“Apa
cita-cita kalian ?.” Bu Juju, Guru Bahasa Indonesia bertanya sembari tangannya masih memegang spidol yang ujungnya
menempel di permukaan whiteboard, di sana tertulis cita-cita, dengan semua
hurup kafital. Entah mengapa, ia tiba-tiba menanyakan tentang masa depan anak
didiknya. Bukannya aku tak senang, hanya saja, benar-benar bukan sosok Bu Juju
seperti biasanya. Semua murid juga tahu, ia adalah sosok Guru yang tegas dan
jarang sekali membicarakan persoalan di luar mata pelajaran.
Semua
siswa-siswi saling melirik satu sama lain, begitupun aku yang duduk di bangku
paling belakang, di pojok sebelah kanan. Aku melirik kawan semejaku, Dasta.
“Eh, Das, kok tiba-tiba Bu Juju nanyain cita-cita kita yah ? Aneh sekali.” Aku
bertanya pada Dasta yang tengah sibuk dengan buku catatannya. Ia sedang
mencatat.
Dasta
menghentikan agenda mencatatnya, lalu melirikku sejenak. “Entahlah, Zul.”
Jawabnya pendek. Ia lanjut mencatat.
Aku
mendesah mendengar jawaban singkat darinya. Tak banyak omong, jujur, dan cuek,
begitulah sosok Dasta Alkata, kawan yang sejak pertama kali diriku menginjakkan
kaki di tanah sekolah ini, aku sudah satu meja dengannya. Bahkan, ia adalah
satu-satunya anak yang beradu cakap denganku ketika hari-hari menyebalkan, MOS.
“Dasta,
kamu nulis apa ?,” tanpa kuduga, sosok yang sedang aku bicarakan tiba-tiba
ditanya oleh Bu Juju.
Aku menyiku
perutnya. “Bu Juju bertanya padamu, Das!” ucapku pelan.
Dasta
melirikku sejenak, kemudian menatap sosok Bu Juju yang beberapa detik tadi
bertanya padanya. Kudengar, ia bergumam, lalu, “Minggu kemarin saya tidak
hadir, Bu. Saya sedang nyalin!” jawabnya, diakhiri dengan senyuman kik-kuk.
Bu Juju
mangut-mangut, lalu berjalan menuju mejanya. Kini, ia berdiri di samping meja
sembari tangan kanannya bertumpu pada sisi meja. “Nanti saja nyalinnya.
Sekarang, Ibu mau tanya. Apa cita-citamu, Dasta Alkata ?” tanya Bu Juju lagi.
Kini, semua mata tertuju pada siswa di sebelahku.
Kufokuskan
mataku pada Dasta. Ia siap menjawab. “Aku ingin menjadi seorang Doktor, Bu.”
Dasta menjawab dengan yakin.
Lagi, Bu
Juju mangut-magut, lalu elok matanya melirikku. Membuatku merasa bak di
introgasi olehnya. “Lalu, bagaimana dengamu, Zul ? Apa cita-citamu ?” Bu Juju
bertanya padaku.
Sekarang,
otakku berkelana ke sana-ke mari. Memikirkan apa saja hal yang ingin aku capai.
Tentang tujuan hidup, keinginan, ambisi, dan cita-cita. Semua itu masih kosong.
Dulu, ketika diriku duduk di bangku SD, aku pernah berujar pada Bu Guru bahwa
aku ingin menjadi seorang polisi. Ia bertanya, apa alasanku. Lalu, dengan yakin
nan’ matang, aku menjawab, “Karena ingin melindungi Ibu dan Ayah.” Jawabanku
itu berhasil membuatnya tersenyum manis padaku. Seolah, diriku adalah murid
terbaiknya.
Dan
sekarang, pertanyaan itu muncul lagi. Kembali terdengar setelah sekian lama tak
pernah seorangpun bertanya sedemikian serius. Ya, aku rasa, cita-cita adalah
sesuatu yang bersifat serius. Dulu, aku ditanya oleh Guru Matematika, dan kini,
pertanyaan tersebut keluar dari mulut Guru Bahasa Indonesia.
Aku
menghela nafas, dan siap menjawab. “Aku ingin menjadi manusia hebat!” jawabku
seyakin-yakinnya. Mataku masih menatap sosok Bu Juju.
Ia
tersenyum, “Itu sama saja kamu tidak menjawab. Coba jawab secara jelas. Apa
cita-citamu, Zul ?” Bu Juju menatapku begitu serius. “Semua orang juga ingin
menjadi manusia hebat. Tapi, manusia hebat macam apa ? Cita-cita macam apa yang
kamu obsesikan ?” lanjutnya.
Kini,
mataku menyapu seluruh penjuru kelas. Kutemukan tatapan penasaran dari semua
pasang mata teman sekelasku. Mereka menunggu jawabanku, siswa kelas sepuluh
yang mendapatkan rangking satu pada semester satu. “Sampai sekarang, aku masih
tidak tahu, Bu..” jawabku lagi.
Kini,
giliran Dasta yang menyenggol perutku dengan sikunya. “Ada apa dengamu, Zul ?”
bisiknya.
Aku
mendesah pelan dan kembali menatap Bu Juju. Ia siap membuka mulutnya. “Saya
hanya ingin menyampaikan sesuatu yang memang seharusnya seorang Guru katakan
pada anak didiknya. Bahwa, cita-cita
adalah sesuatu yang benar-benar ingin kalian gapai. Cita-cita merupakan
penentu masa depan kalian. Di beberapa kasus, cita-cita juga merupakan sebuah
kebutuhan. So, tentukan cita-citamu dan gapai sekuat anganmu.” Bu Juju
menasehati semua murid. Ia berjalan lebih ke tengah. “Dulu, saya juga pernah
berfikir macam kamu, Zul..” Eh ? Bu Juju memanggilku ? Lalu, “Saya sempat
bingung dan bimbang perihal obsesi dan cita-cita saya. Sampai ketika, saya
merasa bahagia dan begitu berguna saat membantu adik kelas saya membuat sebuah
pidato. Rasanya benar-benar menyenangkan. Sejak saat itu, saya berangan-angan,
jikalau suatu hari nanti, saya bisa menjadi seorang Guru. Kini, angan-angan itu
berubah menjadi sebuah cita-cita yang sudah Ibu gapai dan dapatkan.” Lanjutnya.
Lalu, ia melirikku. “So ? Tentukan cita-citamu dari sekarang..” Bu Juju
mengakhiri sesi ceramahnya, sembari melempar senyuman manis ke penjuru kelas.
Semua murid tersenyum puas mendengar kalimat-kalimat pencerahan dari Bu Juju.
Termasuk diriku.
TING
TONG..!!
TING
TONG..!!
Bel
berbunyi, menandakan berakhirnya segala sesi pelajaran. Sembari memasukan buku
catatan, pulpen, dan alat tulis lainnya, kewarasanku terus aja memikirkan
kalimat yang Bu Juju tuturkan. Nasehatnya begitu mengena di hatiku.
‘Cita-cita
? Entahlah..’
***
Aku keluar
dari kamarku. Berjalan menuju dapur, untuk menemui Ibu. Percaya atau tidak,
kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Bu Juju ketika menit-menit penghabisan
pembelajaran, benar-benar sukses membuatku penasaran sekaligus antusias. Aku
sendiri tak tahu, mengapa diriku begitu antusias. Hanya ulu hatiku-lah yang
tahu segalanya. ‘Semua orang juga ingin menjadi manusia hebat. Tapi, manusia
hebat macam apa ? Cita-cita macam apa yang kamu obsesikan ?’ kalimat itu
terus-menerus tumpang tindih di otakku.
Aku sampai
di dapur, tepat saat Ibu hendak melangkah keluar dari pintu dapur. “Ada apa,
Zul ? Kamu mau makan ?” Ibu bertanya padaku.
Kami saling
berhadapan di ambang pintu. Aku menggeleng. “Aku tak lapar, Bu. Aku hanya ingin
bertanya pada Ibu..” jelasku sembari tersenyum.
Tiba-tiba,
Ibu mengelus pelan rambut hitamku yang hampir masuk ke sela-sela telinga.
Kurasa, aku harus segera bercukur. “Tanya apa, Zul ?” tuturnya, lalu ia
menggiringku menuju ruang tamu yang beberapa detik tadi diriku lewati.
“Ngobrolnya di ruang tamu aja, yuk!” ajak Ibu, aku hanya mengangguk.
Kami duduk
bersampingan, di kursi panjang di ruang tamu. “Kamu mau tanya apa sama Ibumu
ini, Zul ? Tentang sekolahmu ?” Ibu lekat menatapku. Aku bisa melihat
kilat-kilat di mata bulatnya.
Lagi, aku
menggeleng. “Apa Ibu punya cita-cita ? Apa cita-cita Ibu semasa SMA ?” tanyaku,
dan berhasil membuatnya sedikit terheran-heran.
Keningnya
mengerut. “Lho ? Memang kenapa, Zul ?” tanyanya lagi.
“Tak apa.
Zul hanya bertanya..”
Ibu
mengelus pelan rambutku, seperti yang dilakukannya saat kami saling berhadapan
di ambang pintu dapur tadi. “Jujur ya, Zul. Ketika masa-masa SMA, Ibu sendiri
masih bingung tentang cita-cita Ibu..” jelasnya, benar-benar jawaban yang sama
denganku ketika ditanya oleh Bu Juju. “Sampai saatnya, Ibu mulai berfikir,
betapa hebatnya jikalau Ibu menjadi seorang pekerja kantoran. Memikirkannya
saja sungguh membuat Ibu senang. Tapi..”
Keningku
mengerut. Aku menunggu kalimatnya yang masih menggantung. “Tapi ?,”
Ibu
memainkan jari telunjuknya di rambutku. “Tapi, sejak bertemu dengan Ayahmu,
lalu resmi pacaran, dan disambung
menikah. Ibu hanya memiliki satu cita-cita dan obsesi.”
“Apa ?,”
Aku semakin penasaran.
“Menjadi
seorang istri sekaligus ibu yang baik untuk Ayah dan dirimu, Zul..” jawabannya
semakin membuatku bingung.
“Apa itu
termasuk cita-cita ya, Bu ?” Aku bertanya.
“Ibu rasa
iya. Di beberapa kasus, bisa membuat seseorang yang kita cintai bahagia dan
selalu tersenyum manis setiap harinya, pantas disebut cita-cita dan obsesi.
Bagaimana dengamu, Zul ?” Ibu bertanya padaku seperti halnya Bu Juju.
“Aku ?
Entahlah, Bu, Zul sendiri masih bingung..”
Ibu
tersenyum. “Jadilah manusia hebat nan’ sukses, lalu bahagiakan orang-orang di
sekitarmu, termasuk kekasih hatimu, Zul.” Jelasnya, menimbulkan rona di pipiku.
Ibu
terkekeh. “Sudahkah memiliki kekasih hati ?.” Ya ampun, ada apa dengan Ibuku
siang ini ? Mengapa ia begitu bersemangat menanyakanku perihal kekasih.
“Aku mau
tidur siang…” kubergegas berjalan menuju kamarku. Samar-samar, kudengar Ibu
terkikik sendiri.
Rasanya
begitu aneh dan hambar ketika membicarakan tentang kekasih. Mungkin, karena
diriku yang masih kosong tak berpenghuni.
***
- 2013-
Aku sakit.
Seminggu lamanya aku berdiam diri di rumah. Membosankan memang. Tapi, harus
bagaimana lagi ? Aku terserang tipes. Kata doktor, aku kurang istirahat,
terlalu sering melahap makanan yang pedas, dan juga jarang olahraga. Dua
diantaranya memang benar. Namun untuk terlalu seringnya diriku melahap makanan
pedas, itu benar-benar dusta. Ibuku sendiri tahu kalau anaknya ini jarang
sekali memakan makanan pedas. Tapi, doktor juga manusia, bukan ? Mungkin, ia
hilaf.
Aku sempat
berbicara pada kedua orang tuaku supaya mengizinkanku masuk sekolah. Tapi,
mereka mewanti-wanti agar aku menurut untuk tidak masuk sekolah dulu. Dan aku
menurut akan perkataan mereka. Lagi pula, tak ada salahnya juga berdiam diri di
kamar selama seminggu. Itung-itung, meng-istirahatkan otakku dari tetek bengek
sekolah. Selama seminggu, aku menghabiskan hari-hariku dengan tidur manis di
kasur empukku, makan obat tiga kali sehari, meminum jamu cacing, dan memandangi
awan biru dari balik jendela kamar.
Dan
beruntungnya, hari ini aku bisa masuk sekolah kembali. Sebab, sakit tipes yang
selama ini aku derita telah enyah dari tubuhku. Cukup menggembirakan, karena
seminggu lamanya aku tidak bertatap muka dengan kawanku, Dasta. Aku yakin,
selama diriku sakit, ia tak bisa leluasa mencontek ria. Karena selama ini, kami
memang selalu bertukar ‘contekan’ —tepatnya bertukar ilmu. Berbicara tentang
Dasta, beberapa hari yang lalu ia mengirim pesan padaku, katanya, seminggu yang lalu, tepat saat diriku izin
untuk tak masuk sekolah, ada siswi baru di kelas sebelas A.
“Zul, kelas
kita kedatangan siswi baru. Aku tak begitu ingat namanya. Yang jelas dia
cantik, manis, dan baik hati. Meja kita bersebelahan dengan mejanya. Berdekatan
dengan tempat dudukku.” Begitulah kalimatnya. Aku sempat terheran-heran, pasalnya,
Dasta merupakan tipe cowok yang tak begitu memperdulikan wanita dan asmara.
Katanya, ia ingin fokus dulu pada sekolahnya. Mungkin saja, kecantikan si siswi
baru itu membuat komitmen yang selama ini ia junjung tinggi secara perlahan,
memudar. Entahlah, aku jadi penasaran. Secantik dan semanis apakah siswi baru
itu ? Apa kecantikan dan kemanisannya bisa mengalahkan tampang-tampang girlband
korea ? Mari kita lihat nanti.
***
Dasta
melambaikan tangan kanannya ketika kakiku melangkah masuk ke kelas sebelas A,
kelasku. Aku tersenyum padanya. Cukup rindu juga tak bertemu dengannya selama
seminggu ini. Bedebahnya adalah, ia sama sekali tidak berkunjung —tepatnya
menjenguk diriku. Sesibuk apa sih ia, sampai-sampai tak berniat menjenguk kawan
baik yang selalu berbagi ilmu dengannya ini.
“Kawan
macam kamu, Das ? Satu kalipun, kamu tak menjenguk kawanmu ini. Benar-benar
mengecewakan!” sindirku padanya, sembari mendaratkan pantatku ke tempat
duduk-ku. Di dekat dinding. Lalu, kuletakan tas gendongku di atas meja.
“Kenapa, huh ?” aku masih menyindirnya.
Dasta
melirikku. “Sori, Zul. Lagian, aku terlalu males untuk sekedar menjengukmu. Di
rumahmu tak ada makanan secuil pun..” jawabnya enteng.
Kudaratkan
pukulan ke lengannya yang dibalut seragam putih. Tentu saja, pukulan pelan.
“Sialan!” hardikku.
Mataku
menyapu ke seluruh penjuru kelas ketika sosok siswi asing berkulit putih bersih
berjalan ke arah sini. Rambutnya dikuncir ke belakang. Sejenak, aku
mengira-ngira, apa ia si siswi baru yang beberapa hari kemarin Dasta kisahkan
padaku ? Aku masih menatap sosoknya. Seragam putih-abu, dasi, dan tas ransel
yang ia kenakan membuatnya begitu cantik dan manis. Ya Tuhan, ada apa denganku
? Aku mulai tak waras. Sadar atau tidak, aku mulai melahap kalimat dari
kawanku, Dasta. Padahal, aku belum tahu kepastiannya.
Tiba-tiba,
elok matanya melirikku ketika sosokku masih menatapnya. Mata kami bertemu.
Lalu, ia tersenyum ramah padaku. Senyuman yang tak dibuat-buat. Untuk beberapa
detik, aku membuang muka, tak membalas keramah-tamahannya yang beberapa detik
tadi tersenyum manis padaku. Aku menatap kosong dinding bercat biru muda.
“Hai ?
Namaku..” Kudengar, seorang wanita mengusik pendengaranku. Suara yang cukup
pelan, namun terdengar begitu tegas.
“Hai juga..
kebetulan aku sudah tahu namamu.” Kini, telingaku mendengar suara menyebalkan
Dasta.
Aku menoleh
ke sumber suara. Terlihat, Dasta yang sedang bersalaman dengan siswi itu.
Kulirik Dasta, kedua bola matanya tak luput dari sosok siswi di depannya.
Sementara siswi yang ia pandangi, melirik bergantian antara aku dan Dasta. Apa
ia berniat beramah-tamah padaku ? Lalu, kenapa ia malah bersalaman dengan Dasta
? Bukannya mereka sudah seminggu berada di kelas yang sama, dan mungkin saja
sudah berkenalan. Pertanyaan bodoh itu muncul kembali, apa ia berniat beramah
tamah padaku, tapi terhalang tangan busuk Dasta ? Entahlah.
Siswi itu
tersenyum kik-kuk padaku. “Eh, aku mau duduk..” ucapnya sembari berusaha
melepaskan tangannya dari tangan kekar Dasta. Lalu, ia duduk di tempat duduknya
yang cukup berdekatan dengan tempat duduk Dasta. Mungkin, hanya berjarak tujuh
jengkal tangan orang dewasa. Siswi itu satu meja dengan Miska, siswi pintar
yang cukup baik untuk ukuran anak pejabat.
Kusiku
lengan Dasta. “Kamu teralu agresif, Dasta Alkata..” kataku.
Beberapa
detik ia melirikku. “Aku tak peduli..” ungkapnya, lalu kembali menatap siswi
cantik yang mejanya bersebelahan dengan meja kami.
Lagi, aku
menyiku lengannya. “Apa dia siswi baru itu ?” tanyaku.
Dasta
menoleh, “He eh. . cantik, kan ?”
Aku
mengangguk pelan. “Bisa bisa..”
Lalu, ia
senyum-senyum sendiri bak manusia tak waras, sembari mengeluarkan buku catatan
Bahasa Inggris dari tas yang ia letakan di atas meja, sama sepertiku.
Apa Dasta
sudah jatuh hati dan terpikat pada pesona siswi baru itu ? Apa sedikit demi
sedikit, ia akan menghapus komitmen ‘Tak berniat mengurusi persoalan wanita dan
asmara. Ingin berfokus dulu pada sekolah’ yang sempat ia katakan padaku saat
kami mulai akrab ?
Kucondongkan
tubuhku lebih ke belakang, lalu menatap siswi baru itu. Ia sedang mencatat.
Tanpa sadar, aku tersenyum sendiri saat melihat rambut yang ia kuncir bergerak
ke sana- ke mari dipermainkan udara.
Dan,
BAAAAM…
Mata kami
bertubrukan. Sengaja atau tidak, niat atau tidak, ia memandangku. Lalu ia
tersenyum manis seperti tadi saat pertama kali mata kami bertemu. Senyuman yang
sama, dengan sumur kecil di sekitar pipinya. Ia terlihat begitu manis dengan
lesung pipinya.
Mata kami
masih bertemu. ‘Siapa namamu…?’ batinku berujar.
***
Miss Lala,
Guru Bahasa Inggris, berkata bahwa ia akan mengadakan permainan untuk melatih
kosa kata anak didiknya. Beberapa detik kemudian, suara keluhan dan gumaman
keluar dari mulut hampir semua siswa dan siswi, terkecuali aku dan beberapa
murid cerdas lainnya. Aku melirik siswi baru itu, ia memasang ekspresi datar
sembari memainkan jari-jemarinya dengan cara menggesek-gesek-kan jari telunjuk
dan ibu jarinya. Bak seorang koki yang tengah menaburkan garam ke dalam
masakannya. Wajah cantiknya bertumpu pada tangan kirinya. Sebut saja, menopang
dagu.
Kembali ke
Miss Lala. Ia memang cukup sering mengadakan sebuah permainan di sela-sela
teori yang sudah ia sampaikan. Agar kalian tak mudah merasa bosan dengan cara
saya menyampaikan pembelajaran, begitu kata Miss Lala. Memang benar adanya. Aku
sendiri, cukup bosan dengan berjuta teori yang para Guru sampaikan. Dengan
diadakan-nya permainan, aku bisa merasa lebih fresh dan tentu saja, beban otakku
bisa lebih ringan. Itung-itung penyegaran. Namun, tak jarang banyak siswa-siswi
yang berkeluh-kesah dengan game yang Miss Lala mainkan, terutama bagi
siswa-siswi yang buta akan Bahasa Inggris.
“Baiklah..
saya akan jelaskan cara mainnya..” Miss Lala berujar. Ia berdiri di
tengah-tengah, di depan whiteboard. Tangannya memegang spidol. “Pertama, Ibu
akan memanggil satu nama secara acak. Yang namanya dipanggil, dia harus
melisankan minimal empat kata dalam Bahasa Inggris. Contohnya, i miss my
sister, atau, this is my class.. lebih banyak kata yang kalian lisankan, lebih
baik..” jelasnya. Lalu, “Mengerti ?”
Semua
siswa-siswi saling melirik satu sama lain. “Setelah itu ? Lalu, bagaimana kalau
salah satu dari kami tidak bisa mengucapkan minimal empat kata ? Apa dihukum
?,” Siswa yang duduk di bangku paling depan di barisanku bertanya.
“Kalau dia
berhasil melisankan minimal empat kata. . dia harus menunjuk satu orang murid.
Lalu, murid yang dia tunjuk, harus melisankan minimal empat kata dalam Bahasa
Inggis.. dan begitu seterusnya.” Miss Lala menjelaskan. “Kalau sampai ada yang
tak bisa melisankan minimal empat kata, tentu saja akan saya hukum.” Mendadak,
semua murid mengeluarkan cicit keluh. “Hukumannya, harus membuat satu bait
puisi. Dan menggunakan Bahasa Inggris. Just it!” lanjutnya.
Hening,
semua siswa-siswi tak membuka mulut, begitupun aku yang sedari tadi fokus
menatap serta mendengarkan sosok Miss Lala bercuap-cuap.
Kini, mata
Miss Lala menyapu ke seluruh sudut kelas. Ia sedang mencari-cari siswa-siswi
yang namanya akan ia panggil. Miss Lala siap membuka mulut, “Dasta, kamu yang
pertama..”
Ekor mataku
melirik sosoknya. Lalu, Dasta segera berdiri, “Miss Lala, you are the best..”
Dasta melisankan enam kata, dan berhasil membuat Miss Lala terkekeh.
Dasta benar-benar
penjilat kelas kakap. Ia begitu pandai ‘merayu’ Miss Lala dengan kalimatnya.
“Dasar penjilat..” sindirku dengan suara pelan. Persis seperti gumaman.
Yang
kusindir tak menoleh padaku. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya.
Kurasa, ia akan menunjukku. Tapi, tak apa. Aku sangat siap melisankan lebih
dari empat kata. Dan mungkin bisa membuat Miss Lala menganga.
Tepuk
tangan Miss Lala membuyarkan lamunanku. “Bagus.. bagus.. sekarang, tunjuk satu
orang..!!!” Miss Lala memerintah.
Dasta duduk
kembali, lalu, “Zul, Bu..” dan benar saja, Dasta menunjukku.
Aku segera
berdiri. “Boleh saya lisankan sekarang, Miss ?” ternyata, kata ‘lisankan’ lebih
enak didengar dari pada ‘ucapkan’.
Miss Lala
mengangguk. “Ofcourse!” sambungnya.
Aku siap
menjawab. “I have a dream, but I don’t know about my dream..” aku sukses
melisankan sebelas kata.
Entah
mengapa, kini, semua mata tertuju padaku, termasuk si siswi baru itu, ia juga
menatap lekat sosokku. “You don’t know about your dream ? Are you serious, Zul
?” tanya Miss Lala dengan Bahasa Inggris. Kutengok dua siswa yang duduk di
depan tempat dudukku. Mereka terlihat menyerngitkan kening. Dasar goblok.. apa
mereka tak tahu arti dari kalimat yang barusan aku dan Miss Lala lisankan ?
Tanpa sadar,
aku melirik singkat siswi baru itu. Ia sedang menatapku. “Yes, Miss..” ucapku
untuk menjawab kalimat Miss Lala yang mempertanyakan mimpiku.
Sadar bahwa
semua mata tertuju padaku, Miss Lala berdehem. “Baiklah, saya mengerti.
Sekarang, tunjuk satu orang, Zul..” pinta Miss Lala. Kukira ia bakal
memperpanjang obrolan tentang mimpi yang beberapa detik tadi sukses membuat
semua mata tertuju padaku. Ternyata, tidak.
Aku masih
berdiri, menatap semua siswa-siswi yang sedang menunggu untuk aku panggil.
Sejenak, ingin saja aku menunjuk sosoknya. Namun, saat elok mataku melihat
binar was-was di matanya beserta gerak-geriknya, aku membatalkan niat awalku.
Tampaknya, ia sedikit buta akan pelajaran Bahasa Inggris. Lalu, aku menunjuk
siswi bernama Miska yang satu meja dengan siswi baru itu. Siswi baru yang tak
kuketahui namanya. Kebetulan, saat Miss Lala sedang mengabsen, rasa ingin buang
hajat dalam diriku terlalu menggebu. Terpaksa, aku meminta izin untuk ke
toilet. Aku yakin, Miska pasti bisa melisankan lebih dari empat kata, ia juga
merupakan siswi yang cerdas. Sebelumnya, sudah aku jelaskan, bukan ?
Aku duduk.
Tak kuperdulikan siswi yang barusan aku tunjuk. Aku tak begitu mendengar
kalimat yang Miska ucapkan. Otakku lebih memilih untuk memikirkan kalimat yang
tadi aku ucapkan di hadapan halayak kelas.
Samar-samar,
aku merasa tengah diperhatikan oleh seseorang.
***
Kulangkahkan
kakiku memasuki pintu rumah, tanpa terlebih dahulu membebaskan sepatu yang
sedari tadi aku kenakan. Tepat saat itu, sosok Ibu menegurku. “Kamu kenapa, Zul
?” Ibu bertanya padaku.
Aku
menyalam padanya, lalu, “Aku baik-baik saja, Bu.”
Aku
berjalan menuju kamar. Tangan kananku menggapai gagang pintu ketika suara Ibu
mengusik indera pendengarku kembali. “Jatuh hati ?,”
Deg!
Mengapa Ibu
tiba-tiba melisankan kalimat yang menurutku keramat itu ? Apa caraku tersenyum,
beserta gerak-gerikku menunjukkan kalau sosokku sedang jatuh hati pada
seseorang ? Aku rasa, tidak sama sekali. Aku tersenyum seperti biasa. Hanya
saja, disela-sela bibirku yang merekah, sosok siswi baru yang tak kuketahui
namanya itu tiba-tiba muncul di bilik kewarasanku. Aku sendiri tak tahu.
Sungguh.
Masih
memegang gagang pintu kamar, aku menoleh ke belakang. Nampak Ibu yang tengah
mengulum senyum sembari menepuk pelan dadanya dengan tangan kanannya. “Aku
sedang tidak jatuh hati, Bu. Omong-omong, aku ingin tidur siang, Bu. .”
pangkasku, lalu membuka pintu, berjalan memasuki kamar, tak lupa, menutup
pintu. Setelah itu, kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Tanpa mengganti
terlebih dulu seragam putih abu-abu yang kukenak-kan.
‘Apa aku
benar-benar jatuh hati ? Lalu, pada siapa ? Aku rasa tidak..!!!’
***
Aku
melangkah yakin memasuki pintu kelas sembari membenarkan letak sabuk celanaku.
Suasana kelas tampak sepi. Ya, hanya ada aku dan siswi itu. Untuk sekian detik,
aku benar-benar menyesal karena memutuskan berangkat ke sekolah pagi-pagi
sekali. Keadaan sekolah masih cukup sepi, begitu juga kelasku. Sebenarnya,
penyesalanku tak akan sebegitu besarnya jikalau kelas benar-benar sepi tanpa
sosok manusia satu pun. Namun ini ? Siswi baru itu sudah ada di kelas terlebih
dulu. Hanya seorang diri.
Tanpa
melangkah lebih jauh, aku masih menatap sosoknya. Ia menyumbat kedua liang
telinganya dengan headset warna putih pekat, sembari matanya menatap lekat
layar smarphonenya. Entah lagu apa yang tengah ia dengarkan, sampai-sampai
membuatnya tak menyadari kehadiran diriku. Hari ini, rambutnya juga dikuncir ke
belakang. Begitu manis.
Kuputuskan
untuk melanjutkan langkahku ketika siswi itu memalingkah wajahnya padaku. Mata
kami bertemu.
Jujur, aku
suka caranya menatapku. Binar matanya begitu menyejukkan. Tiba-tiba, ia
melepaskan headset yang sedari tadi tersumbat di telinganya. “Hai ? Kenapa diam
?.” sapaan sekaligus kalimat tanya keluar dari bibir cerinya.
Aku ? Hanya
bisa tersenyum dan melanjutkan langkahku menuju tempat dudukku. Aku merasa
kalau waktu berjalan begitu lambat. Langkahku begitu berat dan penuh beban. Apa
aku grogi ? Bagaimana bisa ? Tidak mungkin. Aku sudah sering berhadapan dengan
banyak siswi cantik nan’ mempesona. Siswi baru itu tak ada bedanya dengan
mereka.
Kudaratkan
pantatku ke atas kursi ketika suaranya terdengar kembali. “Kita belum kenalan,
ya ?” Siswi itu bertanya padaku.
Aku menoleh
padanya. “Iya!” jawabku singkat, sembari meletakkan tasku di atas meja, seperti
biasa.
Aku kembali
berfokus pada siswi yang beberapa detik tadi bertanya padaku. Ia mengulurkan
tangan kanannya. “Namaku Daiva Elzira. Kamu ?,”
Daiva
Elzira ? Nama yang indah dan berkarakter. Tanpa sadar, senyumku merekah. Aku
yang sejak kemarin dibuat penasaran perihal namanya, kini, nama lengkapnya
sudah mengisi ruang kosong di otakku. Daiva Elzira, kurasa tak begitu sulit
untuk menghafal sekaligus melisankan namanya.
Aku hendak
beramah-tamah padanya dengan membalas uluran tangannya ketika diriku sadar,
tanganku tak cukup panjang untuk sekedar membalas uluran tangannya. Aku
bergegas berdiri dan duduk di kursi Dasta. Lalu menautkan tanganku padanya.
Kini tangan kami saling bertaut. Tangan putih bersihnya menyatu dengan tangan
sawo matangku.
“Zulfaqar
Ash Sadiq. Panggil saja, Zul..” kulisankan nama lengkapku sembari memberinya
senyuman ramah yang dari kemarin belum aku tunjukan padanya. Sekarang, aku
lebih leluasa tersenyum dan menatap elok matanya. Berbeda dengan kemarin saat
diriku bahkan belum beradu tangan dengannya.
“Nama yang
indah..” Daiva memujiku.
“Terima
kasih atas pujiannya, Daiva Elzira..” Aku berhasil melisankan nama lengkapnya.
“Terima
kasih kembali, Zulfaqar Ash Sadiq..” Diriku patut berbangga diri, sebab, hanya
dalam waktu singkat, ia langsung hafal nama lengkapku. Nama yang menurutnya
indah.
Mata kami
masih beradu, tangan kami masih menyatu, dan tentu saja deru nafasnya masih
bisa kudengar, ketika suara deheman seseorang dari arah pintu membuat aku dan
Daiva terlonjat kaget, dan berhasil membuat tangan kami tak bertaut.
Serempak,
aku dan Daiva menoleh ke arah suara tadi berasal. Di sana, sosok siswa
berperawakan jangkung nan’ berisi tengah menatap bergantian antara aku dan
Daiva.
“Dasta..”
lirihku.
***
Seharusnya
ini akan baik-baik saja andai ia memiliki pemikiran yang dewasa. Sayangnya,
pemikirannya terlalu dangkal. Hanya karena masalah simple, bahkan terlalu
simple untuk disebut ‘masalah’. Dari dulu, sekalipun, aku tak pernah beradu
mulut, bertengkar, dan saling enggan menyapa dengannya. Tapi, hanya karena
jabatan tangan saja, ia langsung uring-uringan dan mengambek padaku.
Ketika
tanganku saling bertaut dengan tangan Daiva, saat itu juga, elok matanya
menyidik secara brutal aku dan Daiva. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas,
aku melihat binar ketidak-sukaan-nya padaku —tepatnya pada jabatan tangan kami.
Sebab, tepat saat kami mendengar deheman seseorang, lantas membuatku dan Daiva
menengok ke sumber suara, saat itu, Dasta sedang menatap, tepat di tangan kami
yang masih bertaut. Beberapa detik kemudian, ia menatap bergantian antara aku
dan Daiva. Sungguh, saat itu, aku benar-benar tak mengenali sosok kawanku,
Dasta Alkata.
Kedua
matanya menggambarkan kemarahan, tunggu, tungu. . . apa Dasta cemburu ?
Maksudku, apa ia jatuh hati pada sosok Daiva Elzira ? Apa ia berfikir kalau aku
saingannya ? Entahlah. Bahkan, aku baru saja saling berkenalan dengan Daiva
Elzira.
Kuharap,
Dasta tak benar-benar marah padaku, dan lantas memotong tali persahabatan kami.
***
“Kamu gak
beli makanan, Daiva ?”
“Aku gak
lapar. Sebenarnya, aku sangat malas berlama-lama di kantin..”
“Kenapa ?,”
“Bukan
apa-apa. Aku lebih suka duduk manis di kelas. . he he…”
“Apa ada
sesuatu yang menarik ?,”
“Maksudmu
?”
“Sesuatu
yang membuatmu betah berlama-lama di dalam kelas..”
“Gak juga.
Sekedar mendengarkan musik..,”
“Apa tak
membosankan ?,”
“Tidak sama
sekali. Bagaimana denganmu, Zulfaqar ?”
“Aku ?,”
“He eh.”
“Kalau aku,
ya, hayu-hayu aja. Di kantin hayu, di kelas hayu, di perpustakaan pun hayu-hayu
aja..’
“Oh,
begitu. Eh, Zul. . kayaknya kawanmu tak suka padaku.”
“Maksudmu,
Dasta ?”
“He eh..”
“Bukannya
tidak suka padamu.., hanya saja..”
“Hanya saja
?,”
“Entahlah!”
“Dasar..”
“Dasar,
Daiva Elzira..”
“Dasar,
Zulfaqar Ash Sadiq..”
“Namamu
bagus, Daiva..”
“Begitu
juga dengan namamu, Zul..”
“Terima
kasih. Aku sangat tersanjung..”
“Begitu
juga denganku..”
“Omong-omong,
ke kelas yuk! Aku bosan di kantin..”
“Aneh
sekali.. yuk!”
***
Seminggu
sejak tanganku dan tangannya saling bertaut, serta mulut kami saling bertukar
nama, aku dan Daiva semakin lengket bak sepasang sandal. Maksudku adalah, dekat
sebagai sepasang kawan. Aku tak terlalu memikirkan rasa yang mungkin akan
mengembang jika aku terlalu dekat dengannya. Hanya saja, aku begitu menikmati
saat-saat, hari-hari, detik-detik ketika bersamanya. Saling bercakap, saling
memuji satu sama lain, saling bertukar senyuman manis, bahkan saling
colek-menyolek. Saat-saat seperti itu, teramat aku nikmati. Begitupun
dengannya.
Yang
membuatku terkekeh bak orang tak waras, adalah, sudah 3 kali, Daiva memuji
namaku. Ingat! Namaku, bukan tampangku. Mungkin, Daiva terlalu gengsi nan’ malu
untuk sekedar memuji keindahan rupaku. Saat untuk pertama kali, tangan kami
saling bersentuhan dalam ikar perkenalan, Daiva terlebih dahulu memuji namaku.
Nama yang indah, begitu katanya. Ia juga sempat memuji namaku, ketika kami ke
kantin bebarengan. Aku mengajaknya. Di kantin, kami saling bertatapan, dan
tentu saja, saling bercakap ria. Sampai saatnya, ia memuji namaku kembali.
Hanya saja, saat itu, aku yang pertama memuji keindahan namanya. Tapi, sama
saja, bukan ? Untuk yang ketiga, ia memuji namaku, tepat saat diriku tengah
mengerjakan tugas Matematika. Saat kupalingkan elok mataku menujunya, di tempat
duduknya, ia berujar pelan, ‘Namamu bagus, Zul..’. Aku hanya bisa tersenyum
rona.
Sejak saat
itu pula, diriku menghabiskan begitu banyak waktu dengannya. Dari membantunya
mengerjakan tugas Bahasa Inggris serta Bahasa Indonesia, saling bertukar
pendapat perihal Guru-guru yang mengajar di kelas kami, sampai mengungkapkan
kekecewaan-nya atas sikap kawanku, Dasta. Tunggu.., sebenarnya, aku ingin
mengisahkan Dasta. Tapi, belum saatnya. Jadi lanjut saja pada kisahku dengan
siswi baru bernama Daiva Elzira.
Hal yang
paling kuingat dari sosoknya adalah, senyum manisnya. Daiva benar-benar gemar
melempar senyum pada hampir semua siswa-siswi, termasuk diriku. Sumur kecil di
pipinya nampak jelas tat kala ia tersenyum. Begitu manis dan menggemaskan.
Selain itu,
ia juga mengisahkan tentang keluarganya. Bisa dibilang, aku adalah anak orang
kaya, tapi, aku tak begitu bangga mengakui itu. Begitu ujarnya. Ia adalah anak
bungsu dari dua bersaudari. Beda denganku yang merupakan anak tunggal. Daiva
sempat menceritakan padaku, betapa bahagia dan mengagumkan memiliki kedua orang
tua seperti kedua orang tuanya. Meskipun Ibu dan Ayahnya begitu sibuk dengan
urusan kantor, tapi mereka tak pernah lupa memberi kasih sayang tak terbatas
padanya, si bungsu yang doyan tersenyum. Ia juga sempat bertutur, betapa sedih
nan’ merananya ia kini. Sebab, kakak perempuan satu-satunya sedang sakit tipes.
Saat mengisahkan kakaknya, ia terlihat begitu murung. Tapi, aku berhasil
membuatnya tersenyum cerah kembali dengan berkata, ‘Aku tak suka melihatmu
murung, kamu terlihat jelek, Daiva..’ kalimat yang terkesan ejekan itu malah
membuatnya terkekeh. Bukan hanya kakakmu saja yang menderita karena sakit
tipes, aku pun pernah mengalaminya. Begitulah ujarku. Dan dari sanalah, aku dan
Daiva semakin dekat tak berjarak.
Sayangnya,
dibalik kedekatanku dengannya, ada sosok yang menahan luka nestapa. Ia adalah
Dasta, kawanku sendiri.
“Kamu
menipuku. Kamu mendustaiku, Zul. Kamu brengsek! Bagaimana bisa kamu mendekati
Daiva, sementara kawan baikmu ini sudah terlebih dulu jatuh hati padanya. Ada
apa denganmu, Zul ? Apa kamu ingin menggunting tali persahabatan kita, Zul ?”
Begitulah
katanya. Mau tahu jawabanku ? Jawabannya adalah, diam tanpa kata. Ya, aku tak
berusaha untuk merespon kalimatnya. Untuk apa ? Aku bukanlah sosok yang
serta-merta mendekati Daiva dengan tujuan agar ia jatuh hati padaku. Aku dekat
dengannya, menjalin pertemanan dengannya, bukan lain karena aku merasa begitu
nyaman ketika mengobrol dengannya. Aku yakin, Daiva juga merasakan hal yang
sama denganku. Ia juga teramat nyaman ketika beradu cakap denganku. Dan satu
lagi, aku berniat menggunting tali persahabatan antara diriku dan Dasta ? Tentu
saja, tidak. Bukannya ia sendiri yang mencoba untuk menggunting tali
persahabatan antara kami dengan cara menjauhiku ?. Bahkan, ia tak pernah
membalas sapaan manisku. Pula, ia pun memindahkan diri ke bangku paling depan.
Di tempat dudukku ? Aku sendiri tak berkawan. Beruntung, masih ada sosok Daiva
yang selalu membuatku tak bosan untuk tersenyum. Oh Tuhan, aku mulai sadar,
bahwa, betapa ia begitu berpengaruh dalam kehidupanku kini. Karena Daiva, aku
lebih sering tersenyum bak orang tak waras. Karenanya, diriku bisa merasakan
kehangatan dari seorang kawan sekaligus kekasih. Mungkin aku berlebihan. Namun,
entah mengapa, cara Daiva memberi perhatian padaku benar-benar menggambarkan
sosok kekasih yang begitu mencintai sang pangeran idaman. Entahlah, mungkin aku
bergurau.
Benar,
bukan ? Tadinya, aku berniat mengisahkan kawanku, Dasta. Eh, aku malah
kebablasan mengisahkan Daiva.
Baiklah.
Kembali pada Dasta Alkata, si pecemburu yang tengah jatuh hati pada sosok Daiva
Elzira.
Kalaupun
benar ia sudah jatuh hati pada sosok Daiva, bukan berarti terbentang larangan
agar aku tak boleh beradu cakap dengannya. Menjalin persahabatan dengannya, si
gadis yang doyan tersenyum memamerkan sumur kecil di pipinya. Harusnya, ia
gapai rasa cintanya pada gadis yang ia cintai, bukannya bertindak bodoh dengan
menjauhiku. Apa itu membuat Daiva menerima perasaanya ? Huh, aku rasa tidak.
Jadi
intinya, hubungan pertemananku dengan Daiva semakin melaju. Sementara hubungan
pertemananku dengan sosok Dasta semakin mundur arah.
***
“Apa
cita-citamu, Zul ?” Daiva bertanya sembari menoleh padaku.
Seperti
biasa, tatapan menyejukkan-nya senada dengan senyum manisnya. “Cita-cita ?
Entahlah..” itulah jawabku.
“Itu bukan
jawaban yang aku tunggu, Zul..”
Kami duduk
di kursi panjang yang terbuat dari kayu, di taman yang jaraknya cukup dekat
dari sekolah. “Satu.. dua.. tiga.. empat..” kuhitung jari-jemariku. “Sudah
empat orang yang mengajukkan pertanyaan semacam itu padaku. Termasuk dirimu,
Daiva Elzira..” kuberanikan diri untuk menyentil ujung hidungnya.
Daiva
terkekeh. “Jangan menyentil hidung mancungku, Zulfaqar Ash Sadiq..” lagi,
kebiasaan saling ledek nama masing-masing terukir kembali. Walaupun, terlalu
berlebihan untuk disebut ‘ledekan’.
Aku
mangut-mangut. “Hidung kita sama-sama mancung. . jangan-jangan..” aku berhasil
membuat sosoknya diambang penasaran melangit.
“Jangan-jangan
?,” ia mengulang kalimat godaan yang diriku lontarkan padanya beberapa detik
tadi. “Jangan berfikir macam-macam, Tuan Zulfaqar..”
Untuk kedua
kalinya, kusentik hidung mancungnya. Ia menyergap. “Bukankah, dirimu sendiri
yang berfikir macam-macam.. dasaaar..!!!” ledekku.
“Aku ?,”
tanyanya dengan ekspresi bloon. Lalu, “Sudahlah.. kamu belum menjawab
pertanyaanku, Zul..” ternyata, ia masih penasaran tentang cita-citaku.
“Entahlah,
Daiva. Bagaimana denganmu ? Apa cita-citamu ?”
“Kok
malah—”
“Jawab
saja..” aku memotong kalimatnya.
Di
sampingku, dengan tatapan menjurus ke depan, ia seakan tengah memilah jalan
menuju kesuksesan yang nyata. “Ketika berstatus bocah ingusan, aku memiliki
cita-cita..” ungkapnya. “Rasanya begitu keren andai aku menjadi seorang
Doktor.” Lanjut Daiva tanpa menoleh padaku.
Aku masih
setia duduk menyamping, menatap sosoknya. “Jadi, cita-citamu menjadi seorang
Doktor ?,” tanyaku, sampai diriku mulai sadar kalau pertanyaan yang kuajukan
beberapa detik tadi begitu tak berbobot. “Maksudku, dari bocah ingusan sampai
remaja ingusan, kamu masih setia dengan cita-citamu itu ?”
“Kamu
memang tak pandai memilah kata. Ingusan ?,” Daiva memberengut.
Aku
nyengir. “Ralat deh. Maksudku, dari bocah ingusan sampai remaja cantik nan’
menawan..” aku sengaja menggantung kalimatku ketika kulihat senyumnya merekah.
“Cita-citamu masih sama ? Menjadi seorang doktor ?.”
Ia
mengangguk yakin. “He eh..”
“Ada alasan
khusus ?,” tanyaku. Aku penasaran, apa ada alasan khusus yang melatarbelakangi
keinginan-nya untuk menjadi seorang doktor.
Daiva
menggeleng. “Gak ada. Tapi, dengan menjadi seorang doktor, aku bisa
bertranformasi menjadi doktor cinta bagi suamiku kelak.” Ia menyengir pelan.
Dan berhasil memamerkan gigi putihnya.
Lalu,
dengan semena-mena, tiba-tiba otakku membayangkan diriku yang menjadi suaminya
kelak. “So, kapan-kapan, kamu bisa dong merawatku ? Menyembuhkan sakitku..” Aku
mulai tak waras.
“Bisa,
bisa. Asal jangan sakit hati saja..” Daiva kembali tersenyum.
“Aku gak
janji.” ucapku. Lalu, “Jadi selain menjadi seorang doktor, kamu juga
bercita-cita menjadi seorang istri yang baik untuk suamiku kelak ?.”
“Kalau saja
itu pantas disebut cita-cita, mungkin iya.” Mendengar kalimatnya, aku jadi
teringat Ibu. Ia juga sempat bertutur bahwa salah satu cita-cita terbesarnya
adalah menjadi seorang istri yang baik untuk suaminya.
“Pantas
kok. Ibuku juga memiliki cita-cita macam itu.” Umbarku dan berhasil membuatnya
semakin mencondongkan wajahnya padaku. Kami masih bertatapan.
“Ibumu ?
Bersediakah kamu mengisahkan Ibumu padaku, Zul ?” dan benar saja, Daiva begitu
‘tertarik’ pada sosok Ibuku.
Kembali,
kusentil hidung mancungnya. “Kapan-kapan saja, Daiva.”
“Awal lho
kalau sampai berdusta. Kamu punya dua hutang padaku. Satu, hutang untuk
memberitahuku tentang cita-citamu..” ujarnya. “Kedua, mengisahkan Ibumu
padaku..”
Aku
menghelas nafas pendek, lalu menatap rambut hitamnya yang selalu dikuncir. Aku
punya rencana. “Cita-citaku itu teramat penting. Dan, kisah Ibuku itu terlalu
mahal..”
“Jadi ?,”
“Aku akan
membayar hutangku jika kamu mau untuk mengurai rambut hitammu itu. Aku bosan
melihat rambutmu yang hampir setiap hari dikuncir..” jelasku. “Setuju ?”
kusentil hidungnya.
Ia
tersenyum. “Baiklah. Aku setuju!” lalu ia balas menyentil hidungku yang tak
kalah bangir.
Lalu,
beberapa detik kemudian, kami terkekeh menyadari tingkah kami yang tak beda
bocah ingusan.
***
Hari ini,
lewan es-em-es, Daiva mengajakku pergi ke Gramedia. Aku ingin membeli novel,
Zul. Maukah kamu mengantarku ? Jakarta memang cukup panas dan macet, tapi kamu
mau, kan ?. Begitulah ajaknya. Aku sendiri tak tahu-menahu alasan mengapa Daiva
serta merta melibatkan Ibu Kota Jakarta beserta cuaca hari ini.
Dan di
sini-lah aku.
“Bagaimana
dengan dua novel ini, Zul ?” tiba-tiba ia menghadapku, dengan masing-masing
tangannya memegang novel. Di tangan kanannya, di sana terpampang novel dengan
judul ‘Siluet Asmara’. Aku menyerngitkan dahi. Maksudku, judul novel tersebut
agak aneh. Sementara di tangan kiri, Cita-Cita Sang Sahaja. Begitulah si
penulis memberi judul pada novelnya.
Aku yang
sedari tadi berada di belakangnya,
mengikuti setiap langkah dan gerak tubuhnya, mulai tertarik pada novel berjudul
Siluet Asmara. “Sebenarnya, aku tertarik pada novel di tangan kananmu..” Daiva
menggoyangkan tangan kanannya. “Tapi, hatiku terlanjur terpikat pada tangan
kirimu, Daiva..”
Ia
menganga. “Maksudmu novel di tangan kiriku ?,”
Aku
terkekeh. Ternyata Diava tidak se-oon itu. “He eh.. tapi, terserah mau-mu saja
sih..”
Lalu, ia
memandang bergantian antara novel di tangan kanannya yang diberi judul Siluet
Asmara dan novel Cita-Cita Sang Sahaja di tangan kirinya. Ia tersenyum padaku
sebelum akhirnya meletakkan kembali novel Siluet Cinta di rak. “Aku pilih ini
saja..” ujarnya sembari mengacungkan novel di tangan kirinya.
“Kenapa ?
Apa karena aku ?,” tanyaku dengan goblok dan sok pedenya.
Daiva
menyunggingkan senyum manisnya. “Pede sekali kamu, Zul. Aku pilih novel
Cita-Cita Sang Sahaja, bukan lain karena kamu belum memberitahuku tentang
cita-citamu, Zul..”
“Hah ? Cuma
karena itu ? Are you serious, Daiva ?”
“Aku
serius. Jadi, segeralah omongkan cita-citamu padaku..” ungkap Daiva.
Mataku yang
sedari tadi menatap lekat kedua bola matanya, kini kupalingkan menuju kemeja
putih polos tangan panjang yang sedikit kebesaran di badannya, celana jeans
yang ia kenakkan, dan berakhir di rambut hitamnya yang ia kuncir ke belakang.
Seperti biasa. “Kalau begitu, jangan kuncir rambutmu macam itu. Segeralah urai.
Biarkan aku melihat keindahan rambut panjangmu itu, Daiva..” Aku mulai
menggombal dengan nada merayu.
Ia memutar
bola matanya. “Segera mungkin, Tuan Zulfaqar.” Ungkapnya dengan nada sedikit
ganjen. Tapi, aku suka. “kalau begitu, ayo antar aku ke kasir..” Daiva
melenggang pergi menuju kasir.
Saat diriku
hendak menyusulnya, tak sengaja, elok mataku menemukan sosok nenek-nenek
sekitaran 60-an sedang membaca novel di kursi yang pihak Gramedia sediakan.
Entah novel jenis apa yang tengah ia baca. Entah apa judul novel yang ia baca.
Yang jelas, aku tertegun untuk beberapa saat. Lalu, tanpa sadar, senyumku
mengembang, tepat ketika si nenek tersenyum simpul sembari matanya tetap
berfokus pada novel di tangannya. Aku jadi penasaran, mengapa ia tersenyum ?
Apa si nenek baru saja membaca dialog-dialog agak erotis antar tokoh dalam
novel tersebut ? Aku rasa tidak. Lalu apa ? Kembali, aku hanya bisa berujar
entahlah atas ketidaktahuan-ku.
Dan
akhirnya, si nenek dan novel di tangannya itu berhasil membuat ingatanku
tertuju pada mereka. Bak mantra yang begitu sulit untuk diriku enyahkan,
senyuman si nenek teramat melekat di kewarasanku. Senyuman yang tak tertuju
padaku, melainkan pada buku yang tengah ia baca dan tela’ah.
***
— 2014—
Aku semakin
dekat dengannya. Aku tak tahu dan begitu tak paham, mengapa diriku dan dirinya
semakin dekat. Dan kurasa-rasa, kuterka-terka, kupikir-pikir, kuingat-ingat,
semakin ke sini, kedekatanku dengan sosoknya semakin menjadi. Bak sepasang
kekasih, aku dan dirinya menjalani ikar perkawanan kami tak jauh beda dengan
seorang lelaki yang begitu mendamba dan melindungi sang kasih. Bak wanita yang
begitu mencinta sang kekasih, dan begitu berharap sang kekasih selalu
menggenggam erat tangannya. Meraba setiap celah-celah jari-jemarinya. Itulah
aku, Zulfaqar Ash Sadiq, dan dirinya, Daiva Elzira.
Kutanya
hatiku, perasaan macam apa ini ? Perasaan macam apa yang selalu menggeliat di
sanubariku ketika diriku beradu cakap dengannya. Aku harap, aku tak akan jatuh
hati pada pesona sosoknya, pesonanya yang begitu menyejukkan, pesona senyum
manisnya, dan pesona sumur kecil tat kala ia menyunggingkan senyum. Sekali
lagi, aku berharap, semoga diriku tak benar-benar jatuh hati pada sosok Daiva.
Kalau sampai aku terpikat akan sosoknya, kurasa hubungan pertemanan antara aku
dan Dasta akan semakin merenggang. Ketika diriku baru berkenalan dengan Daiva
saja, Dasta sudah dibakar api cemburu. Bagaimana kalau sampai diriku sudah
jatuh hati pada Daiva ? Mungkin saja, Dasta akan membakar hatiku, lalu abu-ku
ia buang. Setelah itu ia kubur. Dan dengan langkah jenius, ia pun semakin nekad
menyelimuti Daiva dengan rasa cinta terdalamnya.
Namun,
harus bagaimana lagi ? Semua yang aku takuti adalah sesuatu yang benar-benar
terjadi. Aku terpikat pada sosok Daiva. Maksudku, aku sudah jatuh hati, bahkan
jatuh cinta pada sosok Daiva. Aku harus setuju dengan hati dan pikiranku.
Karena merekalah, diriku berani mengakui kalau diriku sudah terpikat padanya.
Ingatanku yang selalu memanggil namanya serta mengingat gelagatnya saat di
dekatku. Juga, hatiku yang senantiasa merasakan gejolak membingungan tak
bernama yang kini sudah aku ketahui, yaitu cinta, tat kala bersamanya di ruang
dan sudut bumi yang sama. Sekali lagi, aku jatuh cinta padanya. Daiva Elzira,
si cewek yang punya sumur di pipinya.
And I will
always love you~
Aku hendak
memejamkan mataku ketika kudengar hapeku mendendangkan lagu dari sang penyanyi
legenda, Whitney Houston, I Will Always Love You. Kujangkau hapeku yang
tergeletak begitu saja di tepi tempat tidur, di dekat bantal di sebelahku.
Senyumku
merekah saat menemukan nama Elzira Si Sumur di layar hapeku. Segera kuterima
panggilan darinya itu. Omong-omong, aku dan Daiva cukup sering beradu cakap via
telepon. Keseringan, aku yang pertama menelponnya.
“Hai ?
Belum tidur, ya ?” Daiva memulai.
Aku bangun
dari posisi terlentang, lalu duduk menyila. Masih di tempat tidur. “Kalau sudah
tidur, mana mungkin aku menerima panggilan darimu, Daiva Elzira..”
Kudengar ia
tersenyum pendek, menyadari betapa tak berbobotnya pertanyaan yang ia ajukan
tadi. “Kenapa belum tidur ? Gak ngantuk ? Sudah jam sebelas lebih lho..” Daiva
bertanya dengan suaranya yang terdengar agak sumbang di telingaku.
“Pertama,
beberapa detik tadi aku berniat memejamkan mataku, sebelum akhirnya dirimu
menelponku. Akhirnya aku tak melanjutkan agenda tidurku..” Pertanyaan pertama
yang ia ajukan sudah aku jawab. “Kedua, tadi aku merasa cukup ngantuk, untuk
itu aku berniat segera memejamkan mataku. Tapi, karena kamu menelponku, kurasa,
kantukku beransur hilang..” lanjutku. Berhasil membuatnya terkekeh. Aku yakin,
saat ini, sumur kecil di pipinya mengembang.
“Dasar..”
itu saja ? Lalu, ia diam sejuta kalimat.
“Hei, Daiva
Elzira.. kamu menelponku malam-malam begini, hanya untuk melisankan satu kata
itu ?,” tanyaku dengan nada yang sengaja kubuat kesal. “Dasar..”
Daiva tak
bersuara. Yang kudengar hanyalah deru nafasnya. “Sebenarnya, aku ingin
mengatakan sesuatu padamu, Zul..” aku tak merespon ucapannya. Aku menunggu
lanjutan dari kalimatnya. “Selamat, Zulfaqar Ash Sadiq.. kamu pantas
mendapatkan peringkat pertama di kelas kita. Kamu memang cerdas, dan kamu telah
menyisihkan seiprit kecerdasanmu itu padaku. Selamat dan terimakasih, Zul..”
lanjutnya. Aku jadi ingat, saat-saat di mana aku mengajarinya beberapa mata
pelajaran yang menurutnya sulit untuk ia pahami. Dan tadi siang, Bu Lala selaku
wali kelasku, membeberkan kalau yang mendapatkan peringkat pertama, bukan lain
adalah diriku. Disusul peringkat kedua yang membuat banyak saksi mata
membisukan diri. Daiva Elzria, ia-lah sang peringkat dua, dan berhasil
mempecundangi kawan semejanya, Miska.
Aku siap
bersuara ketika ia kembali bertutur, “Sekarang, kita sudah resmi berstatus
murid kelas dua belas. Masa-masa penghabisan SMA.” Suaranya terdengar sedikit
gentar.
“Selamat
juga untukmu, Daiva. Kamu pantas mendapatkan peringkat dua. Kamu cukup cerdas
untuk ukuran anak baru di kelasku.” Ungkapku tak lupa memujinya. Aku sungguh
tak basa-basi. Ia memang cerdas. Lalu, “Omong-omong, bisakah untuk tidak
membicarakan tentang masa-masa yang menurutmu penghabisan itu ? Aku sedikit malas membicarakannya..”
“Baiklah..”
“Aku ingin
mengatakan sesuatu padamu, Daiva..”
“Apa ?,”
“Sebenarnya…”
kuraba dadaku. Ya Tuhan, dag-dig-dug menggema. Rasanya begitu mendebarkan
ketika untuk pertama kali diriku harus mengakui kejatuh-suka-anku pada sosok
Daiva. Benar sekali, aku berniat menembaknya. Tentu saja, menembaknya dengan
sejuta rasa di sanubariku.
“Kamu jatuh
cinta padaku ? Begitu ?”
Deg!
Daiva tahu
tentang rasaku ? Apa ia juga memendam rasa yang sama sepertiku ? Aku
mengharapkan jawaban iya atas pertanyaan keduaku itu. “He eh.. kamu tahu?.”
“Aku tahu
karena diriku juga sang pelakon.”
Keningku
mengerut. “Pelakon ? Maksudmu ?”
“Aku sudah
jatuh pikat, suka, bahkan cinta padamu sejak lama, Zul. Tepatnya sejak tangan
kita saling bertaut untuk pertama kalinya. Masih ingat ?,”
Aku siap
meledak. “Tentu saja masih ingat. Suara deheman Dasta juga masih aku ingat..”
“Aku sedang
tak ingin membahasnya. Aku ingin membahas tentang hubungan kita saja, Zul. Aku
serius!”
“Kamu
terlalu agresif, Daiva..”
“Tak
peduli. Lalu bagaimana ? Sesuatu yang ingin kamu katakan padaku, bukan lain,
‘aku jatuh cinta padamu’ ,kan ?”
Aku
mengangguk yakin, sebelum akhirnya menyadari kalau anggukanku tak bisa ia
lihat. “Iya. Mulanya, aku jatuh hati padamu. Bebarengan dengan seringnya kamu
memuji namaku. Perlahan.., rasa itu berubah menjadi perasan cinta..” umbarku
padanya.
“Terima
kasih sudah jatuh cinta padaku, Zul. Aku sangat tersanjung..”
“Begitupun
aku, Daiva..”
“Lalu ?,”
“Lalu, apa
?”
“Tentang
kita..”
“Bagaimana,
ya ?”
“Kamu
serius jatuh cinta padaku ? Atau sekedar main-main ?,”
“Tentu saja
aku bersungguh-sungguh.”
“Lalu ?,”
“Sekarang,
detik ini juga, tepat pukul dua belas, kita resmi berstatus sepasang kekasih. Ehhem ?”
“Iya, Tuan
Zulfaqar Ash Sadiq..”
“He eh,
Nona Daiva Elzira..”
“Namamu
bagus, Zul..”
“Begitu
juga dengan namamu, Daiva..”
“Terima
kasih, aku begitu tersanjung..”
“Begitu
juga denganku, Daiva..”
Begitulah
percakapan antara aku dan Daiva malam ini. Malu-maluku bercampur dengan
keterbukan-nya berhasil mengiklarkan hubungan kami sejelas-jelasnya. Kami
pacaran.
Sampai
saatnya, Daiva menyuruh kekasihnya untuk terlelap. “Tidur sana..”
“Kamu
juga..”sahutku.
“Selamat
malam, Pacar..”
Tuttt..
tutttt… tuttt….
Aku
senyum-senyum sendiri bak manusia hilang akal. Aku ingin terlelap sesegera
mungkin. Dan, semoga pagi hari segera menyusul. Diriku begitu tak sabar menatap
sosoknya untuk pertama kali sejak kami resmi berstatus sepasang kekasih yang
saling mendamba.
Daiva
Elzira, si sumur yang begitu aku damba. Aku mencintaimu. Begitulah ungkapku
sebelum terlelap.
***
Lima bulan
ini benar-benar begitu cepat. Aku bahkan tak sadar sepenuhnya kalau diriku
sudah hampir lima bulan berstatus kekasihnya.
Menjalani aktifitas sebagai kekasih Daiva Elzira benar-benar merubah
segalanya. Segala hidupku. Kebiasaannya, yaitu tersenyum pada semua umat di
kelas, bahkan di sekolah kami, kini melekat padaku. Entah sejak kapan, diriku
menjadi sosok yang begitu gemar tersenyum ramah nan’ manis pada setiap insan.
Bukan berarti, sebelum berstatus pacarnya aku jarang menyungging senyum pada setiap
insan. Hanya saja, kadar senyumku begitu membludak sejak resmi menjadi
kekasihnya. Selain itu, aku juga lebih giat belajar. Sekali lagi aku tegaskan,
bukan berarti sebelum berpacaran dengannya, diriku begitu enggan untuk belajar.
Tapi, semenjak terjalinnya hubungan antar kami, aku lebih bersemangat melatih
otakku. Alasan lain adalah, karena kami selalu belajar bersama-sama. Terkadang
di rumahku, pernah juga di rumahnya. Tapi, keseringan, di rumahku. Daiva juga
mulai akrab dengan kedua orang tuaku, terlebih Ibu. Mereka terlihat bak Ibu
mertua yang begitu menyayangi sang menantu. Begitu pula sebaliknya. Mereka
cukup sering berbagi ‘ilmu dapur’.
Seperti
sekarang, Daiva dan Ibu tengah beradu kemampuan memasak. Ibu memasak sayur
lodeh untuk Ayah. Sementara, Daiva, ia tengah dalam proses memasakanku nasi
goreng pedas. Aku jadi tak sabar menanti sekaligus mencicipi nasi goreng pedas
buatannya. Hasil jeri payah tangan dan kejeliannya di dunia masak-memasak.
Aku masih
setia menatap layar hape di ruang tamu ketika suara Ibu dan Daiva secara
serempak tapi tak sama mengusik telingaku.
“Zul, nasi
goreng pedas untukmu sudah siap.. lekas ke sini..” sayup-sayup, hidungku
membaui aroma sedap tak terbantah dari arah dapur, tepatnya meja makan.
“Zul,
panggilkan Ayahmu supaya cepat ke sini. Sayur lodeh kesukaannya sudah siap.
Cepat…!!!” cerocos Ibu.
Setelah
menunaikan perintah Ibu untuk memanggih Ayah, aku pun bergegas menuju meja
makan. Begitu bersemangat menyantap masakan pertama dari tangan istriku, ralat,
maksudku, kekasih pertamaku.
Kudaratkan
pantatku ke kursi di sebelah Daiva. Di depanku, nasi goreng pedas buatannya
seakan memanggilku untuk segera melahap mereka. “Boleh aku makan sekarang,
Daiva ?” tanyaku sembari menoleh padanya.
Daiva
mengangguk pelan tanpa bersuara. Kutengok kedua orang tuaku yang tengah saling
melempar senyum. “Sayur lodeh buatan istriku memang lezat..” puji Ayah.
Berhasil membuat Ibu melayang. Kulirik Daiva. Ia terkekeh melihat kemesraan
kedua orang tuaku.
Selang
beberapa menit, tak seiprit nasi pun terlihat di piringku. Bersih tak tersisa.
“Kenyang
sekali. Terima kasih, ya, sudah memasakanku nasi goreng pedas. Enak sekali,
Daiva..” aku memuji masakannya, sembari memiringkan wajahku, lalu berbisik di
telinganya. “Melebihi lezatnya masakan Ibu..” ungkapku.
Daiva
terkekeh. “Gombal..” sahutnya.
“Putraku
membisikkan apa, Nak ?” Ibu bertanya pada Daiva. Ia selesai dengan sayur
lodehnya, begitupun dengan Ayah.
Sejenak,
Daiva melirikku. “Gak ada. Zul hanya memuji masakanku, Tante..” bohongnya.
Jelas sekali tadi aku sedikit ‘mempecundangi’ masakan Ibuku.
“Oh,
begitu. Omong-omong, cara kalian menatap satu sama lain, tak beda tante sama om
lho.. ketika kami masih ABG, macam kalian berdua.” Tiba-tiba Ibu menyamakan
kemesraan antara aku dan Daiva dengan kemesraannya dengan Ayah di masa lampau.
Daiva
tersipu. Lalu, secara bergantian, ia melirik antara aku, Ibu, dan Ayah.
Beberapa detik kemudian, tawa kami menyeruak begitu kencang.
‘Semoga
kita selalu begini, Daiva. Kuharap kamu lekas menjadi istriku. Aku
mencintaimu.’ Batinku, sembari menatap sosoknya yang tengah tertawa girang sembari masih memegang
sendok.
***
“Kayaknya
aku tertarik sama dunia tulis-menulis, Daiva..”
“Begitu ?
Aku do’a-kan, semoga kamu bisa menjadi penulis handal.”
“Tak usah
seyakin itu..”
“Lho ? Aku,
kan, sekedar memdo’a-kanmu saja, Zul. Tak salah, kan ?”
“He eh..”
“Zul ?,”
“Ya ?,”
“Bagaimana
hubunganmu dengan Dasta ? Apa kalian sudah akur ? Jujur, aku merasa bersalah…”
“Aku dan
Dasta ? Aku masih menganggapnya kawanku. Tapi dia ? Kayaknya dia begitu
membenciku, deh.. dia, kan mencintaimu, Daiva..”
“Maaf, ya.
Gegara aku, kamu dan kawanmu jadi musuhan kayak gini..”
“Bukan
salahmu, Daiva Elzira. Bisakah kita hentikan obrolan menjengkelkan ini ?
Sekarang, aku tak cukup peduli padanya. Dia selalu bersikaf seolah, aku telah
merebutmu dari sisinya. Padahal ?,”
“Jangan
berkata seperti itu, Zul. Bagaimana pun, dia tetap kawan baikmu..”
“Pernahkah
aku berkata kalau dia bukan kawanku ? Hanya saja, tak usah ditambah kata ‘baik’
segala..”
“Maaf..”
“Gak usah
minta maaf. Bukan salahmu..”
“Kamu
kenapa sih, Zul ? Kok jadi gampang emosi ? Maaf kalau aku sudah
menyinggungmu..”
“Aku
baik-baik saja. Hanya saja kamu harus tahu, aku tak cukup baik untuk
mengobrolkan si Dasta. Dan satu lagi, bisakah kamu berhenti berujar maaf ? Kamu
sama sekali tak bersalah..”
“Zul ?,”
“Ya ?”
“Kamu
mencintaiku ?,”
“Ada apa
denganmu, Daiva ? tentu saja..”
“Kamu
serius ?,”
“SANGAT
SERIUS…!!!!”
“Zul ?,”
“Ya ?,”
“Kalau
suatu hari nanti kita pisah, apa kamu akan baik-baik saja ?.”
“Semoga
saat itu takkan pernah ada. Aku mencintaimu. Dan selama dirimu ada di sisiku,
aku akan baik-baik saja.”
“Intinya,
kalau kita pisah, kamu takkan baik-baik saja ? Begitu ?”
“Entahlah.
Ada apa, Daiva ?”
“Entahlah,
Zul..”
“Kamu bosan
sama aku ?”
“Gak! Aku
mencintaimu, Zul. Selamat malam. Cepat tidut..”
Tutttt..
tuttt…. Tuttt…
Begitulah
ujung dari obrolan kami lewat telepon. Sejujurnya, kami cukup sering beradu
mulut. Tak jauh dari permasalahan antara aku dan Dasta. Daiva selalu memintaku
untuk bersikaf baik pada kawanku itu. Awalnya, aku menurut. Tapi,
lama-kelamaan, sikaf menjengkelkan Dasta membuatku jengah saja. Dan beberapa
detik tadi, sedikit percekcokan pun mewarnai obrolan kami. Kembali, sosok Dasta
membuatku dan Daiva berdebat tak jelas. Tapi, saat ia berandai-andai, kalau
hubungan kami takkan awet, hatiku benar-benar gusar. Harapku, kami akan menjadi
sepasang kekasih sekaligus sepasang suami-istri sehidup semati. Itu saja.
***
“Ada apa
denganmu, Dasta Alkata ? Berhenti bersikaf menjengkelkan..” semburku pada
manusia yang ketika diriku melewati mejanya, ia berujar menyebalkan. Kawan
brengsek, begitu katanya. Sembari mengke-ataskan ekor matanya, melirikku.
Aku mundur
tiga langkah, menatap tajam sosoknya yang sedang duduk di tempatnya. “Keparat
sepertimu tak pantas mendapatkan cinta dari kekasihku, Daiva Elzira. Segera
karungi rasa cintamu itu, dan cepat buang ke tempat semestinya.” Cibirku
padanya. Sudah cukup lama aku menahan gejolak amarah di dadaku. Kini, gejolak
itu bak bom waktu yang siap meledak. “Bersikaf menjengkelkan seperti ini.. apa
gunanya ? Ingin memamerkan watak menjijikanmu, huh ?” semburku lagi.
Bak hakim
di pengadilan, ia memukul meja di depannya begitu keras. “Jaga mulutmu, Zul..”
Kini, Dasta
berdiri. Kami saling bersampingan, dengan mata kami yang saling bermusuhan.
“Selama ini, aku cukup sabar menjaga mulutku untuk tidak berkata semauku. Tapi,
sekarang.. kurasa, kesabaranku sudah di ubun-ubun..” cercaku.
Kini, aku
sadar. Dasta sengaja berangkat pagi-pagi sekali dengan maksud ‘mempecundangi’
diriku. Kalian tahu ? Saat ini, kelas benar-benar sepi, bahkan dapat dipastikan
kalau seluruh penjuru sekolah benar-benar sepi. Di kelas, hanya ada aku dan si
kawan menjengkelkan. Tapi, sepertinya angannya terlalu melangit. Aku tak begitu
mudah untuk ia pecundangi.
“Monyet—”
“HENTIKAN…!!!!”
Dasta hendak membogem mukaku ketika suara itu terpaksa menghentikan niat
busuknya.
Aku
membalikkan badan, menuju pintu kelas. Di sana, kekasihku sedang berdiri
menganga di ambang pintu. Ia menggunakan tangan kanannya untuk membungkam
mulutnya. Mungkin, Daiva merasa begitu kaget dengan apa yang aku dan Dasta
lakukan beberapa saat tadi. Tentu saja, kami berdebat hebat. Bahkan, Dasta hendak
menodongku dengan pukulannya.
Aku masih
menatapnya. Menatap setiap inci tubuhnya. Aku merasa ada yang berbeda dari
sosoknya. Bukan lain, rambutnya. Ia tak lagi menguncir rambut hitamnya. Kini,
rambut panjangnya ia biarkan terurai begitu saja. Begitu cantik nan’ menawan.
Dan tentu saja, manis. Apa Daiva menagih hutang yang belum diriku lunasi
padanya ? Kalian tak lupa, kan, kalau aku mempunyai dua hutang padanya.
Pertama, tentang cita-citaku. Kedua, perihal sosok Ibuku.
Ya Tuhan,
bagaimana ini ? Seharusnya, ia tak muncul sekarang. Keadaan di mana diriku dan
Dasta tengah beradu mulut sungguh membuatku diambang dilema. Ia menagih hutang
di waktu yang teramat salah.
Kupalingkan
wajahku menuju manusia di sampingku. “Dia terlalu cantik dan menawan untuk kamu
miliki, Dasta..” sindirku padanya.
Lalu, Dasta
mencengkram kerah bajuku dengan kedua tangannya. “Tutup mulutmu, Bedebah
Tengik…!!!” ujarnya sembari mendorong tubuhku ke arah meja di belakangku.
BUKK…!!!
Pinggangku
sukses berbenturan dengan ujung meja. Begitu menyakitkan memang, terlebih lagi
saat ia mendaratkan bogeman di pipiku. “BUUUUUUKK…!!!”
“Bedebah
Tengik..!!!!”
Tak begitu
saja mengalah, kugunakan kakiku untuk menjauhkannya dari tubuhku. Dan berhasil,
ia tersungkur ke tempat duduknya sendiri.
Ini
saatnya. Kulangkahkan kakiku mendekatinya, dengan amarah yang mulai memuncak.
Segera kubogem pipinya yang agak tembem itu. Beberapa detik kemudian,
kucengkram kerah bajunya, lalu kuseret ke sembarang arah. Setelah itu, kupukul
perutnya.
BUKKK..!!!
BUKKK….!!!!
BUKKK….!!!!!!
BUKKK….!!!!!!
Dasta
melawan. Ia berhasil mendaratkan pukulan di pelipisku.
BUKKKKK…!!!
“HENTIKAN….!!!
APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN ?!!!!?”
Tak
kuperdulikan teriakan kekasihku. Sekarang, dalam benakku, sosok Dasta-lah yang
begitu ingin kuhajar sampai babak-belur. Tak kuperdulikan akibat dari
perkelahian ini. Cukup sudah amarahku selalu tertahan di dadaku. Kini, aku
meledak.
Samar-samar,
kupalingkan wajahku ke arah Daiva. Ia sudah tak ada. Kemana kekasihku ?
Bersamaan dengan itu, Dasta berhasil meruntuhkan pertahanan tubuhku dengan
memberi pukulan keras di area perutku, lalu menendang tulang kering di sekitar
kakiku.
“AWAS
NAKKKK….!!! DI DEPANMU…!!!!”
“AWAS…”
“BRUUUUUUUUUUUUUG…!!!!!!!!”
“AAAAAGGGGGGH….!!!!”
Tubuhku
tersungkur lemah di lantai kelas ketika sayur-sayup, telingaku mendengar cicit
keluh nan’ teriakan di luar sana. Semacam teriakkan manusia tua yang
mewanti-wanti supaya sang cucu berhati-hati dalam perjalanannya. Aku juga mendengar
suara mobil besar yang mendadak mengerem.
Ya Tuhan ?
Kekasihku ? Daivaku ? Semoga tidak!
Rasa-rasanya,
jantungku langsung turun menuju perut. Saking lemas dan merananya ketika elok
mataku menatap secara langsung sosoknya yang tergelak tragis di sembarang
tempat, di dekat pohon besar. Daiva Elzira-ku. Tubuhnya dipenuhi cairan merah
bersimbah. Ya Tuhan, betapa membludaknya darah di sekujur tubuh kekasihku. Tak
bisa kubayangkan, peristiwa macam apa yang membuatnya bersimpah darah seperti
ini.
“Dia tertabrak
truk dari arah sana..” jawab si nenek ketika diriku bertanya perihal peristiwa
yang kekasihku alami, sembari menunjuk arah truk tadi muncul. “Kelihatannya dia
ingin minta tolong.. dia terlihat begitu gusar bercampur takut. Sampai-sampai,
tak memperdulikan, maksudku tak melihat sebujur truk yang hendak melintas ke
arahnya. Tepat saat dia berjalan di tengah-tengah Zebra Cross di depan gerbang
Sekolah, truk itu menghempaskan tubuh siswi malang ini, Nak..” lanjutnya dengan
nada gusar.
Pikiranku
kosong, lidahku keluh, mulutku bak disumbat buntelan baju bekas,
tulang-tulangku bak digergaji oleh sembarang manusia, aku ambruk seketika. Di
dekatnya. Ya Tuhan, aku masih tak bisa mempercayai fakta yang tepat terpampang
jelas di depanku. Kekasihku tertabrak truk. Aku mengutuk kegoblokanku sendiri
yang tak bisa mengontrol emosi dan lantas meladeni tingkah menyebalkan Dasta di
dalam kelas tadi. Omong-omong, tentang anak sialan itu, aku tak
memperdulikannya sekarang.
“ADA APA
DENGAN KALIAN ? KENAPA BERDIRI SAJA SEPERTI MANUSIA BODOH ? CEPAT PANGGIL
AMBULAN..!!!” teriakku pada manusia-manusia yang hanya berdiri menganga
meratapi keadaan kekasihku.
Kulirik
mereka satu-per-satu, bahkan aku mulai sadar, kalau diriku dan sosok yang
berada di pelukanku tengah dikerubuni banyak siswa-siswi yang satu sekolah
denganku. Mereka terlihat gusar, bahkan ada yang sampai menitikan air mata.
“CEPAT PANGGILAN AMBULAN..” Kembali, aku berteriak.
“Baik, Nak.
Sabar..” sahut salah seorang dari mereka.
“Bagaimana
bisa aku—”
Tiba-tiba,
kurasakan gelagat jari-jemarinya yang bergerak bersentuhan dengan
jari-jemariku. “Zul…”
Kuseka air
mataku, lalu menatap lekat matanya. “Sabar, Daiva.. kamu akan baik-baik saja.
Everything will be okay, honey. Please, jangan tutup matamu. Aku mohon, bertahanlah..”
lirihku.
Ia semakin
mengeratkan genggamannya. “Zul.. Zulfaqar.. Ash.. Sa.. Sa.. Ash Sadiq..
Zulfaqar Ash Sadiq..” ia terbata-bata. “Aku mencintaimu, Zul. Begitu
mencintaimu, Zul. Aku..”
“Jangan
katakan apapun. Kamu sudah terlalu banyak berbicara. Sayang, kamu akan
baik-baik saja. Aku mencintaimu, dan aku akan selalu menjagamu. Bertahanlah!”
“Tak
bisa..”
Kulihat
pelipis dan ujung bibirnya yang dipenuhi cairan merah. Aku membuang muka. Tak
bisa melihat sosok yang begitu aku cintai semengenaskan ini.
“Aku tak
bisa bertahan, Zul..”
“Tidak…!!!
Kamu harus bertahan, Sayang. Bertahanlah!”
“Zul ?,”
tanyanya dengan nada begitu pelan.
“Iya,
Sayang ? Aku mendengarmu..”
“Cita..
apa.. cita.. apa.. apa cita-citamu, Zul ?.”
Jleb!
Pertanyaan
yang tak begitu lancar ia lisankan itu berhasil membuat genangan air di mataku
tak tertahan. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku masih memiliki hutang teramat
besar padanya. Ya Tuhan!
“Zul ?,”
“Iya,
Sayang?”
“Cita..
cita..”
“Aku ingin
menjadi seorang penulis novel. Jadi, bertahanlah. Suatu saat, aku akan
membuatmu bangga dengan tulisanku. Aku berjanji.” Sungutku.
“Akan
kusimpan janjimu itu, Zul.”
Kedua elok
matanya menurun, ia nampak siap memejamkan matanya. “Kembali berkawan-lah
dengan Dasta. Aku mohon, Zul..”
Aku
membuang muka. “Bertahanlah, Sayang. Bertahan—”
“Aku
mencintaimu, Zul..” kini, kedua matanya benar-benar terpejam.
“Daiva..
Daiva.. bangun, Sayang.. bangun..!!!!!”
Tiba-tiba,
kurasakan tangan seseorang menyentuh pundakku. “Yang sabar, Nak. Ikhlaskan
kepergiannya. Biar dia tenang di alam sana..”
***
Beginikah
rasanya dibendung gejolak berlabel rindu ? Beginikah rasanya dibalut selimut
berlabel kehilangan ? Beginikah rasanya ditelanjangi oleh rasa bersalah atas
kepergiannya ? Beginikah rasanya dipecundangi rasa cintaku yang tak
terbantahkan untuknya ? Beginikah rasanya berujar ‘aku mencintaimu..’, namun
sosok yang kutuju tak leluasa elok
mataku lihat ?
Gejolak
berlabel rindu ini senantiasa menggerogoti liang kewarasanku. Tentang sosoknya,
senyum manisnya, sumur kecil di kedua pipinya, dan semuanya. Selimut berlabel
kehilangan ini terus-menerus menyandera hati nan’ sanubariku. Aku kehilangan
sosoknya, tapi, tidak cintanya. Ditelanjangi oleh rasa bersalah yang teramat ?
Cukup aku yang tahu dan paham atas itu.
Ya Tuhan,
diriku benar-benar merasa dipecundangi oleh rasa cintaku yang begitu besar pada
sosoknya. Diriku sungguh tak bisa untuk melupakan segenap kenangan manis antara
aku dan dirinya, Daiva Elzira.
Daiva-ku...
Begitu
menyakitkan ketika seseorang yang begitu kita harapkan agar mendengarkan kata
‘aku mencintaimu’ yang kita tunjukan padanya, namun seseorang itu tak bisa kita
lihat secara langsung. Rasa sakit nan’ pedih itu berlipat ganda, tat kala,
diriku mulai menyadari kalau salah satu alasan kepergian tragisnya itu adalah
karena diriku. Sosok pecundang yang begitu mencintainya.
Namun,
diriku selalu ingat akan janjiku pada Daiva. ‘Aku ingin menjadi seorang penulis
novel. Jadi, bertahanlah. Suatu saat, aku akan membuatmu bangga dengan
tulisanku. Aku berjanji.’
Janjiku itu
akan selalu kuingat. Janjiku itu akan aku iklarkan dengan karya tulisku kelak,
Daiva. Aku berjanji. Mungkin dengan begitu, di alam sana, dirimu akan merasa
begitu bangga akan diriku.
‘Tunggulah
aku menunaikan janjiku, Daiva Elzira.’ Batinku.
Lalu
bagaimana dengan sosok keparat, Dasta Alkata ?
Sesuai
permintaanya, aku dan Dasta kembali menjadi sepasang kawan yang saling memeluk
satu sama lain ketika kesedihan merangkak masuk dalam diri kami. Dasta Alkata
adalah kawanku. Zulfaqar Ash Sadiq adalah kawan-nya. Kami kembali berkawan.
Terakhir
untuknya,
Daiva
Elzira, kamu adalah sahaja di hidupku. Seperti halnya novel berjudul Cita-Cita
Sang Sahaja yang sempat kamu baca. Aku mencintaimu.
— The End —