bertanya-tanya.. , untuk apa kamu hijrah ke Bandung ? Dengan siapa kamu di Bandung ? Di mana kamu menetap ? Pekerjaan apa yang kamu lakoni di kota Bandung ? Apa tidak pernah merasa kesepian ?

Baiklah, aku akan mencoba untuk menjawab pertanyaan enteng yang mungkin kamu, kamu, dan kamu ajukan padaku.

Yang pertama, dari awal aku sudah menjelaskan bahwa tujuan utamaku pergi ke Bandung adalah karena ingin menata kehidupan yang lebih baik dan layak. Tanpa bermaksud menyinggung, kehidupan Ibu Kota Jakarta beserta hingar-bingarnya membuatku sedikit ragu terhadap masa depanku, apalagi aku hanya bermodalkan ijasah SMP. Entahlah, aku berfikir kalau Bandung adalah kota yang baik untuk aku tempati.

Pertanyaan kedua. Baiklah, aku akan jujur walaupun sedikit menyedihkan. Di Bandung, aku hidup seorang diri. Walau demikian, aku memiliki segerintil kawan yang membuatku betah untuk lebih lama menetap di Bandung.

Next..., aku menetap di salah satu kontrakan yang ada di Bandung. Kontrakan sederhana yang lebih dari cukup untuk satu manusia tinggali. Kontrakan di mana diriku menghabiskan sebagian besar waktuku di sana. Kontrakan itu milik Tante Meta yang super-duper baik sekaligus ke-ibuan. Aku benar-benar tak ada niatan untuk pergi bahkan kabur dari rumah sewaan Tante Meta itu. Selain pemiliknya yang bersahabat, uang yang harus aku keluarkan perbulannya pun cukup bersahabat dengan isi dompetku. Ku-ucapkan terimakasih kepada Tante Meta. Wanita 45 tahun yang sekarang tengah hamil.

Pertanyaan selanjutnya. Untuk ukuran seseorang berijasah SMP sepertiku, rasanya cukup sulit untuk mencari, menemukan lalu mendapatkan satu pekerjaan yang layak. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk memasuki salah satu Agensi Modelling terkemuka di kota Bandung. Beruntung, wajah cantikku berhasil membuat pihak agensi mau untuk menerimaku sebagai salah satu talent mereka. Selain itu, tubuh jangkungku juga patut diperhitungkan.
Pertanyaan selanjutnya-sekaligus terakhir-sekaligus paling sensitif-sekaligus paling aku benci karena statusku yang mungkin bisa membuat kalian tertawa puas.

Tentang kesepian ? Aku cukup kesepian, sebab di sini tak ada sosok spesial yang bisa meminimalisir rasa sepiku. Lajang dan sendiri, itulah diriku. Omong-omong, terimakasih sudah mengingatkan. Jujur saja, sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di tanah Bandung sampai sekarang diriku mulai merasa betah menghirup udara di kota Bandung, aku sama sekali tidak pernah memikirkan persoalan cinta dan pendamping hidup. Sungguh.

Sampai ketika seseorang itu mengusik sanubariku...

Baiklah, berhubung kalian sudah hampir tahu segalanya tentang seluk-beluk kehidupanku, aku akan sedikit bercurhat tentang seseorang. Iya, seseorang yang mengusik sanubariku. Seorang pria berbaju koko. Sosok pria yang satu minggu belakangan ini, sukses membuatku mengingat sosoknya. Dirinya yang kala itu mengenakan baju koko khas muslim, beserta benda hitam di atas kepalanya. Aku tidak terlalu tahu nama benda itu apa.

Adakah dari kalian yang tak keberatan memberitahuku perihal benda apakah itu ? Khususnya bagi para muslim.


***


  Seminggu yang lalu, Jum’at, pukul 12.30 


“Adara, mau berangkat ke mana siang-siang begini ? Mana hawanya panas lagi..,”Baru saja aku mengunci pintu kontrakan dan berjalan dua langkah, ada suara tak asing yang mengusik telingaku. Kutengokkan wajahku ke arah sumber suara tadi berasal. Ke sebelah kanan. Di sana ada Pak Halim, salah satu tetangga yang menurutku begitu ramah. Dia baru pulang dari tempat para muslim beribadah di hari Jum’at. Pak Halim mengenakan baju koko warna hitam pekat serta sarung warna senada. Tangan kanannya memegang gagang pintu, kelihatannya dia baru mau membuka pintu.

“Biasa, Pak, ada pemotretan.., Bapak baru pulang dari mas.. ma... mas–“

“Masjid. Ya begitulah, Dara.., Bapak baru pulang..” potongnya, diakhiri dengan senyuman ramah seperti biasa. “Tapi, Nak.., jangan sekarang berangkatnya. Nanti saja kalau orang-orang yang baru pulang Jum’atan udah pada gak ada.”aku tahu maksud dari nasehat Pak Halim. Risih juga sih berjalan di-iringi gerombolan lelaki yang baru pulang menunaikan ibadah mereka. Kuputar bola mataku ke arah gerombolan lelaki berpakaian koko yang tengah berjalan sembari beradu cakap satu sama lain. Seperti biasa, sepulang beribadah mereka selalu melewati kontrakan ini, kontrakan tempat aku menetap.

Kufokuskan kembali mataku pada sosok Pak Halim, “Iya, Pak, Adara ngerti..,” seruku. Kuputuskan untuk kembali masuk ke rumah.

Saat tubuhku berputar menuju pintu, elok mataku tak sengaja menyidik sosok lelaki tampan nan' rupawan, mengenakan baju koko warna putih bersih dengan sembarang motif di area dada, untuk bawahan, dia mengenakan sarung motif garis warna hitam-putih, dan satu lagi, benda di atas kepalanya berwarna senada dengan baju yang dia kenakan. Dia terlihat begitu tampan sekaligus gagah. Menurut cara pandangku, dia adalah tipe lelaki yang tidak banyak omong. Terlihat dari caranya berjalan beserta matanya yang menatap lurus ke depan, tak ada obrolan dengan manusia di sampingnya. Lelaki itu hanya diam dan berjalan dengan santainya. Kalau boleh jujur, aku suka kulitnya yang putih bersih.

Kini, jemariku tengah sibuk dengan gagang pintu dan kunci di tangan kananku. Pintu sudah terbuka.

Aku berjalan dua langkah, memasuki kontrakan. Dan sekarang, wajahku mendongak di sisi pintu,  menatap sosoknya yang berada sepuluh langkah dari kontrakanku. Dirinya yang beberapa detik tadi berhasil menggoyahkan mataku untuk terus menatap sosoknya.  ‘Oh Tuhan, sebentar lagi dia.., eh maksudku mereka akan lewat ke sini..” batinku. Diam-diam, aku berharap semoga dia menatapku juga.

“Hai Adara..”

“Halo Adara ? Sedang apa ?,”

“Eh ada Adara.. ,”

Pertanyaan nan’ sapaan beruntun dari beberapa lelaki yang barusan melewati kontrakan ini. Ya Tuhan, bodohnya aku. Bahkan, aku benar-benar tidak sadar kalau sedari tadi wajahku melongo di sisi pintu, otomatis mereka bisa melihat sosokku. Kubaca ‘mantra’, semoga mereka tidak menganggapku wanita centil yang sengaja menunggu mereka melewati lima kontrakan yang salah satunya dihuni olehku, dan kebetulan aku menghuni kontrakan nomor akhir.

Aku hanya tersenyum kik’kuk.

‘Dia menatapku sebentar ? Oh Tuhan..,” batinku lagi, aku nyaris loncat saat wajahnya menoleh ke arah sini, bola matanya menatapku beberapa detik, ya mungkin hanya dua detik, setelah itu, dia kembali fokus ke depan. Tak ada senyuman. Tapi tak apa, yang penting dia sudah menatapku. Menatap sosok wanita cantik bernama Adara Maharani.

Kuputuskan untuk menutup pintu, rasanya sekarang aku ingin rebahan di kasur empukku sembari membayangkan dirinya yang tadi menatap singkat wajahku. Kulangkahkan kakiku ke arah kamar, kubuka pintu, lalu berjalan cepat menuju tempat tidur, setelah itu kuhempaskan tubuhku kesana. Ya, sepeti yang kurencanakan. Seprei motif bunga mawar membuatku terbayang-banyang sosoknya. Oh aku lupa, seprei ini sudah satu bulan tidak aku cuci.

Tiba-tiba suara penyanyi yang sekarang tengah naik daun, Ed Sheeran yang menyanyikan lagu fenomenalnya, Thinking Out Loud terdengar, senada dengan getaran di saku celana jeansku. Kini, tanganku sibuk mengubek saku celana. Ternyata panggilan dari Kak Parah.

Aku masih terlentang di tempat tidur. “Iya Kak, ada apa ?.” tanyaku. Kak Parah, wanita blasteran Indo-Belanda memang hampir setiap hari menelponku. Dia selalu mengingatkanku untuk diet-lah, jangan begadang-lah, harus banyak minum-lah, harus sering olahraga-lah, dan masih banyak lagi ocehan dari mulut seksinya itu. Dia juga yang selalu menelponku kalau ada job dadakan, seperti pemotretan dengan seorang Photografer yang Modelnya mendadak kabur karena sesuatu yang tak masuk akal. Terkadang, dunia Modelling itu memang sedikit aneh. Hanya mengingatkan, aku mengabdikan diriku di bidang mode sudah lebih dari satu tahun lamanya, dan aku sangat menikmati itu.

Kak Parah berdehem, “Kamu lupa atau gimana huh ? Hari ini ada pemotretan di taman. Lekas kesini..,”

Tuttt Tutttt Tuttttttttt!!!!

Ya-ampun, aku lupa. Semua ini gara-gara Pak Halim dan pria berbaju koko tadi. Kalau saja Pak Halim tidak menegurku, mungkin saja aku akan langsung bergegas pergi ke taman tempatku melangsungkan pemotretan hari ini. Dan andai si pria tak dikenal itu tak melewati kontrakan ini, mungkin saja kewarasanku tak akan betah untuk terus memikirkan sosoknya sampai-sampai membuatku lupa tentang schedule-ku hari ini. Lihat saja Pak Halim, aku akan balas dendam padamu. Aku akan mengadu kepada istrimu, Mba Sinta agar sosokmu tidak menegurku lagi. Dan untuk si pria berbaju koko, aku akan membalas dendam dengan tidak menatapmu lagi. Camkan itu!

“Oh Tuhan, mengapa aku malah membayangkan hal-hal gila..,”omelku pada diriku sendiri. Kuputuskan untuk bangun dari kasur empukku.

Baru saja tangan kananku menjangkau gagang pintu, aku teringat sesuatu. “Oh Tuhan, aku belum bercermin..” dengan cepat kulangkah-kan kakiku menuju lemari yang memiliki cermin di tengahnya. Sekedar mengingatkan, lemari yang tingginya hampir sama dengan sang empu-nya itu berjarak satu langkah dari tempat tidurku. Di samping kiri.

Kutatap sosokku di cermin. Tinggi 168 sentimeter, kulit putih bersih, rambut hitam nan' panjang sejengkal di atas pinggang yang ku-kuncir ke belakang, celana jeans warna hitam, dilengkapi dengan kemeja lengan panjang tanpa motif warna putih yang sedikit kebesaran di badanku. Dan satu lagi, sepatu ber-hak 7 sentimeter yang kukenakan berhasil membuatku semakin jangkung saja.. Oh Tuhan, betapa cantik nan’ indahnya diriku.

Setelah memastikan diriku sudah cukup cantik, ralat, maksudku sangat-sangat cantik, aku pun bergegas keluar dari kontrakan yang sudah satu tahun lebih aku tempati ini.

‘Apa aku bisa untuk tidak menatapnya lagi di lain waktu ?.’ aku mulai tak waras.


***


Bagaimana menurut kalian ? Apa pendapat kamu, kamu dan kamu perihal kejadian seminggu yang lalu ? Apa aku sudah terlena dan jatuh suka padanya ? Jatuh suka sejak awal mataku menyidik sosoknya ? Apa itu pantas disebut sebuah kewajaran ? Entahlah, aku sendiri bingung. Yang jelas setelah hari itu, kewarasanku begitu betah untuk menghidupkan sosoknya di memoriku.

Tapi, tunggu. . , apa dia satu kampung denganku ? Sebelumnya, aku tidak pernah melihat dia di sekitar sini, maksudku di sekitar kampung tempatku tinggal. Apa mataku saja yang tak begitu jeli mengenali sosoknya ? Sebentar.., memang benar juga sih. Selamanya ini aku sibuk pemotretan dan mengisi pementasan Catwalk para disainer ternama. Lagi-lagi aku hanya bisa bertutur entahlah atas ketidak-tahuanku.

Aku masih betah berlama-lama duduk di sofa mini yang kubeli dua bulan setelah bekerja di dunia modelling. Ya, hanya tiga sofa kecil beserta meja yang bisa dibilang berukuran mini juga. ‘Aku harus mengadu pada Maryana untuk mengetahui siapa lelaki itu..,’ pikirku. Oh ya, Maryana adalah salah satu, atau bahkan satu-satunya teman terbaikku yang aku milikki di Bandung. Kebetulan, Maryana memang satu kampung denganku. Dia juga bekerja di bidang Modelling, sayangnya kami tidak berada di agensi yang sama.

Dari arah kamar, hapeku mendendangkan nada dering pesan masuk. Kuberjalan menuju kamar.

Bocah yang satu ini memang begitu beruntung. Baru saja aku memikirkannya, tiba-tiba ada pesan masuk darinya. Kupikir, Maryana akan panjang umur, mengingat kalimat ibuku dulu, ‘Ketika kamu sedang memikirkan seseorang, dan tiba-tiba seseorang itu datang atau mengirim sebuah pesan padamu, berarti umur seseorang yang sedang kamu pikirkan itu akan panjang..,’ itulah kalimat dari ibu yang masih kuingat sampai sekarang.

Kubuka pesan darinya.

‘Adara, apa kabar ? Seminggu lamanya kita tidak berjumpa.. aku rindu kawan terbaikku. Kawan yang selalu mentraktirku jus apel.. , he he.’

Aku terkekeh setelah membaca pesan darinya. Anak itu memang sedikit pecicilan. Di manapun, dia selalu memintaku untuk mentraktirnya jus apel. Katanya, jus apel itu baik untuk kesehatan kulit wajahnya. Tapi, apa setiap bertemu, aku harus mentraktirnya jus apel ? Tapi tak apa, aku begitu menikmati kebersamaanku dengan kawanku itu. Termasuk menikmati ketika mentraktirnya jus apel.

Tanganku riweh mengetik balasan untuknya.

‘Selamat Maryana, kamu berhasil membuatku terkekeh di pagi hari.., omong-omong, kukira kamu bakal panjang umur, tadi aku sempat memikirkanmu..’

Tak perlu menunggu lama, balasan darinya sudah kembali menggetarkan hapeku.

Aku masih duduk di tepi tempat tidur. Kedua kakiku bertumpu pada lantai.

‘Kuharap, aku bisa membuatmu terkekeh setiap harinya, kawanku. Amin, semoga kita diberikan kepanjangan umur. Eh, kamu tadi memikirkanku ? Ada apa, Dar ?’ pesan darinya. Jujur, aku begitu benci ketika Maryana memanggilku Dar. Itu sedikit membuatku risih. Terkadang, dia juga sering memplesetkan dengan, Dar-Der-Dor, Dar-ah suci nan’ kotor, dan masih banyak lagi. Itu semua sukses membuatku jengah nan’ kesal padanya.



Baru saja jemariku mengetik hurup A, balasan darinya mendahuluiku. ‘Kalau tidak salah, selama sejarah pertemanan kita, kamu tidak pernah berkunjung ke rumahku. Gimana kalau hari ini kamu ke sini.. mamah sama papah juga udah pada berangkat kerja. Gimana, Dar ?’ pesan darinya. Tak ku-perdulikan kata terakhir darinya.

Memang benar sih, aku tidak pernah berkunjung ke rumahnya. Selalunya, Maryana yang mengunjungi kontrakanku, atau kami pergi ketemuan di salah satu Mall terkemuka di Bandung. Kubalas, ‘Ok. Nanti ya jam delapan. ., aku mau mandi dulu. Dan satu lagi, jangan panggil aku Dar. Kalau tidak, akan kubuat pantatmu membusuk.’

Tak ada balasan darinya. Kuputuskan untuk membersihkan tubuhku terlebih dahulu. Aku ingin terlihat mengesankan ketika untuk pertama kalinya mengunjungi rumah Maryana. Kalau tidak salah, rumah Maryana berhadapan dengan rumah sederhana bercat hijau. Kupikir, si penghuni rumah itu memang menyukai ketenangan.


***


Tak perlu lama untuk sampai di rumah kawanku, Maryana. Di sisi jalan dekat kontrakanku, aku hanya harus menengokkan wajahku ke sisi kanan, lalu berjalan kesana, setelah sampai di pertigaan, aku hanya perlu belok kanan dan berjalan sekitar lima belas langkah.

Sekedar mengingatkan. Hari ini aku mengenakan celana jeans abu-abu yang bagian bawahnya sengaja aku lipat dan t-shirt warna senada dengan tulisan 'Please B-tch' di area dada. T-shirt yang terlihat kebesaran di tubuhku ini memang sengaja aku pakai. Entah mengapa, diriku begitu betah mengenakan baju yang sedikit kebesaran di tubuhku. Dan tak lupa, aku hanya mengenakan sandal rumahan pemberian Pak Halim sebagai kado ketika aku resmi menjadi tetangga barunya. Sandal awet ini patut aku puji.

Dan di sinilah aku, mematung di depan pagar rumah Maryana. Pagar besi memang salah satu pencegahan agar maling tidak dengan mudah memasuki rumah. Orang tua Maryana pun memakai cara tersebut.

Setelah pagar besi di depanku terbentang ke sisi kanan tubuhku, aku memasuki halaman. Di sini tak terlihat tanaman hias seperti ; bunga mawar, melati dan semacamnya. Hanya saja, di sudut halaman, ada pot yang berisikan tanaman lidah buaya. Itu saja.

Tiba-tiba, kudengar suara hentakan sandal dari arah belakang. Segera kuputar tubuhku ke arah pintu rumah. “Akhirnya kamu mau berkunjung ke rumahku, Dar–“ aku melotot, sedangkan Maryana malah cengengesan. “Maksudku, Adara. Yuk masuk..,” lanjutnya, lalu memeluk tubuhku. Ada apa dengannya ? Barusan mengajakku masuk ke rumahnya, sekarang malah memelukku.

“Berapa lama kamu akan mencekik tubuhku, Mar ?” kataku.

Maryana segera melepaskan pelukannya, “He he. . , aku kangen banget sama kamu, Dara. Yuk masuk!” serunya.

Sebenarnya rumah Maryana –maksudku rumah kedua orang tuanya Maryana tidak terlalu besar nan’ megah, namun terlihat cukup mewah dengan banyaknya hiasan rumah, photo-photo yang berserakan di dinding dan juga guci antik yang sengaja di letakan di sudut-sudut ruangan.

“Ayo duduk, Dara. ., anggap saja–”

“Dengan senang hati, aku akan menganggap rumah ini sebagai rumahku sendiri.” Potongku dan berhasil membuat tawa kami meledak.

Kami duduk di sofa panjang di dekat pintu. “Kamu mau curhat apa, Dara ?” tanya Maryana sembari mencolek pipiku.

Aku berdehem, “Dasar.., kamu  mau langsung ke inti ? Tidak mau berbasa-basi dulu ? Bawain minum kek..” ketusku, lagi-lagi berhasil membuatnya terkekeh.

“Kan aku sudah bilang, anggap aja ini rumahmu sendiri. Kalau mau minum, ya tinggal ambil di dapur.. kalau mau makan ya silahkan, kalau mau mandi ya–“

“Tutup mulutmu, Maryana. Sebenarnya, sudah cukup lama aku tidak memikirkan persoalan asmara. . , namun entah mengapa, gimana ya…, euh. ., lelaki itu–”

“Kamu sedang dekat dengan seorang lelaki ?” potong Maryana.

Aku menggeleng, rambut lurus yang sengaja ku-urai begitu saja ikut bergoyang. “Gak juga sih. Lebih tepatnya, aku sedang mengagumi seseorang. Seminggu yang lalu, tepatnya hari Jum’at–”

Tok ..
Tok …
Assalamu’Alaikum ?
Tok ….
Tok …..
Assalamu’Alaikum ?

Aku tak melanjutkan kalimatku. Suara ketukkan dari arah pintu berhasil membungkam mulutku. Manusia mana yang dengan membabi buta berkunjung sepagi ini ? Ya Tuhan, aku lupa, bukannya aku juga berkunjung ke rumah Maryana tepat di jam delapan ? Pagi hari.

Maryana beranjak berdiri. Kedua alisnya bertaut, mengisyaratkan agar aku menunggu dan duduk manis saja.

Maryana membuka pintu, “Waalaikum salam. ., eh Bang Abu. Ada apa, Bang ?.” tanya Maryana.

Abu ? nama yang cukup unik. Tapi tunggu, lebih bagus namaku kan ? Adara Maharani. Kuharap kalian mau untuk setuju kalau namaku jauh lebih indah dari nama manusia yang beberapa detik tadi mengetuk pintu sembari mengucapkan kalimat khas kaum muslim.

“Apa sedang ada tamu ? Apa aku mengganggumu, Mar ?.” harus ku-akui, suara lelaki itu cukup enak untuk aku dengarkan.

Kulirik Maryana. Dia sedang mengulum senyum. Sementara tamunya ? Mataku tak bisa leluasa melihatnya, sebab pintu satunya yang dibiarkan tertutup. “Sebenarnya bukan tamu sih, Bang.. , hanya saja, ada kawanku berkunjung. Tidak mengganggu kok..” lagi-lagi Maryana mengulum senyum.

Beberapa detik tak ada suara, kufokuskan mataku pada layar hape enam inciku. Entah mengapa, akhir-akhir ini, aku begitu ketagihan berselancar internet untuk sekedar melihat-lihat photo Sean O’ Pry, salah satu model pria paling terkenal dan kaya di dunia. Tampan, seksi dan panas. Tiga kata itu cukup untuk mendeskripsikan sosok Sean O' Pry.

“AW....!!!!!” tiba-tiba Maryana menarik pergelangan tanganku, dan berhasil membuat hapeku terbanting ke lantai. Anak ini memang sedikit menyebalkan. Apa dia mau memperkenalkanku dengan tamunya ?. “Apa-apaan sih, Mar ?.” ketusku.

“Tutup mulutmu!” katanya.

“Ini, Bang, aku kenalkan.., kawan terbaik Maryana. Namanya Adara Maharani.. ,” dan benar dugaanku, Maryana berniat mengenalkanku pada tamu yang dia panggil Abang.

Kutengok lelaki yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. Sungguh, mataku nyaris melonjat keluar ketika wajahnya terpampang jelas di hadapanku, mata kami bertubrukan. Ya Tuhan, apa ini ? Saat ini, detik ini juga, dia menatapku secara intens, juga tanpa berkedip. Begitupun aku. Bahkan, mulutku masih menganga. ‘Oh Ma God, apa ini mimpi ? Seseorang, tolong cubit pantatku sekencang-kencangnya. Aku tak peduli sekencang apapun cubitan kalian. Yang penting, bisa membuatku yakin kalau aku sedang tidak memimpikan sosoknya.’ Batinku.

Kalau benar ini adalah sebuah nyata, bukan isapan mimpi semata, aku harap waktu berhenti sekarang juga. Biarkan aku untuk menatap keindahan rupanya. Mata almondnya, rambut potongan undercut, t-shirt lengan pendek warna putih polos, serta celana kargo selutut yang ia kenakan, itu semua berhasil membuatku sedikit tercengang. Dia begitu berbeda dengan sosoknya seminggu yang lalu. Saat ini, dia terlihat begitu gagah dan kekinian. Berbeda dengan saat itu, saat sosoknya mengenakan baju koko putih. Dia benar-benar terlihat berbeda dan hebat. Heyyy. . , apa kalian ingat dengan gurauanku ? Iya, aku sempat berfikir kalau aku akan membalas dendam padanya dengan tidak menatapnya lagi di lain waktu. Dan sekarang, mataku begitu betah menatap sosoknya. Elok mataku tak bisa untuk tidak menatap keindahan sosoknya.

Ehem. . , biarkan aku untuk menuturkan dua kata dalam sanubariku. Aku terpana!

“Abu Zar..” dia mengulurkan tangan kanannya, sembari tersenyum ramah padaku. Baiklah, dengan sangat terpaksa, juga, dengan penuh rasa malu, aku harus mengakui bahwa namanya tidak terlalu buruk untuk disandingkan dengan namaku. Apa ? Jangan bilang kalau kalian tertawa girang.

Sialan, mungkin sekarang wajahku terlihat bak tomat matang, begitu merona. “Aku–“

“Adara Maharani ? Nama yang indah.” Dia memotong kalimatku. Ya Tuhan, dia tersenyum lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang ?

Maryana menyenggol tanganku, “Ada apa denganmu, Adara ? Kamu tidak mau beramah tamah padanya ? Ayo balas uluran tangannya. . .” kawanku mengomel cukup pelan. Tapi sayang, lelaki di depanku mendengarnya. Terlihat dari caranya tertawa.

Sebisa mungkin, kuberusaha untuk mengontrol diriku sendiri. Aku tidak boleh terlihat begitu girang. “Terimakasih sudah memuji namaku..,” ku-ulurkan tanganku. Membalas keramah-tamahannya.

Dia tersenyum lagi. Kurasa, aku harus menghitung berapa kali dia tersenyum manis padaku.

“Omong-omong, Bang Abu ada apa ya sepagi ini ke rumahku ? Mamah sama papah udah berangkat kerja, Bang..” tanya Maryana.

Lelaki bernama Abu Zar itu berdehem, lalu melepaskan tangan kami yang sedari tadi bertaut. “Abang ke sini ada perlu sama kamu, Mar.” kata Zar.

“Iyakah ?.”

Zar mengangguk pelan, sekilas dia melirikku. “Abang mau pinjam Novel yang judulnya Ketika Cinta Bertasbih.., atau begini saja, kamu sewakan sama abang. Gimana ?” ucapnya.

Kini aku lebih bisa mengontrol diriku. Mataku fokus menatap sosok Zar. “Kamu suka baca Novel ?,” tanpa sadar, kalimat itu keluar begitu saja.

Zar mengalihkan pandangannya ke arahku, Adara Maharani. “Ya begitulah. Kalau sedang bosan, enaknya baca Novel. Kamu juga ?” jawabnya, sekaligus bertanya.

“Gak terlalu sih. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku lebih suka bernyanyi..” Ya Tuhan, ada apa denganku ? Mengapa aku menjadi sosok agresif seperti ini ? Bahkan sebelumnya, sekedar menatap matanya pun aku begitu malu nan’ merona. Tapi sekarang ?

Zar tertawa singkat, tawa yang tidak dibuat-buat. “Aku percaya kok kalau suaramu bagus.” Ya-ampun, kini tubuhku seakan digiring oleh gerombolon burung menuju taman penuh bunga-bunga. Aku melayang.

Tiba-tiba suara dehemman Maryana membuyarkan hayalanku, “Kalian mulai akbar ya. . , kalau gitu, ngobrolnya di dalam yuk, Bang..”

Zar menatapku singkat, “Tak usah, aku hanya ingin menyampaikan itu saja. Gimana ?”

“Maaf ya, Bang, Novelnya sudah aku kasih ke kawanku sebelum dia dan suaminya hijrah ke London..,” lirih Maryana. Mendengar kalimatnya, aku jadi teringat salah satu lagu De Cangcuters.

“Okey tak apa. Kalau  begitu, abang pulang sekarang ya, Mar.., ” dia melirikku, “Senang bertemu denganmu, Adara Maharani.” Lanjutnya. Aku suka caranya melisankan namaku. Membuatku semakin jatuh suka padanya.

“Assalamu Alaikum. . ,” salamnya.

“Waalaikum Salam. ,.” Itu suara Maryana.

Sosok lelaki bernama lengkap Abu Zar berlalu begitu saja. Sedang diriku hanya bisa menatap punggung tegaknya yang semakin lama semakin memudar, bahkan tak terlihat kedua bola mataku. Dia menutup pagar dengan tangan kanannya. Otomatis, elok mataku tak begitu leluasa melihat sosoknya.

Masih di ambang pintu, kutolehkan wajahku ke arah Maryana, di sampingku. “Mar, aku pulang sekarang ya. .,” tuturku. Saat ini, aku begitu malu untuk sekedar bercurhat padanya. Diriku terlalu malu untuk mengakui bahwa seseorang yang aku kagumi adalah sosok lelaki yang beberapa menit tadi mengucapkan salam pada kami. Sungguh, sekarang aku ingin menceburkan diriku ke dalam empang, eh maksudku, aku ingin berjingkrak-jingkrak di atas kasur empukku.

Maryana menoleh sembari mendengus kesal. “Yaampun, Dara. ., kamu kan baru datang, masa mau pulang begitu saja ? Ada apa denganmu, Dara ?.”

“Tidak apa-apa, Mar. Aku hanya ingin go home.. ,” jawabku bohong.

“Berdusta. .” Maryana mencubit pelan lenganku, “Ayo jujur. ., kenapa kamu ingin bergegas pulang secepat ini ? Bahkan, kamu belum sempat bercurhat padaku. Oh ya.. , kamu belum mengisahkan lelaki yang sedang kamu kagumi. Ayolah, jangan membuatku kesal. . ,” lanjutnya.

Apa aku harus berkata jujur pada Maryana ? Apa aku harus mengisahkan lelaki itu ? Kuputuskan untuk kabur saja. “Ayo, Mar. ., aku ingin bercerita padamu.” Aku mengajaknya berjalan menuju teras rumah. Dekat sandal yang kuletakkan di sana.

“Kamu ingin bercerita sambil berjalan di teras luar ? Dasar aneh!” itu suara Maryana.

“Iya, eh, Mar, ada burung gagak tuh..!!!” kubentangkan tanganku ke udara, tepatnya ke arah langit. Dan benar saja, dengan oon’nya, Maryana memalingkan pandangannya ke atas langit.

Sekarang waktunya. Diam-diam, tanpa membuat suara sedikitpun, kukenakan sandalku. DAAAAN. . . “AKU PULAAAAAAANG, MAR…!!!” teriakku sembari berlari secepat kilat, setelah membuka pintu pagar, kutengokan wajahku ke arah Maryana. Mulutnya menganga. “KITA BERTEMU LAGI BESOK….!!!!” Lanjutku.

“HEEEEY ADARA MAHARANI…..!!!!!!!”

Samar-samar, teriakkan kencang dari mulut Maryana berhasil mengusik indera pendengaranku. Kuharap dia tidak marah.


***


Tahu, apa yang membuatku kesal detik ini ? Menyebalkan memang, tepat setelah kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, hape yang sedari tadi kupegang berdering kencang. Ada es-em-es masuk dari Maryana. Pikirku, dia berniat meng-introgasi kawannya sendiri.

“Hey, Adara Maharani. Ada apa denganmu ? Ada yang kamu sembunyikan dari kawanmu ini ? Ayo beritahu aku, kalau tidak, aku akan membuat pantatmu membusuk. Aku bersungguh-sungguh!!!”

Sial, dia mengcopy kalimatku. Pantatmu membusuk, dia menggunakan kalimat itu untuk mengancamku. Ku balas, “Berhenti mengcopy ucapanku, Maryana. Aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu.. , ayolah, jangan marah. Aku hanya ingin pulang.. , aku tak tahan ingin buang hajat.” Bohongku. Aku yakin, dia pasti terkekeh setelah membaca balasan dariku.

“Apa di rumah indahku tidak ada tempat untuk membuang hajat ? Berhenti bergurau. Aku sedang serius, Adara. Ayolah, jujur padaku.” Balasnya.

Sebenarnya, aku sangat tidak suka ketika harus menyembunyikan sesuatu dari kawan terbaikku, Maryana. Sedari dulu, kami sudah membuat prinsip yang intinya aku ataupun dia tidak boleh menyembunyikan sesuatu. Kami harus saling terbuka. Dan barusan, aku telah mendustai janji itu. Ya Tuhan, aku dilema. Aku terlalu malu untuk mengungkapkan perasaanku. Sungguh!

Aku sedang mengetik, “Baiklah, aku akan jujur padamu, Mar. Tapi kamu harus janji tidak akan mengumbar rahasiaku. Janji ?” kukirim balasan untuknya.

Lima detik kemudian, Maryana membalas, “Aku janji…!!!”

Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhempas perlahan. Aku yang sedari tadi tidur terlentang, kini duduk menyila di atas tempat tidurku. Baiklah, aku akan berkata jujur padamu, Maryana.

“Aku sedang mengagumi lelaki yang tadi bertamu ke rumahmu, Mar. Rasa malu dan gensiku terlalu menggunung, aku terlalu malu untuk berkata jujur padamu secara langsung. Abu Zar, lelaki itu yang membuatku menggila. Seminggu yang lalu, untuk pertama kalinya, aku menatap sosoknya, dan aku sudah terpikat akan dirinya. Saat itu, di hari Jum’at, dia baru selesai melaksanakan ibadah. Dia juga sempat melirikku, ya hanya beberapa detik sih.” Kukirim balasan untuk Maryana. Tiba-tiba, kewarasanku mengingat sosoknya lagi. Saat kali pertama elok mataku menemukan sosoknya. Saat itu, aku belum mengetahui namanya. Abu Zar, kini nama itu akan selalu kuingat di lubuk hati terdalamku. Aku terpikat akan sosoknya yang kala itu mengenakan baju koko khas muslim.

Keningku mengerut, tak ada balasan dari Maryana. Mustahil kalau dia sedang membaca pesan dariku, mustahil pula kalau Maryana belum juga menerima balasanku. Ada apa dengannya ? Apa dia terkejut ? Atau serangan jantung ? Cukup, aku tak ingin bergurau, apalagi membayangkan hal-hal menakutkan seperti itu.

Beberapa saat kemudian hapeku berbunyi ketika kedua tanganku sedang sibuk mengucir rambut panjangku. Kujangkau hape, “Selamat bersenang-senang...”

Hah ? Hanya itu ? Bersenang-senang ? Apa kalian tahu maksud dari balasannya ? Apa dengannya ? Apa Maryana mulai hilang akal ?

Yang kupikirkan adalah, dia akan mengguyurku dengan omelan sebab aku tidak berani berkata jujur padanya. Tapi ini ? Dia malah mengirimkan kalimat, Selamat bersenang-senang. Aku siap membalas pesannya ketika nomor tak dikenal muncul di layar hape ditingkahi dengan lagu Ed Sheeran - Thinking Out Loud. Keningku mengerut. Kuraba jantungku, entah mengapa, jantungku dag-dig-dug tak karuan.

“Assalamu alaikum. .,” si penelepon menyalam padaku. Suaranya begitu parau khas lelaki.

Jujur, aku tidak terlalu fasih melisankan kalimat khas muslim yang tadi dia tuturkan, apalagi sampai membalas salamnya. “Iya, dengan siapa ya ?” tanyaku. Mungkin sekarang, keningnya mengerut sebab aku tak membalas salamnya.

Dari corong hape, kudengar dia berdehem. “Sebenarnya, aku agak ragu untuk menelponmu. ., tapi..” aku menunggu kelanjutan dari kalimatnya. “Kawanmu menyuruh aku untuk menelponmu. Katanya kamu ingin mengobrol denganku. Iya kah ?” Deg, kawanku ? Yang dimaksud si penelpon bukan lain pasti Maryana. Lalu siapa lelaki yang kini tengah beradu cakap denganku ? Menurut ungkapnya, kawanku menyuruhnya untuk menelponku. Berarti lelaki ini. . .

Tangan kiriku menjangkau jantungku, kini detakkannya lebih normal. “Abu Zar kah ?,” harap-harap cemas, begitulah yang kini aku rasakan. Harapku, semoga sosok Abu Zar lah yang menelponku. Sungguh, kalau sampai yang menelponku adalah lelaki lain, aku bersumpah akan langsung menutupnya. Dan andai si penelpon adalah Abu Zar, semoga jantungku tidak merosot ke perut, saking bahagianya.

“Kamu masih ingat nama jelek itu ?,”

Aku meledak, ternyata dugaanku benar adanya. Si penelpon, bukan lain adalah sosok Abu Zar, lelaki yang sukses membuatku meledak dalam diam. Rasanya, aku ingin segera ngacir ke kamar mandi lalu mengguyur tubuhku dengan se-ember besar air dingin. Aku siap meledak. “Namamu tidak jelek kok. Namamu terdengar unik dan menarik. ,” tandasku.

Dia tertawa renyah. Dari corong hape, suara tawanya terdengar begitu membius. “Nada suaramu terdengar seperti seseorang yang baru saja memenangkan lotre, terdengar begitu bersemangat. Kamu baik-baik saja ?,” Oh Tuhan, tentu saja aku tidak baik-baik saja. Seseorang yang seminggu ini menghuni memoriku, kini menelponku. Bagaimana bisa aku baik-baik saja ?

“Bisa baik, bisa juga tak baik. Mungkin karena ini masih pagi, jadi nada suaraku terdengar begitu kencang dan bersemangat. Omong-omong, yang menyuruhmu menelponku, Maryana, kan ?” jawabku, sekaligus bertanya.

Sekitar lima detik Zar tak bersuara, yang kudengar hanyalah deru nafasnya. “Yup, Maryana mengirim es-em-es padaku, dia juga menyantumkan nomormu. Katanya, kamu ingin lebih mengenalku. . . ehhem..!”

Bocah itu.......!!! Bagaimana bisa dia mempermalukanku dengan mengumbar rasaku terhadap sosok Zar ? Aku tidak marah, hanya saja, aku kesal karena dia mendustai janjinya. Kalian ingat kan, dia sempat berjanji tak akan mengumbar rahasiaku pada siapapun, termasuk sosok yang aku kagumi, Abu Zar. Sepertinya, aku harus membalas dendam padanya. Agenda mentraktirnya jus apel akan aku hapus.

Aku mati kutu, tak tahu kalimat apa yang harus aku tuturkan pada Zar. Rasanya, untuk beberapa saat, diriku benar-benar lupa cara bernafas. “Aku. . ak. . . aku–”

“Dusta kok. Maryana tidak berkata demikian.” Rasanya, kerongkonganku sedikit lebih lega. “Dia hanya berkata, kalau kamu ingin ngobrol dengaku. Hanya itu.” Lanjutnya.

Untuk beberapa detik aku termenung. Mungkin Maryana tidak sepenuhnya mengumbar rasaku pada Zar. Dia hanya berniat mendekatkanku dengan sosok Zar. Oh Tuhan, aku telah salah paham padanya. Bisakah kalian mengingatkanku untuk mentraktirnya jus apel ?

Aku harus berkata jujur pada Zar. “Sebenarnya, Maryana berdusta. Aku tidak pernah berkata kalau aku ingin ngobrol denganmu. Tapi, aku sangat senang saat mengetahui kamulah yang menelponku. Aku serius. . .”

“Iya, aku percaya. Omong-omong, sekitar satu minggu yang lalu kita pernah bertatap muka kan ? Masih ingat kah ?” Ya Tuhan, ternyata dia masih mengingatnya. Aku pikir, dia hanya menatapku selewat saja, setelah itu dia melupakan diriku begitu saja. Tunggu. ., apa dia juga memikirkanku, sama seperti halnya diriku yang begitu candu memikirkannya ?

Aku mengangguk, rambut yang kukuncir ke belakang menyapa tengkuk-ku. Sadar bahwa anggukkan kepalaku tak terlihat olehnya, aku segera menjawab, “Aku masih ingat kok. Aku kira, kamu sudah melupakan wajahku.”

Samar-samar, telingaku mendengar tawa renyahnya, “Bagaimana bisa aku melupakan wajahmu ? Tatapanmu ? Eh. . maksudku. . aku belum begitu pikun.”

Senyumku merekah, “Terimakasih sudah mengingat wajahku. Lalu, kenapa saat di rumah Maryana, kamu berlagak seperti tidak mengingatku sama sekali ?” aku bertanya.

Dia berdehem, “Jadi kamu menungguku untuk berkata, oh ya, sepertinya aku pernah melihat wajah cantikmu. Begitu ?,”

Aku terkekeh mendengar gaya bicaranya, “Bukan begitu, maksudku. . eh, sudahlah, tidak penting juga.” Ungkapku.

“Sebelumnya, aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini. Kamu warga baru ?,”

“Sekitar satu tahun lebih aku tinggal di sini. . mungkin karena aku yang jarang di kontrakan, aku juga tidak pernah melihatmu. Tapi sekarang, kita sudah saling mengenal kan ?"

“Iya juga sih. Kamu Model ?,” Zar bertanya.

“Kok bisa tahu ?”

“Hanya menduga-duga sih, soalnya Maryana juga Model kan ? Jadi kupikir, kamu juga seorang Model. Iya kah ?”

Aku mengangguk, “Iya. Kamu sendiri ? Biar kutebak. .,”

Zar tertawa lagi, “Silahkan.”

“Tahu Mamah Dedeh ‘kan ? Apa kamu bekerja seperti dia ? Maksudku, berceramah. .”

Kini tawanya lebih keras. Aku jadi bingung, apa yang Zar tertawakan. “Kamu sering nonton acara Mamah Dedeh ?” lanjutnya, sisa tawanya masih bisa kudengar.

Aku berfikir sejenak, “Enggak juga sih. Apa urusannya ?”

“Ya jelas ada urusan. Mamah Dedeh adalah seorang ustadzah atau penceramah. Ilmu agamanya sudah sangat banyak. Beda lagi dengan aku yang masih belajar dan belajar. Omong-omong, alasan apa yang melatar-belakangi pertanyaanmu itu ?,”

Aku berdehem, masih duduk menyila di tempat tidur. “Sederhana sih. Karena saat itu kamu mengenakan baju koko khas muslim. Iya kan ?.” tanyaku dengan polosnya.

Zar tertawa pendek, “Kamu lucu–”

“Terimakasih, aku sangat tersanjung.” potongku.

“Bagaimana bisa kamu berpikir bahwa aku adalah seorang penceramah hanya karena melihatku mengenakan baju koko ? Kamu juga kan. . .” Zar menggantung kalimatnya. Mungkin sedari tadi dia belum sadar bahwa seseorang yang sedang beradu cakap dengannya adalah seorang non muslim. “Maaf sebelumnya. . . kamu non muslim ?” Zar bertanya dengan sangat hati-hati.

Aku menghela nafas panjang. “Iya. Sebentar. ., sebentar. . jangan-jangan dari tadi kamu mengira kalau aku seorang muslim. Betul ?”

“He eh. Aku kira kamu adalah seorang muslimah.” Jawabnya.

“Maaf!” entah mengapa, aku ingin berujar maaf padanya.

“Eh ?,”

“Iya, karena aku tak memberitahumu terlebih dahulu kalau aku bukanlah seorang muslim.”

Ya Tuhan, aku mendengar dia tertawa untuk kesekian kalinya. “Kamu terlalu polos. Untuk apa kamu meminta maaf padaku, Adara ?” untuk sekian detik, senyumku merekah tat’ kala Zar menyebut namaku. Aku hampir tidak sadar, sedari tadi, sejak pertama kali aku dan Zar beradu cakap via telepon, Zar tidak sekalipun melisankan namaku. “Walaupun kita tak sama perihal agama, namun itu tak menjadikanku untuk harus menjauhi atau tak mau mengenal dan mengobrol denganmu. Bukan kah perbedaan itu indah ?,”

Kalimat terakhir yang ia tuturkan begitu membuatku teduh nan’ damai, bahkan berhasil membuat bulu di sekitar tengkukku bak diusap seorang malaikat.  “Terimakasih. Kamu pantas menjadi seorang penceramah.”

“Eh ? Kok malah balik lagi ke topik itu ?,”

Aku tertawa, “Ha ha. . . aku suka kalimat terakhir yang kamu ucapkan. Omong-omong, sekarang hari Jumat kan ?”

“Iya. Kenapa ?”

“Kamu gak siap-siap untuk pergi ke mas. . . masjid ?” mulutku masih kaku melisankan kata yang terakhir. “Bukan kah setiap hari Jumat, umat muslim selalu beribadah ke masjid ? Iyakan ?” lanjutku.

“Ya ampun, memang kenapa ? Kamu ingin nongol lagi di balik pintu sembari memandangi gerombolan lelaki yang baru pulang jum’atan ? Begitu ?,”

Demi apapun, aku terkekeh sendiri setelah mendengar ucapan Zar. Memang benar sih, aku nongol di balik pintu, tapi niatku bukan untuk memandangi gerombolan lelaki, melainkan sosoknya. Hanya dia. “Enak saja, aku sama sekali tak berniat memandangi mereka. Aku hanya–”

“Ha ha ha. . , sudah tidak perlu dijawab, aku hanya bercanda.”

“Dasar. ., jadi gimana ? kamu gak siap-siap ?” aku masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaanku itu, tentang ibadah di hari Jum’at.

“Kamu masih penasaran ? Biasanya, aku berangkat ke Masjid pukul sebelas. Di jam tersebut, Masjid masih dalam keadaan kosong atau sepi jamaah. Intinya, masih lama. Sekarang baru jam setengah sepuluh. Apa nona sudah mengerti ?” Dia meledekku.

“Oh begitu. Terus, saat jamaah masih sepi, biasanya kamu ngelakuin apa ?” sungguh, aku penasaran tentang kebiasaannya.

“Akan aku jelaskan se-jelas-jelasnya saat kita bertemu di lain waktu. Aku berjanji.”

“Kamu yakin kita akan bertemu kembali ?,” Ya ampun, betapa bodohnya diriku. Aku dan Zar kan satu kampung. Tak begitu sulit untuk kami bertemu kembali.

“Rasa yakinku sebesar rasa penasaranmu tentang kebiasaan apa yang sering aku lakukan ketika di masjid masih sepi jamaah.” Jujur, kalimat yang Zar tuturkan begitu membuatku candu, sekaligus membuat diriku semakin penasaran akan sosoknya.

“Baiklah. Mau main tebak-tebakkan ?,” mungkin ini sedikit aneh. Tapi, entah mengapa, aku ingin main tebak-tebakkan dengannya.

“Ide bagus. Ayo. . jelaskan cara mainnya.” Serunya.

Lebih dari tiga puluh menit lamanya aku dan Zar saling bercakap di corong hape kami masing-masing. Lewat corong hape, aku bisa mendengar suara paraunya, suara tawanya yang menggelitik gendang telingaku, dan deru nafasnya. Aku merasa tengah mengobrol dengan Zar secara langsung, saling bertatap muka. Akahkah seasyik dan seakrab ini ketika nanti kami bercakap secara langsung sembari menatap bola mata satu sama lain ? Tentunya, aku merindukan mata almondnya yang menyejukkan.

“Mudah kok. Kamu hanya perlu menebak posisiku.” Tandasku.

“Posisi ? I don’t understand. .”

“Huh belagak so’ inggris. . maksudku, kamu harus menebak aku sedang melakukan apa dan di mana. .”

“Kita sedang mengobrol. .”

“Selain itu. .” ketusku

“Baiklah, kalau jawabanku benar, kamu harus membantuku mengetik. Dan kalau kamu yang benar menjawabnya, aku akan membelikanmu sebuah Novel. Deal ?,”

“Wait. . mengetik ? Maksudmu ?”

“Suata hari, kamu akan tahu jawaban atas pertanyaanmu sendiri, Adara.” Zar sukses membuatku diambang rasa penasaran melangit. Mengetik ? Apa pekerjaannya berhubungan dengan tulis-menulis ? “Sebaiknya, kamu dulu yang menebak. .”

“Baiklah. .” aku terlalu tergiur dengan tawarannya. Membelikanku sebuah Novel. Ya, walaupun aku tak begitu menyukai Novel.

Kini, otakku berkelana ke sana- kemari. Apa yang sedang dia lakukan sekarang ? Di mana Zar sekarang ? Apa di sedang mengupil sambil tiduran ? Eh, tidak mungkin. Mustahil lelaki setampan Zar mengupil sambil tiduran. Benar-benar tidak elit. Apa dia sedang sibuk menggaruk punggungnya ? Duduk ? Buang hajat ? Tidur terlentang sembari memikirkanku ?

Aku masih duduk menyila sembari menggigit jari telunjukku. Tangan kananku memegang hape di telinga. Aku siap menjawab. “Kamu sedang buang hajat sembari membaca buku dan mengobrol denganku. Betul ‘kan ?” kuharap tebakanku benar adanya.

Beberapa detik kemudian, tawa Zar meledak. Bahkan, membuatku menjauhkan hape yang kupegang dari telingaku. “Bagaimana bisa kamu berfikir seperti itu ? Aku tidak sejorok itu, Adara..”

“Jadi tebakanku meleset ? Menyebalkan..” ketusku.

“Sekarang giliranku ya ?,” aku berdehem. “Kamu sedang duduk menyila di tempat tidur. Betul ‘kan ?,”

Bagaimana bisa ? Dengan mudah Zar menebak, tanpa mengambil jeda untuk berfikir. Dan tebakannya benar. Sedari tadi, aku memang setia dengan posisiku. Duduk menyila di tempat tidur. “Bagaimana bisa ? Kamu memasang si-si-ti-vi di kontrakan ini ? Curang..” seronohku.

“Jangan berfikir macam-macam. Aku hanya menebak. Jadi ? Apa tebakanku benar ?” Zar terdengar begitu antusias.

“He eh, kamu sangat benar. Selamat. .”

“Terimakasih.”

“Jadi, kapan aku harus membantumu mengetik ?” tanyaku pada Zar.

“Nanti akan aku beritahu. . sekarang aku mau bersiap-siap dulu. Sudah pukul sepuluh lebih nih, mau mandi dulu. Gak papa ‘kan ?”

“Siap-siap apa, Zar ?”

“Jum’atan.” Jawabnya. “Jangan nongol di balik pintu lagi ya ?” lanjut Zar dan berhasil membuat pipiku merona.

“Untuk apa aku nongol di balik pintu ?”

“Untuk melihatku. Iya ‘kan ?” jawabnya dengan yakin.

“Geer. Mandi gih. . keburu siang.”

“Iya. Senang mengobrol denganmu, Adara Maharani.”

Tut. . tutt. . . tuttt

‘Terimakasih sudah melisankan nama lengkapku, Zar. .’ batinku.


***


Aku suka hari Jum’at. Entah dari mana asalnya rasa suka itu, yang jelas, untuk sekarang, aku begitu menyukai hari Jum’at. Aku pun selalu menanti datangnya hari Jum’at. Hari dimana elok mataku diberi kesempatan untuk dapat meyidik sosok Zar yang mengenakan baju koko, dilengkapi dengan sarung dan benda di atas kepalanya.

Tentang Zar, aku cukup kesal. Tepat saat kami memutuskan sambungan karena alasan Zar yang ingin bersiap-siap untuk melaksanakan Jum’atan, tiba-tiba Kak Parah menelponku. Ada pemotretan mendadak. Sial memang, aku sempat menolak dengan berkata, “Duh, Kak, apa gak bisa digantiin sama Model lain ? Misalnya, Ineukeu, Linda, atau si Lota. Plis, Kak. .,” Kak Parah malah bertutur, “Klien sudah terlanjur terpikat sama wajahmu, Adara. Barusan dia tengok photomu, dan dia tertarik. Lekas kesini…!!!!” aku pun langsung bergegas ke bangunan kosong tempat para Model biasa melangsungkan pemotretan. Kebetulan, pemotretan kemarin dilakukan di sana.

Lalu apa yang membuatku kecewa ? Jawabannya adalah, aku tak bisa melihat sosok Abu Zar. Baik saat dia berangkat menuju masjid, maupun saat dia hendak pulang. Menyebalkan memang.

Tapi tenang saja, hari ini sekitar pukul sepuluh, Zar menelponku untuk datang ke rumahnya. Aku harap kalian tak lupa dengan tebak-tebakkan kemarin. Yup, dia menyuruhku untuk membantunya mengetik. Andai aku tidak menebak dengan asal dan membabi buta, mungkin saja aku akan dibelikan Novel olehnya, sesuai perjanjian.

Satu lagi, ternyata rumah Zar berhadapan dengan rumah kawanku, Maryana. Masih ingat ‘kah, aku pernah mengatakan kalau rumah bercat hijau itu adalah milik seseorang yang mencintai ketentraman dan kedamaian.  “Jadi, rumah bercat hijau itu tempat tinggalmu ?” begitulah responku saat Zar menelponku dan bertutur bahwa rumahnya berhadapan dengan rumah Maryana.

Aku bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini aku selalu bersenggolan dengan sebuah ‘kebetulan’ ?


***


“Seorang muslim yang baik ialah, mereka yang selalu patuh akan segala hal yang Allah perintahkan dan menjauhi sekecil apapun ‘benih’ yang Allah larang. .”

“Benih ? Kamu tidak salah ? Apa pembacamu akan mengerti ?”

“Sudahlah, jangan terlalu sering membuka mulut. Ketik saja yang benar. Lanjut. . .”

Aku hanya bisa menggumam tak leluasa untuk meladeni kalimat yang Zar ucapkan barusan. Mengetik, dan mengetik, itulah yang sedang aku lakukan sekarang. Aku baru tahu, ternyata Zar adalah seorang Blogger. Katanya, dari dunia Bloggerlah dia bisa mendapatkan rupiah yang melimpah. Aku juga sempat membaca sebuah artikel yang isinya mengisahankan tentang seorang lelaki berkebangsaan Indonesia yang berhasil mendapatkan banyak rupiah lewat aktifitas ngeblog. Aku tak begitu ingat namanya, yang jelas, dia adalah sosok blogger yang sukses dan menjadi panutan bagi para blogger pemula di Indonesia. Sebenarnya, mulutku begitu gatal untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada Zar, tapi dia selalu menyuruhku untuk bungkam dan tetap fokus pada laptop di depanku.

“Sebaiknya kita pergi ke taman saja, Zar. . aku bosan di sini. .” seruku mulai merasa bosan.

Bayangkan saja, sedari tadi, kami berdua duduk menyila di teras luar rumah Zar. Beruntung dia hanya membuka mulut sembari bersender pada tembok. Sedangkan aku ? Sedikit membungkuk menatap layar laptop, sambil mengetik. Kulirik jam tanganku, sudah satu jam lamanya jemari dan mataku berkutat dengan laptop milik Zar. Rasanya jemariku begitu pegal.

“Jangan terlalu banyak nuntut. Ayo lanjut. . sekarang penutupnya.”

Aku mengangguk lemas, “Baiklah. .”

“Patuh akan segala perintah beserta larangan Allah, adalah cara indah masuk surga. Sebaliknya, meracuni pikiranmu dengan hal-hal negatif dan melakukan sebuah maksiat adalah cara menjijikan masuk neraka. Jadi, mana yang akan kamu pilih ?” aku tertegun dengan kalimatnya. “Tanda tanyanya tiga kali ya. .,” lanjutnya, sedang aku hanya mengangguk pelan.

“Selesai ?.” aku bertanya, kutolehkan wajahku pada Zar yang berada sekitar lima jengkal di sebelahku.

Zar menoleh sembari tersenyum padaku, lalu mengangguk. “Klik simpan ya. . biar nanti aku yang publikasikan.”

“Siap!”

Kini, aku mengke-ataskan kedua tanganku. Mencoba untuk meregangkan sekaligus meminimalisir rasa pegalku. “Akhirnya selesai juga.. aaagh…!!!”

“Terimakasih ya sudah meringankan beban jemariku.” Katanya tiba-tiba.

Sontak, aku langsung menoleh ke arahnya. “Eh ?,”

“Iya, biasanya aku mengetik setiap hari, dan itu dilakukan seorang diri. Cukup melelahkan.” Ucap Zar.

“Apa aku boleh bertanya padamu, Zar ?.”

Zar mengangguk.

“Sejak kapan kamu menjadi seorang Blogger ? Kenapa di rumahmu tidak ada siapapun selain dirimu sendiri ? Mengapa kamu memilih cat warna hijau untuk rumahmu ? Apa kamu tidak pernah merasa kesepian ? Ayo jawab. .” pertanyaan beruntun yang aku ajukan padanya berhasil membuat Zar menggeleng.

“Baiklah, aku akan menjawab rasa penasaranmu, Adara. Sejak dua ribu empat belas aku menjadi seorang Blogger. Sejak pertama, aku sudah memutuskan untuk membangun sebuah Blog yang berisi nasehat, kiat-kiat menjadi seorang muslim yang baik. Ya, walaupun sampai sekarang, aku masih belum bisa menjadi seorang muslim yang baik, tapi aku selalu berusaha. . dan aku sangat bersyukur karena Blogku ramai pengunjung…” jelasnya dengan rinci, diakhiri dengan senyuman bangga. Ya, tentu saja bangga karena dia berhasil menjadi seorang blogger yang cukup sukses.

“Jawaban selanjutnya. .” seruku sembari menggulung rambut panjangku di pangkal kepala.

Zar berdehem, tangan kanannya sibuk membenarkan kerah bajunya. Omong-omong, aku suka dengan t-shirt lengan pendek yang ia kenakan hari ini. Warnanya serasi dengan jaket kulit yang aku kenakan. Warna cokelat. Zar juga mengenakan celana kargo selutut. "Jangan menggulung rambutmu seperti itu. . biarkan terurai." kata Zar tiba-tiba.

"Dasar aneh. . ." aku batal menggulung rambut panjangku.

Kini, matanya menjurus ke depan, sedang, elok mataku menyidik sosoknya. “Alasan mengapa di rumahku tak ada siapapun selain diriku adalah, karena kedua orang tuaku sudah lama meninggal. Aku memiliki kerabat, tapi mereka tidak tinggal di sini. Ada yang di Jakarta, ada juga yang menetap di luar negeri, di London. ”

“Maafkan aku karena sudah lancang. . aku hanya—”

“Tidak masalah kok. Dengan begitu, kita bisa saling mengenal satu sama lain. Itu juga kalau kamu ingin lebih mengenalku sih. .” Zar melirikku dengan tatapan yang sulit untuk kubaca.

“Eh ?,”

“Sudah, lupakan saja. . jawaban selanjutnya ya. Emmm. . gimana ya. . ,” Zar terlihat berfikir, “Aku suka warna hijau. Menurutku, warna hijau itu melambangkan sebuah kedamaian yang abadi, dan aku menyukai kedamaian.”

“Aku juga. .” kataku.

“Semua orang juga pasti menyukai sekaligus mengidamkan kedamaian. Masih mau mendengarkan jawaban selanjutnya ?” Zar bertanya.

Aku mengangguk.

“Sederhana sih. Aku adalah seorang lajang, jadi aku cukup kesepian dengan kesendirianku. Aku mungkin punya banyak kawan, tapi, dibandingkan dengan kasih sayang dari tangan seorang kawan, kupikir tangan seorang kekasih lebih memiliki makna khusus dan berbeda. . .”

Aku masih menatap sosoknya. Melirik tiap inci wajah tampannya. Menyerap setiap kata yang keluar dari mulut Zar. “Aku setuju. . , kasih sayang dari tangan kekasih memang memiliki efek tersendiri bagi tubuh ataupun hati kita. Wait.. wait. ., aku jadi penasaran, berapa umurmu ?”

Zar tertawa singkat sebelum akhirnya menatapku kembali. “Dua puluh dikali dua, dikurangi lima belas. . itulah umurku. Kamu sendiri ?”

“Dua puluh lima tahun ?,” Zar mengangguk, “Kalau aku, dua puluh dikali dua, ditambah sepuluh, lalu dikurangi dua puluh tujuh.” Lanjutku.

Zar sibuk menghitung dengan jemarinya. “Dua puluh tiga tahun ? Berarti seumuran dengan Maryana dong ? Itu artinya, kamu harus memanggilku kakak, atau abang seperti Maryana.” alisnya bergerak naik turun.

Aku memanyunkan bibirku. “Aku lebih suka memanggilmu Zar. Boleh ‘kan ?”

“Tentu saja. .”

Tiba-tiba elok mata Zar menyidik jaket kulit yang tengah aku kenakan. “Kamu gak panas ? Kok siang-siang gini pake jaket kulit ? Gak panas ?” Zar bertanya.

“Maryana yang nyuruh. Katanya kalau aku berkunjung ke rumahmu, aku harus berpenampilan lebih sopan. Akhirnya, kuputuskan untuk mengenakan jeans, t-shirt lengan pendek beserta jaket kulit warna cokelat. . , senada dengan t-shirt yang kamu kenakan.” Jelasku panjang lebar dan sukses membuat Zar menyerngitkan keningnya.

“Dasar aneh. .”

“Di sini ‘kan mayoritas warganya beragama islam, termasuk kamu. Aku takut mereka mikir macem-macem kalau aku pake hotpant mini. . he he.”

“Kamu suka pake hotpant ?,”

“Gak sering kok. .” jawabku.

“Baiklah, sebentar. . tunggu dulu di sini. .” Zar berdiri, kedua tangannya mengisyaratkan agar aku duduk manis di tempatku. Setelah itu, tangannya menjangkau laptop di depanku.

Zar membuka pintu dan bergegas memasuki rumah sederhananya. Biar kutebak. . Zar pasti akan membawakanku segelas air putih beserta cemilan semacam keripik. Aku yakin itu.

Beberapa detik kemudian, tubuh jangkung Zar keluar dari pintu. Aku menghela nafas panjang ketika elok mataku tak melihat apapun di kedua tangannya. Kosong!

Lalu dia berdiri tepat di depanku. Aku mendongakkan wajahku ke atas. “Apa ?,” tanyaku.

Aku menelan air liurku beberapa kali. Risih juga memandangi bulu kakinya yang cukup lebat.

Tiba-tiba Zar mengulurkan tangan kanannya. “Aku mau membelikanmu Novel. . ayo berdiri.”

“Eh ?,”

“Gak usah eh eh-an segala. Ayo berdiri. .” ungkapnya.

“Aku bisa berdiri sendiri, Abu Zar. .” omongku, kulihat raut mukanya berubah masam.

“Baiklah. .” Zar memutar tubuhnya dan berjalan menuju halaman, lalu menaiki motor gedenya. “Ayo naik. . keburu sore..”

“Iya. . sebentar.”

Aku berjalan ke arah Zar yang tengah menunggu tubuhku di boncengannya. “Biarkan rambut panjangmu terurai seperti itu. . aku gak terlalu suka kalau rambutmu diikat ke belakang. Kek anak bocah. .” ucapnya.

Ya ampun, ada apa dengan lelaki ini ? Aku dibuat senyum-senyum sendiri bak orang tak waras setelah mendengar kalimat yang barusan ia tuturkan. Zar benar-benar lelaki misterius. Dia bisa menjadi sosok menyebalkan, terkadang, dia juga bisa menjadi sosok penceramah, terkadang pula, dia berubah menjadi sosok lelaki romantis penuh pujian.

Kini aku berada di boncengannya. Membaui aroma tubuh Zar dari dekat benar-benar membuatku candu sekaligus dag-dig-dug tak karuan. Kuraba jantungku, dentumannya begitu kencang. “Kamu tidak berniat mengenakan jaket atau semacamnya ? Gak dingin ?.” tanyaku sembari meresletingkan jaketku.

“Jangan mengkhawatirkanku, Adara. Pegang saja pinggangku, biar aman.” Terbukti ‘kan ? kini, dia berubah menjadi sosok menyebalkan.

“Baiklah, tuan menyebalkan.” Seruku. Mungkin tak terdengar olehnya.

Motor Zar pun melaju perlahan.

‘Terimakasih Tuhan, karena telah memberikanku kesempatan berada di boncengan lelaki yang aku kagumi. .’ batinku.


***


“Kamu curang, Adara Maharani. . .”

“Ya ampun….!!! Curang apa maksudmu, Maryana ? Coba jelaskan.”

“Dasar pembohong. . kamu curang karena tidak memberitahuku kalau hubunganmu dengan Bang Abu semakin dekat. Tadi sore, aku melihatmu senyam-senyum sendiri bak orang tak waras saat dibonceng sama Bang Abu dengan motor gedenya. . masih mau ngelak ?.” Ketus Maryana sembari memasang wajah galak.

Aku dan Maryana tengah duduk di sofaku. Bukannya apel dengan pacarnya, dia malah bertamu sekaligus mengintrogasiku. “Lihatlah, Maryana. . . sudah jam delapan malam. Gak mau pulang ? Gak apel sama pacarmu ?” kucoba untuk mengalihkan pembicaraan.

“Dua jam yang lalu aku putus sama Si Rahmat Abdullah. Dia lelaki menyebalkan. .”

“Lelaki menyebalkan ? Bukannya kamu begitu mencintainya ? Bagaimana bisa—”

“Tutup mulutmu…!!! Aku ke sini karena ingin mengetahui kelanjutan hubunganmu dengan Bang Abu. . ayo ceritakan pada kawanmu ini, Adara…” bujuknya.

Aku beranjak berdiri dan duduk di sebelah Maryana. “Baiklah, aku akan jujur. Aku dan Zar tidak ada hubungan apapun, kami hanya berteman, seperti halnya aku dan dirimu, Maryana.”

“Lalu ?,”

“Dia membelikanku Novel. .”

Maryana melingkarkan tangannya ke tengkukku. “Hah ? Novel ? Judulnya ? Kapan belinya ? Udah kamu baca ?.” cerocosnya.

Aku melepaskan tangannya dari tengkukku. “Iya, judulnya Tak Seindah Angan. Belinya tadi sore sekitar jam setengah empat. .”  ucapku. “Tapi, aku belum sempat membacanya.” Lanjutku.

“Kenapa belum kamu baca, Dara ?”

“Belum sempat saja. Jangan hawatir, walaupun aku tak begitu menyukai Novel, aku akan mencoba untuk membacanya sampai ending. . karena Novel itu pemberian dari Abu Zar.” Tuturku.

Maryana tersenyum. “Kamu beruntung bisa dekat dengan Bang Abu Zar. .” ucapnya.

“Maksudmu ?,”

“Bang Abu adalah lelaki yang baik. Dia juga pandai membaca Al-Quran. Sekali-kali, dengerin dia lagi tadarus deh. . pasti bikin kamu makin klepek-klepek sama Bang Zar. Satu lagi, aku gak nyangka kalau kamu kesemsem sama Bang Abu..” ungkap Maryana.

“Aku sendiri gak nyangka sama sekali, Mar. Aku sering bertanya-tanya, mengapa aku bisa jatuh suka pada seseorang yang tidak sama denganku. . memikirkan itu membuatku perih, Mar.”

“Tunggu. . . tidak sama ? Maksudmu ?” tanya Maryana. Aku duduk menyila, sementara Maryana duduk sembari kedua kakinya bertumpu pada lantai.

“Agama kita berbeda. Aku adalah seorang beragama Kristen, sementara dia Islam.” Kutarik nafas dalam-dalam, “Terkadang, aku merasa bingung dan bimbang tentang perasaanku sendiri. .” lanjutku.

Maryana mengelus pelan rambutku yang kubiarkan terurai begitu saja, seperti yang diminta Abu Zar tadi sore. “Kalau berhubungan dengan agama, aku tidak berani berkomentar. . aku sendiri islam, tapi aku merasa senang menjalin pertemanan denganmu, Adara. .”

Aku tersenyum. “Yasudah. Omong-omong, malam ini kamu menginap di sini, kan, Mar ? Kebetulan, besok aku ada pementasan catwalk. Kamu datang ya ?,”

Maryana mengangguk. “Gak bisa, aku ada pemotretan majalah. Tapi, untuk menginap malam mini, aku iyakan. .”

Aku manyun. “Baiklah, tak apa. Kalau begitu, yuk tidur. . aku sudah mengantuk.”

“Yuk!” jawabnya.

Kami pun berjalan menuju kamar. Sudah cukup lama Maryana tidak menginap di kontrakan sederhanaku.


***


“Kamu sudah berjanji akan datang ke pementasan catwalk hari ini. . awas saja kalau berdusta. .”

“Iya, sebentar lagi aku akan meluncur ke sana. Sudah mulai, kah ?”

“Sekitar dua puluh menit lagi, acaranya akan dimulai. . lekas ke sini…!!!”

“Begitu ? Kayaknya aku bakal terlambat deh, Adara. .”

“Kalau kamu benar-benar terlambat datang ke sini, kupastikan lubang hidungmu akan membesar. Akan kujejeli liang hidungmu dengan batu. .”

“Harusnya, kamu tuh bujuk aku. . manis-manisin kek. . eh, ini malah ancam-ancam segala. .”

“Tuan Abu Zar, bisakah kita menghentikan percakapan menyebalkan ini ? Kamu harus cepat ke sini…!!! Sudah ah, aku mau persiapan dulu. .”

“Iya, Adara Maharani. Lagipula, aku ingin menyaksikan dirimu berlenggok di lantai catwalk. Tunggu aku…!!!!”

Aku tak membalas pesan terkahir yang Zar kirimkan padaku. Kalau sampai aku membalasnya, ini tak akan berakhir.


***


Sekarang, aku tengah di belakang panggung. Menunggu giliranku berlenggok di lantai catwalk untuk memamerkan busana buatan salah satu desainer terkenal Indonesia.

Kali ini, aku mengenakan busana yang cukup elegan, tapi tetap ada kesan tradisionalnya. Yaitu, perpaduan antara gaun pesta dengan kebaya pernikahan. Dengan atasan kebaya kutu baru, beserta bawahan sayak batik. Aku yakin, Abu Zar akan terkesan dengan apa yang aku kenakan sekarang. Namun, ada yang kurang. Rambut panjangku disanggul ke belakang, dan dilengkapi dengan benda warna hijau yang entah apa. Pokoknya, aku terlihat bak perempuan yang akan mengakhiri status lajangnya.

Tiba-tiba, ada tangan yang menyapa pundakku. Aku menoleh. “Kak Parah ? Ada apa, Kak ?” tanyaku.

“Kamu terlihat cemas, Adara. Tenang saja, kekasihmu sudah duduk di kursi semestinya.” Tuturnya.

“Kekasihku ? Aku tak memiliki kekasih, Kak.. jangan ngawur deh.”

“Siapa yang ngawur ? Dari tadi, hapemu, kan aku pegang. Aku sudah baca pesan antara kamu dan si tuan menyebalkanmu itu. .”

“Eh ?,”

“Sudahlah, gak usah banyak cingcong. . nikmati pementasan ini. . kamu cantik!” Kak Parah menyentil ujung hidungku.

“Terimakasih, Kak. .”

Dia mengangguk dan berjalan meninggalkanku.

“Baiklah, Adara Maharani. Lakukan yang terbaik…!!!!” aku menyemangati diriku sendiri. Itu adalah salah satu kebiasaanku.


***


“Kamu cantik, Adara. . .” suara itu menyentil telingaku.

Aku menoleh ke belakang. “Zar ? ,”

Dia tersenyum cerah. “Hai ? Kenapa begitu cepat ganti baju ? Aku suka busanamu tadi. . kamu terlihat cantik dan elegan..” Zar memujiku. Kami sedang di back stage.

“Terimakasih atas pujiannya, Zar. Tapi kok, kamu bisa ke sini ? Maksudku ke backstage. ..”

“Perempuan bernama Parah yang mengantarku ke sini. .”

Aku menoleh pada Kak Parah yang tengah asyik dengan smartphone-nya. Lalu dia tersenyum nakal padaku.  Dasarrr…

“Tadi dia ngomong sama aku. . katanya , akhir-akhir ini kamu jarang selali mengenakan hotpant. Apa itu karena aku ?.”

Kak Parah mengatakan itu pada Zar ? Aku kesal sekaligus berterimakasih padanya. “Bisa iya, bisa juga tidak..” jawabku.

Dia berjalan tiga langkah. Dan kini, tubuh kami bersampingan. “Ayo pulang. . aku ingin segera ganti baju. Untuk pertama kalinya aku mengenakan jas ini. Membuatku gerah saja. . .” dia menggapai tanganku.

“Sejak kapan kita seakrab ini ? Juga, sejak kapan kamu berani memegang tanganku seperti ini ?” dua pertanyaanku berhasil membuatnya semakin mencengram telapak tanganku.

“Kamu tidak suka ?”

“Gak juga. Aku merasa  nyaman. . .”

“Nyaman ? Baiklah, aku akan terus memegang tanganmu, Adara. Walaupun kita baru kenal tiga hari dengan hari ini, but, it’s okay. . aku sudah jatuh suka padamu. .”

“Sekitar sembilan hari yang lalu, aku sudah jatuh suka padamu. .”

“Aku tahu. .” kata Zar.

Kami pun berjalan keluar dari gedung tempat dilaksanakannya pementasan hari ini.

“Ayo naik. . dan pake dulu helm ini. .” Zar menyodorkankan helm hitam miliknya.

“Baiklah, ayo jalan. .” aku sudah berada di boncengannya.

Berada di boncengannya sungguh membuatku bahagia. Aku tak ingin terlalu memikirkan perihal perbedaan keyakinan diantara kami. Untuk sekarang, aku hanya ingin dunia tahu, betapa diriku mencintai sosok yang sekarang tengah mengemudi, Abu Zar.


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar